Ticker

6/recent/ticker-posts

Kecacatan Etika Dalam Berpokitik :Kasus Korupsi di Sumbar



Oleh: Indah Putri Andini, Mahasiswa FISIP Universitas Andalas

 

Gagasan peradilan etik yang independen dan imparsial ini sangat urgen dengan menjamurnya pelanggaran etika yang dilakukan oleh pejabat negara, apalagi selama ini tidak adanya standar ketentuan etika yang menjadi panduan perilaku pejabat negara. Sebagian lembaga etik masih berada pada cengkeraman lembaga negara yang menaunginya dan masih menempatkannya pada posisi di bawah pimpinan lembaga negara, sehingga intervensi kepentingan sangat mungkin dilakukan. Untuk membangun desain peradilan etik yang independen dan imparsial harus memenuhi syarat, sebagai berikut dibentuk undang- undang yang mengatur secara khusus mengenai etika pejabat negara; dibentuk peradilan etik yang independen dan imparsial; proses penegakkan kode etik yang transparan dan akuntabel; penguatan Asas- asas Hukum Acara peradilan etik yang dapat dipertanggungjawabkan; serta putusan peradilan etik yang bersifat final dan Mengikat .

 

Contoh kasus pelanggaran etik politik adalah.

Kasus Ketua DPD Irman Gusman 

Diawali dengan operasi tangkap tangan KPK, operasi tangkap tangan ini dilatarbelakangi peran

Irman Gusman yang melakukan abuse of power(penyalah-gunaan kewenangan) dan mencampuri peran Bulog dalam mengatur pemberian kuota gula impor. Irman Gusman melakukan intervensi pengaturan kuota gula impor yang menguntungkan dirinya/orang lain, dengan merekomen-dasikan perusahaan CV Semesta Berjaya untuk diberikan kuota dan menyalurkan gula impor di wilayah Sumatera Barat. Terkait peranan tersebut Irman Gusman menerima suap Rp 100 juta. Putusan Peninjauan Kembali MA No.97/PK/Pid.Sus/2019 memutuskan bahwa terpidana Irman Gusman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Irman Gusman dihukum pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, pidana denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsider pidana kurungan selama 1 (satu) bulan, dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Terpidana selesai menjalani pidana pokok. Kasus hukum tersebut mengandung kasus etik, sehingga BK DPD RI memutuskan pemberhentian Irman dari jabatannya karena mencederai lembaga negara dan menyalahgunakan kewenangan-nya untuk kepentingan pribadi. Dasar pemberian sanksi ini, adalah Pasal 52 Tata Tertib DPD yang menyebutkan Ketua dan/atau Wakil Ketua DPD akan diberhentikan berstatus tersangka dalam pidana. Dia mengatakan, etika yang dilanggar Irman adalah mencederai lembaga negara dan menyalahgunakan kewenangannya sebagai Ketua DPD untuk memperoleh keuntungan

pribadi.

 

Kasus Hakim Agung Ahmad Yamani 

Hakim Ahmad Yamani merupakan hakim karir yang menjadi Hakim Agung pada 18 Februari 2010 setelah memperoleh 39 suara anggota Komisi III DPR RI, dua tahun kemudian Ahmad Yamani dipecat dari Hakim Agung (2012) oleh Majelis Kehormatan Hakim. Sanksi pemberhentian secara tidak hormat terhadap Hakim Agung Ahmad Yamani karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana mengganti putusan terpidana narkoba pemalsuan berkas peninjauan kembali terpidana kasus narkoba. Ahmad Yamani diberhentikan karena mengganti putusan PK yang seharusnya pidana 15 tahun penjara untuk gembong narkoba Hengky Gunawan, namun oleh Ahmad Yamani diganti menjadi 12 tahun penjara. Kasus ini menunjukan adanya pelanggaran etika berupa tidak independen dan imparsial dalam menyelesaikan kasus, tidak jujur dalam menyampaikan pengunduran diri dengan alasan sakit.

 

 

Reformasi penegakkan etika melalui Reformulasi kelembagaan etik pada lembaga negara bertujuanmemperkuat marwah, kehormatan dan keluhuran pejabat negara yang menjalankan amanah rakyat. Pada sisi eksternal tentu akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga negara. Di beberapa negara telah membentuk peradilan etik yang memiliki kewenangan yang luas/setara dengan pengadilan hukum. Gagasan peradilan etik yang independen dan imparsial ini sangat urgen mengingat berbagai persoalan yang melatarbelakanginya, yaitu: pertama: menjamurnya pelanggaran etika yang dilakukan oleh pejabat negara, baik dalam lingkup eksekutif, legislatif maupun yudikatif, bahkan pimpinan tertinggi DPR (telah diuraikan diatas) yang merusak citra lembaga negara dimata masyarakat dan Indonesia dimata internasional. Kedua, tidak adanya standar ketentuan etika yang menjadi panduan perilaku pejabat negara, ketentuanketentuan etika disetiap lembaga negara berbeda tolok ukurnya. Padahal ketentuan etika tersebut bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.

Sementara itu, ketentuan etika yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kode etik masih banyak yang lemah. Kondisi ini memerlukan undang-undang yang secara khusus mengatur etika pejabat Negara, agar pedoman etika memiliki standar yang sama. Terdapat kelemahan baik dalam kode etik, Maupun penegakkan kode etik DPR. Pada aspek kode etik, tidak memuat secara lebih tegas aturan mengenai konflik kepentingan, dan transparansi. Dua aspek ini yang sangat mendasar bagi penegakkan etik DPR, yang apabila aspek ini dilaksanakan dan ditegakkan secara serius akan sangat membantu menaikkan kepercayaan kepada DPR.

Sidang MKH (Majelis Kehormatan Hakim) yang dilakukan secara terbuka telah menunjukkan bahwa sidang pengadilan etik sudah memenuhi prinsip pengadilan hukum. Pembentukan MKH mendukung terlaksananya independensi kekuasaan kehakiman dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman. Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dan Badan Kehormatan DPD belumlah cukup memenuhi syarat sebagai peradilan etik yang modern, kelembagaan dan komposisi penegak etik belum mampu menjamin independensi, imparsialitas, dan akuntabilitas lembaga. Pada sisi yang lain, DEMK – MKMK sudah cukup mampu menjamin independensi dan imparsialitas dalam konteks pelaksanaan fungsi. Sementara MKH merupakan penegak etik yang sudah mendekati konsep ideal sebagai peradilan etik bagi hakim. Dengan adanya kelemahan-kelemahan tersebut tentunya diperlukan gagasan penataan kelembagaan kode etik, lembaga peradilan dan dapat melaksanakan fungsinya dengan independen dan imparsial yaitu pembentukan dan posisi lembaganya serta keanggotaannya. Selain itu, akuntabilitas dan transparansi peradilan etik harus juga dilakukan. 

 

Gagasan penataan lembaga peradilan etik ini tidak hanya terbatas untuk mengadili pelanggaran etika dan moral pejabat negara, namun outputnya adalah bagaimana pejabat negara tersebut mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuat-annya pada masyarakat. Adapun design kewenangan yang di harapkan bagi peradilan etik tersebut adalah mampu untuk memberikan sanksi yang tegas bahkan sampai pada tingkat pemberhentian kepada pejabat negara yang melakukan perbuatan melanggar nilai-nilai moral/etika yang berimplikasi pada runtuhnya kedaulatan rakyat itu sendiri sebagai suatu amanah yang diemban saat ia memangku suatu jabatan.

Selain itu, untuk mempertajam sense of ethics dalam kesadaran berbangsa dan bernegara yang baik.

 

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS