Ticker

6/recent/ticker-posts

Alek Bakajang di Nagari Gunuang Malintang tak sekadar hiburan rakyat, tetapi juga wadah mempererat kekerabatan.

 

.

 


 

Alek Bakajang merupakan tradisi yang diadakan secara turun-temurun di Nagari Gunuang Malintang, 182 kilometer sebelah utara Kota Padang. Istilah ”alek” dalam bahasa Minangkabau berarti perhelatan, pesta, atau kenduri; sedangkan ”bakajang” atau berkajang berasal dari kata dasar ”kajang” yang berarti perahu kajang. Meskipun demikian, Alek Bakajang bukan sekadar pesta rakyat yang diadakan setiap Idul Fitri. Acara intinya justru ada pada silaturahmi antara pemangku adat, bundo kanduang atau perempuan yang dituakan, alim ulama, dan pemuda, serta lapisan masyarakat lainnya dari tiap jorong di awal kegiatan selama alek.

”Alek ini untuk menjaga silaturahmi empat suku yang ada di Gunuang Malintang,” kata Deng Putra (40), Ketua Pemuda Nagari Gunuang Malintang sekaligus Ketua Panitia Alek Bakajang, di Jorong Koto Lamo, Nagari Gunuang Malintang, Kecamatan Pangkalan Koto Baru. Alek Bakajang diikuti lima jorong di sepanjang aliran Batang Mahat/Maek, Nagari Gunuang Malintang. Empat jorong di antaranya, yaitu Koto Lamo, Batu Balah, Baliak Bukik, dan Koto Masjid, merupakan permukiman tertua di nagari sesuai urutannya sekaligus basis empat suku atau kaum (clan). Satu jorong lainnya, Bencah Lumpur—bergantian dengan Baliak Bukik—mewakili kalangan alim ulama dan pemerintahan nagari. Koto Lamo merupakan basis suku Domo yang dipimpin Datuak Bandaro, rombongan pertama yang bermukim di nagari ini. Sementara itu, Batu Balah basis suku Malayu yang dipimpin Datuak Sati, Baliak Bukik basis suku Pagacancang yang dipimpin Datuak Paduko Rajo, dan Koto Masjid basis suku Piliang yang dipimpin Datuak Gindo Simarajo.

 Alek Bakajang biasanya digelar pada hari keempat Idul Fitri. Alek berlangsung selama lima hari dengan lima jorong bergantian menjadi tuan rumah. Urutannya sama setiap tahun, Koto Lamo pada hari pertama, disusul Batu Balah, Baliak Bukik, Koto Masjid, dan Bencah Lempur/Baliak Bukik pada empat hari berikutnya. Intisari kegiatannya silaturahmi di surau (istano datuak), Yang dijalang (dikunjungi) pertama adalah Datuak Bandaro dari Suku Domo. Inilah mamak kami yang tertua (berdasarkan urutan kedatangan) di Gunuang Malintang. Setelah itu, baru manjalang Datuak Sati, Datuak Paduko Rajo, dan Datuak Gindo Simarajo, serta alim ulama dan pemerintah nagari. Perahu kajang menjadi sarana perwakilan setiap jorong mengunjungi istano datuak tuan rumah. Perahu disiapkan pemuda jorong masing-masing minimal sepekan sebelum Idul Fitri. Mereka membuat perahu di surau masing-masing saat sore dan seusai shalat Tarwih. Biaya pembuatan satu perahu kajang bisa mencapai Rp 30 juta. Biasanya dana bersumber dari iuran pemuda dan nagari. Walakin, empat tahun terakhir, ada bantuan dari pemerintah kabupaten ataupun dana aspirasi anggota DPRD.

Sebelum mulai, kelima perahu kajang berkumpul di pinggir wilayah Koto Lamo. Di tepian, datuak tuan rumah berkomunikasi dengan datuak-datuak delegasi tamu dalam prosesi penjemputan secara adat. Seusai prosesi penjemputan, barulah perahu-perahu itu memasuki perairan Koto Lamo dan merapat di dermaga Istano Datuak Bandaro. Perahu yang ditarik dan didorong belasan pemuda itu mengangkut masing-masing seorang datuak didampingi seorang pemuda. Seiring perjalanan perahu, rombongan delegasi adat tiap-tiap jorong dan tamu kehormatan lainnya juga mulai berarak di jalur darat ke arah Istano Datuak Bandaro. Rombongan darat dan sungai akan bergabung di lokasi. Kehadiran mereka disambut hangat oleh tuan rumah dengan tarian pasambahan sebelum masuk ke surau. Ketua Kerapatan Adat Nagari Gunuang Malintang, Jamri Datuak Pakomo (48), mengatakan, ia tidak tahu pasti sejak kapan Alek Bakajang diadakan di nagari ini. ”Yang jelas sudah berabad-abad silam,” katanya.

