Oleh Muhammad Gibran (Mahasiswa Ilmu Politik Unand)
Menjelang pemilu, konflik buzzer politik sering terjadi. Dalam kontestasi politik, buzzer berperan bukan hanya sebagai alat kampanye, tetapi juga sebagai aktor yang mendorong perpecahan sosial melalui penyebaran informasi yang tidak benar. Fenomena buzzer ini menjadi budaya yang kuat dalam lingkungan politik kita, menciptakan kekacauan di masyarakat, terutama di media sosial. Sebagai mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas, saya melihat fenomena ini dari sudut pandang akademis sekaligus sebagai bagian dari masyarakat yang turut terdampak oleh cara kampanye modern yang tidak sehat ini. Buzzer sering kali dianggap sebagai perpanjangan tangan dari tim sukses atau para pendukung suatu kandidat. Mereka menjalankan agenda untuk memperkuat sebuah narasi politik, tetapi dengan cara-cara yang tidak bagus. Hal ini termasuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye hitam yang bertujuan untuk merusak citra lawan politik. Keberadaan buzzer ini menciptakan suasana politik yang buruk dan keruh, di mana debat dan diskusi yang sehat sering kali tenggelam di bawah banjir narasi negatif yang dibuat-buat.
Menurut saya, yang lebih memprihatinkan adalah bagaimana buzzer ikut ambil bagian dalam menciptakan konflik sosial. Perpecahan yang mereka ciptakan melalui informasi palsu sering kali menempatkan masyarakat pada posisi berlawanan. Perpecahan ini bukan hanya terjadi di level elit politik, tetapi juga menyentuh masyarakat umum yang terprovokasi oleh isu-isu sensitif, seperti agama, ras, atau bahkan ideologi. Dalam kondisi ini, kita melihat meningkatnya tensi sosial, di mana masyarakat tidak lagi mampu berdialog secara sehat, tetapi malah terjebak dalam perdebatan emosional yang berujung pada kebencian.
Dan bisa kita lihat di media sosial menjelang pemilu, buzzer tidak hanya menyebarkan hoaks atau informasi palsu, tetapi juga memanfaatkan situasi untuk menciptakan ketakutan. Taktik ini sering kali muncul dalam bentuk kampanye hitam, di mana karakter atau reputasi seorang kandidat diserang secara personal tanpa landasan yang jelas. Misalnya, seorang kandidat bisa difitnah memiliki hubungan dengan organisasi radikal atau dituduh terlibat dalam kasus korupsi, meskipun tuduhan tersebut tidak pernah terbukti. Ini menciptakan stigma negatif di masyarakat, persepsi masyarakat tidak lagi berdasarkan fakta, tetapi pada narasi yang diciptakan oleh para buzzer.
Peran buzzer ini semakin sulit diatasi ketika mereka bersembunyi di balik akun akun fake di internet. Sebagai mahasiswa Ilmu Politik, saya melihat bahwa hal ini memberikan kebebasan bagi mereka untuk menyebarkan ujaran kebencian tanpa khawatir akan konsekuensi hukum. Akibatnya, mereka mampu menyebarkan narasi negatif dengan sangat cepat dan efektif, sementara korban fitnah atau kampanye hitam sering kali kesulitan untuk memulihkan citra mereka. Bahkan, meskipun kampanye negatif tersebut kemudian dibantah atau dibuktikan tidak benar, dampak dari penyebaran informasi palsu tersebut sudah terlanjur merusak kepercayaan publik.
Sebagai mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Andalas, saya percaya bahwa literasi media di era digital merupakan kunci dalam menjaga kesehatan demokrasi dan kestabilan sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, penyebaran informasi melalui internet telah menjadi tantangan besar bagi masyarakat, terutama dengan fenomena buzzer politik yang kerap kali menyebarkan hoaks dan disinformasi. Di sinilah pentingnya literasi media atau suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap individu untuk dapat mengakses, menganalisis, dan memverifikasi informasi secara benar.
Dalam membangun literasi media, ada sepuluh tahapan kompetensi literasi digital yang penting untuk dikuasai oleh masyarakat. Tahapan ini meliputi kemampuan untuk mengakses informasi, memahami konteksnya, menganalisis tujuan dan bias dari sumber informasi, serta memverifikasi kebenarannya. Kompetensi ini membantu masyarakat menjadi lebih kritis dan bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi. Di era digital, kita tidak hanya harus pandai mengakses informasi, tetapi juga mampu menyaring informasi mana yang benar dan mana yang salah. Misalnya ketika kita menerima informasi dari media sosial, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa sumbernya. Apakah sumber tersebut bisa dipercaya? Apakah ada maksud tertentu di balik penyebaran informasi tersebut? Jika sumber tersebut meragukan atau informasi yang disampaikan terdengar terlalu ekstrem, maka langkah selanjutnya adalah melakukan verifikasi melalui sumber lain yang lebih terpercaya.
Dengan memiliki kompetensi literasi digital yang mantap, masyarakat akan lebih sulit dipengaruhi oleh disinformasi. Mereka dapat mengambil peran aktif dalam memutus rantai penyebaran hoaks dan bahkan berkontribusi dalam menyebarkan informasi yang benar. Hal ini sangat penting, terutama di tengah situasi politik yang kerap kali memanas dan rentan terhadap penyebaran informasi yang salah.
Membangun literasi media di kalangan masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan masyarakat saja. Dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, platform media sosial, serta institusi pendidikan untuk menciptakan lingkungan informasi yang lebih sehat terutama di sosial media. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan terkait aktivitas buzzer dan memperketat aturan mengenai penyebaran hoaks. Dan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan TikTok juga harus lebih bertanggung jawab dalam menyaring konten yang disebarkan di platform mereka. Menurut saya, pendidikan literasi digital juga harus menjadi bagian penting dari kurikulum pendidikan. Di tengah ramainya pengguna internet, pendidikan literasi media harus dilakukan. Para pelajar harus punya kemampuan untuk menilai informasi secara baik dan benar, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh hoaks beredar.
Dan sebagai seorang mahasiswa, saya yakin bahwa literasi media juga tentang membangun moral dalam berinteraksi di dunia digital. Masyarakat yang paham akan literasi media akan lebih bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi, serta lebih peduli terhadap dampak sosial dari informasi yang mereka terima dan sebarkan.
Di akhir tulisan saya ini, saya ingin menekankan bahwa literasi media di era digital adalah kunci atau solusi yang sangat efektif untuk melawan dampak buruk dari buzzer politik dan penyebaran disinformasi. Dengan membekali diri dengan pemahaman literasi digital yang baik, masyarakat dapat menjadi lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang salah. Kerja sama antara pemerintah, platform media sosial, dan institusi pendidikan sangat penting untuk menciptakan lingkungan informasi yang sehat. Hanya dengan literasi media yang kuat, kita dapat memastikan bahwa masyarakat tetap bijak dalam menghadapi banyaknya informasi di era digital ini.
0 Comments