Oleh : Muhammad Azka Putra Fada (Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas)
Bulan ini, tepat 2 tahun yang lalu tragedi Kanjuruhan terjadi. Tragedi itu menjadi tragedi terburuk dalam sejarah sepakbola Indonesia, bahkan dunia. Saat setelah pertandingan berakhir, beberapa penonton turun ke lapangan. Akibatnya, polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton. Para penonton yang menyelamatkan diri terjebak karena akses pintu stadion yang tak mendukung. Mereka berdesakan, terutama di pintu 13. Tragedi itupun memakan 135 korban jiwa.
Ratusan Aremania yang tidak bersalah menjadi korban dalam tragedi 1 Oktober itu. Setelah kejadian, seluruh pertandingan liga berujung dihentikan sementara. Stadion klub besar di Eropa hening sejenak demi menghormati para korban. Dunia pun ikut berkabung dan berharap kejadian tersebut tak terjadi di kemudian hari.
Hingga hari ini, keluarga korban masih berharap keadilan. Meskipun beberapa pihak telah ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani proses hukum, akan tetapi tragedi tersebut belum kunjung tuntas. Padahal, dari 135 korban yang tewas, 44 korban lainnya merupakan perempuan dan anak dibawah umur.
Selain proses hukum yang masih berjalan, belum ada upaya dari pihak federasi. Ketua Umum PSSI saat itu, Mochamad Iriawan atau akrab yang disapa Iwan Bule secara terang-terangan bertanggung jawab atas tragedi kanjuruhan. Kini, jabatan Ketua Umum itu telah dipegang oleh Erick Thohir setelah terpilih pada tahun 2023.
Erick Thohir berjanji akan menyelesaikan kasus tersebut secara tuntas. Akan tetapi, tragedi kanjuruhan belum tuntas sepenuhnya.
Pemerintah pusat juga demikian, seperti tidak ada kejelasan. Alih-alih mengusut tuntas tragedi kanjuruhan, pemerintah justru merenovasi Stadion secara besar-besaran. Renovasi tersebut berdampak kepada rusaknya barang bukti dari tragedi mencekam itu.
Selain renovasi stadion, keluarga korban juga diberikan santunan. Tetapi, yang dibutuhkan oleh keluarga korban hanyalah keadilan.
0 Comments