Menurut Jamri, asal-muasal Alek Bakajang ini berkaitan dengan moda transportasi yang digunakan di masa lampau. Kala itu, moda transportasi utama di nagari adalah perahu di sungai. Maka, untuk bepergian dan bersilaturahmi, warga menggunakan kajang, yaitu sampan kayu berdinding atau beratap daun nipah. Sampai sekitar tahun 1950, warga Nagari Gunuang Malintang masih menggunakan perahu untuk transportasi, termasuk ke pusat kecamatan. setelah itu, model transportasi perlahan berganti seiring pembukaan akses jalan darat dan pendangkalan Sungai Mahat. Peralihan alat transportasi tidak membuat warga melupakan Alek Bakajang. Tradisi ini justru berevolusi. Pada era modern, perahu kajang pada alek ini tidak lagi jadi alat transportasi rombongan, tetapi lebih kepada simbol budaya. Selain itu, perahu kajang era modern juga menjadi medium para pemuda jorong untuk berkreativitas.

Dedi Asmara dan Hendri dari STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh menyebut bentuk perahu dalam tradisi Alek Bakajang mengalami perubahan dalam tiga fase. Hal itu dimuat pada artikel ”Tradisi Bakajang dan Dampak Sosial Ekonomi di Nagari Gunuang Malintang Kecamatan Pangkalan Koto Baru Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat” dalam Jurnal Edukasi Volume 03 Nomor 2 Desember 2023. Pada 1950-1980, perahu kajang yang digunakan sangat sederhana. Mulanya, perahu kajang dibuat dari tiga perahu kayu yang dibangun jadi satu mirip rakit dan diberi atap daun palem. Kemudian, bentuk kajang dikembangkan dengan dua perahu dan satu atap dihiasi dengan kain warna-warni, bahkan dengan songket bersulam emas. Selanjutnya, sejak tahun 1980-an, penampilan perahu kajang berubah menjadi bentuk kapal pesiar. Bagian dasar kapal menggunakan dua perahu ukuran sedang dan dirangkai dengan rangka kayu dan dinding kayu lapis serta dicat warna-warni. Biaya pembuatannya mencapai Rp 14 juta. ”Perahu kajang berbentuk kapal pesiar ini dikenalkan seorang warga kami yang pernah bekerja di kapal pesiar (MS) Costa Allegra. Dialah yang memodifikasinya sedemikian rupa sampai model saat ini. Kemahiran para pemuda membuat karya seni ini akan dinilai supaya mereka termotivasi,” kata Jamri.

Tradisi Alek Bakajang tetap dilestarikan karena menjadi wadah menjalin kerja sama antara berbagai lembaga nagari, seperti ninik mamak, pemerintah nagari, dan pemuda. ”Semuanya bahu-membahu dalam melaksanakan acara Alek Bakajang ini,” katanya. Deng Putra menambahkan, selain menjadi momen mempererat kekerabatan antarwarga jorong, perhelatan ini juga berdampak positif kepada para pemuda. Persiapan alek mendekatkan para pemuda ke surau selama Ramadhan. Interaksi antarpemuda selama proses persiapan hingga alek juga menjalin kekompakan. ”Sangat berdampak positif, apalagi sekarang pengaruh internet sangat besar. Interaksi yang terjalin membuat para pemuda semakin akrab. Di antara kami, tidak ada yang tidak kenal,” katanya. Untuk membangkitkan semangat, hasil kreasi perahu kajang para pemuda pun dikonteskan. Juri yang ditunjuk menilai dari segi konstruksi, estetika, dan aksesori/dekorasi. Panitia sengaja tidak menyediakan hadiah supaya tidak menimbulkan kompetisi negatif, sekadar persaingan gengsi.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS