Nama/Nim : Muhammad Habib
Huzaihfa/2210742021
Jurusan : Sastra Minangkabau
Universitas Andalas
Hamka, seorang ulama Islam yang terkenal
di Asia Tenggara, dikenal luas dalam berbagai bidang. Para sarjana di seluruh
dunia tertarik dengan fakta bahwa Hamka memiliki pengetahuan yang luas,
mencakup teologi Islam, falsafah, dan kesusastraan. Sebagai seorang Minangkabau
yang disegani sebagai ulama, pandangan Hamka tentang kehidupan di Sumatera
Barat sangat penting. Dia telah memberikan deskripsi yang menarik tentang cara
hidup masyarakat Minangkabau, yang seharusnya disampaikan dan digambarkan dari
sudut pandang mereka sendiri. Selain sebagai ulama, Hamka juga dikenal sebagai
novelis yang berhasil menarik banyak pembaca. Namun, beberapa karyanya dianggap
cukup kontroversial.
sejarah hamka
Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di
Sungai Batang, Tasik Maninjau. Ia dibesarkan di sebuah kampung kecil dan
mempelajari cara hidup matrilineal. Ayahnya, Dr. Abdul Karim Amrullah, adalah
seorang ulama dan reformis Islam yang terkenal. Pada usia enam tahun, Hamka
pindah ke Padang Panjang dan belajar berbagai subjek keislaman di sekolah
Thawalib yang didirikan ayahnya. Pada tahun 1924, ia mengembara ke Jawa dan
tiga tahun kemudian menunaikan ibadah haji. Hamka adalah seorang penulis yang
berpengaruh di alam Melayu. Ia telah memberikan kontribusi yang menarik dan
rinci dalam sejarah wilayah tersebut, tidak hanya mencakup Sumatera Barat
tetapi juga daerah lain seperti Melaka. Melalui karyanya, Hamka menunjukkan
bahwa alam Melayu memiliki sejarah yang luar biasa dengan ciri-ciri yang unik.
Atas jerih payahnya dalam berbagai bidang ilmu, Hamka dianugerahi gelar Doktor
Kehormatan oleh Universitas al-Azhar (1958) dan Universitas Kebangsaan Malaysia
(1974).
Pembahasan
Tinjauan literatur harus membedakan antara
sastra primer dan sastra sekunder. Kategori pertama (sastra primer) terdiri
dari buku-buku dan cerpen karya Hamka sendiri, sementara kategori kedua (sastra
sekunder) adalah artikel dan buku yang ditulis tentang dirinya. Topik dalam
tinjauan ini adalah artikel ilmiah yang menganalisis dan membahas hubungan
antara sistem sosial matrilineal Minangkabau dan pandangan Hamka mengenainya.
Hamka menulis berbagai publikasi, baik fiksi maupun nonfiksi. Beberapa karyanya
membahas tentang gaya hidup matrilineal di Sumatera Barat, sehingga penting
untuk memahami bagaimana Hamka menilai sistem tersebut. Fokus karya nonfiksi
Hamka, seperti "Islam dan Adat Minangkabau", adalah pada hubungan
antara Islam dan adat istiadat. Bagi Hamka, publikasi ini adalah sarana untuk
melihat adat secara spesifik. Menariknya, ia sering mengutip pendapat dan
pandangan masyarakat setempat tentang kondisi hidup di Sumatera Barat. Selain
itu, buku-buku nonfiksi lain dari Hamka juga menyinggung secara singkat tentang
gaya hidup matrilineal orang Minangkabau, meskipun biasanya berfokus pada topik
utama lainnya, seperti dalam buku "Lembaga Hidup" yang membahas
tentang kehidupan bersama.
Dalam novel fiksi dan cerpen-cerpen Hamka,
ia memiliki kesempatan untuk mengangkat gaya hidup sebagai topik utama dan
menggambarkannya secara emosional. Pembaca dapat mengikuti pengalaman tokoh
utama dan melihat bagaimana mereka menderita akibat aturan adat. Sebagai
contoh, dalam novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck", pembaca dapat
mengikuti kisah tragis Zainuddin dan Hayati yang tidak diizinkan menikah karena
Zainuddin dianggap bukan bagian dari masyarakat setempat. Pembaca akan merasa
simpati dengan tokoh-tokoh utama dan terlibat dalam cerita mereka. Pada
akhirnya, pembaca akan menyadari bahwa sistem kehidupan matrilineal tersebut
memiliki permasalahan.
Selain membahas filsafat atau sastra
Sumatera Barat, karya-karya Hamka juga bertema tentang agama atau kondisi
kehidupan di Sumatera Barat. Dia merupakan salah satu intelektual Muslim yang
menerbitkan buku-buku dan novel-novel Islam. Novel terkenal "Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk" memberikan inspirasi untuk melihat masyarakat
Minangkabau dari berbagai sudut pandang, dan salah satu topik penting dalam
novel ini adalah adat Minangkabau. Hamka mengungkapkan pandangannya tentang
sistem matrilineal di Sumatera Barat melalui dua cara, yaitu melalui karya
non-fiksi dan karya fiksi berupa novel dan cerpen. Pembaca yang dituju oleh
kedua bentuk karya ini mungkin berbeda. Melalui karya non-fiksi, Hamka dapat
menjangkau khalayak yang lebih luas dan menggunakan istilah-istilah yang lebih
spesifik. Sementara itu, dengan menerbitkan cerita fiksi, Hamka dapat mencapai
pembaca yang lebih luas. Beberapa karya Hamka berhubungan langsung dengan cara
hidup tradisional masyarakat Minangkabau, seperti buku "Islam & Adat
Minangkabau". Buku ini bermanfaat untuk melihat bagaimana Hamka
menggambarkan cara hidup masyarakat di Sumatera Barat.
Masyarakat Minangkabau menganut sistem
matrilokal, di mana setelah menikah, pihak laki-laki akan pindah ke rumah
istri. Jika laki-laki tersebut sudah tua dan istrinya meninggal, maka ia tidak
lagi memiliki tempat tinggal. Oleh karena itu, dalam keadaan seperti itu, pihak
laki-laki harus tinggal di surau. Menurut Hamka, kehidupan laki-laki di
masyarakat Minangkabau adalah menyedihkan. Hamka menjelaskan kondisi ini dengan
kata-kata berikut:
"Pada dasarnya, di Minangkabau
laki-laki sangat menderita. Ia tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Hanya
sebentar saja ia tinggal di rumah ibunya, yaitu sampai usia 6 tahun. Setelah
itu, ia harus tidur di surau. Ketika sudah waktunya menikah, ia menjadi menantu
di rumah istrinya, dan ia tidak memiliki kekuasaan di dalam rumah itu.
Laki-laki yang tidak beristri sangat hina, karena harus kembali tidur di surau,
menunggu untuk memperoleh istri.(Hamka, 2006: 30)"
kesimpulannya
Artikel ini menekankan pentingnya
pemikiran Hamka dalam memahami sistem matrilineal masyarakat Minangkabau.
Gagasan-gagasan dan pandangan-pandangan yang disampaikan Hamka melalui
karya-karyanya memberikan wawasan baru tentang kehidupan di Sumatera Barat.
Dengan meneliti pemikiran Hamka, kita dapat memperluas pemahaman kita tentang
masyarakat Minangkabau dan juga mendapatkan perspektif yang berbeda dari
pandangan umum.
0 Comments