Oleh: Indah
Putri Andini, Mahasiswa FISIP Universitas Andalas
Gagasan peradilan etik yang independen dan
imparsial ini sangat urgen dengan menjamurnya pelanggaran etika yang dilakukan
oleh pejabat negara, apalagi selama ini tidak adanya standar ketentuan etika
yang menjadi panduan perilaku pejabat negara. Sebagian lembaga etik masih
berada pada cengkeraman lembaga negara yang menaunginya dan masih
menempatkannya pada posisi di bawah pimpinan lembaga negara, sehingga
intervensi kepentingan sangat mungkin dilakukan. Untuk membangun desain
peradilan etik yang independen dan imparsial harus memenuhi syarat, sebagai
berikut dibentuk undang- undang yang mengatur secara khusus mengenai etika
pejabat negara; dibentuk peradilan etik yang independen dan imparsial; proses
penegakkan kode etik yang transparan dan akuntabel; penguatan Asas- asas Hukum
Acara peradilan etik yang dapat dipertanggungjawabkan; serta putusan peradilan
etik yang bersifat final dan Mengikat .
Contoh kasus pelanggaran
etik politik adalah.
Kasus Ketua DPD Irman
Gusman
Diawali dengan operasi
tangkap tangan KPK, operasi tangkap tangan ini dilatarbelakangi peran
Irman Gusman yang melakukan abuse of
power(penyalah-gunaan kewenangan) dan mencampuri peran Bulog dalam mengatur
pemberian kuota gula impor. Irman Gusman melakukan intervensi pengaturan kuota
gula impor yang menguntungkan dirinya/orang lain, dengan merekomen-dasikan
perusahaan CV Semesta Berjaya untuk diberikan kuota dan menyalurkan gula impor
di wilayah Sumatera Barat. Terkait peranan tersebut Irman Gusman menerima suap
Rp 100 juta. Putusan Peninjauan Kembali MA No.97/PK/Pid.Sus/2019 memutuskan
bahwa terpidana Irman Gusman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi. Irman Gusman dihukum pidana penjara selama 3
(tiga) tahun, pidana denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
subsider pidana kurungan selama 1 (satu) bulan, dan pencabutan hak untuk
dipilih dalam jabatan publik selama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Terpidana
selesai menjalani pidana pokok. Kasus hukum tersebut mengandung kasus etik,
sehingga BK DPD RI memutuskan pemberhentian Irman dari jabatannya karena
mencederai lembaga negara dan menyalahgunakan kewenangan-nya untuk kepentingan
pribadi. Dasar pemberian sanksi ini, adalah Pasal 52 Tata Tertib DPD yang
menyebutkan Ketua dan/atau Wakil Ketua DPD akan diberhentikan berstatus
tersangka dalam pidana. Dia mengatakan, etika yang dilanggar Irman adalah
mencederai lembaga negara dan menyalahgunakan kewenangannya sebagai Ketua DPD
untuk memperoleh keuntungan
pribadi.
Kasus Hakim Agung Ahmad
Yamani
Hakim Ahmad Yamani merupakan hakim karir yang
menjadi Hakim Agung pada 18 Februari 2010 setelah memperoleh 39 suara anggota
Komisi III DPR RI, dua tahun kemudian Ahmad Yamani dipecat dari Hakim Agung
(2012) oleh Majelis Kehormatan Hakim. Sanksi pemberhentian secara tidak hormat
terhadap Hakim Agung Ahmad Yamani karena telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana mengganti putusan terpidana narkoba
pemalsuan berkas peninjauan kembali terpidana kasus narkoba. Ahmad Yamani
diberhentikan karena mengganti putusan PK yang seharusnya pidana 15 tahun
penjara untuk gembong narkoba Hengky Gunawan, namun oleh Ahmad Yamani diganti
menjadi 12 tahun penjara. Kasus ini menunjukan adanya pelanggaran etika berupa
tidak independen dan imparsial dalam menyelesaikan kasus, tidak jujur dalam
menyampaikan pengunduran diri dengan alasan sakit.
Reformasi penegakkan etika melalui
Reformulasi kelembagaan etik pada lembaga negara bertujuanmemperkuat marwah,
kehormatan dan keluhuran pejabat negara yang menjalankan amanah rakyat. Pada
sisi eksternal tentu akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja
lembaga negara. Di beberapa negara telah membentuk peradilan etik yang memiliki
kewenangan yang luas/setara dengan pengadilan hukum. Gagasan peradilan etik
yang independen dan imparsial ini sangat urgen mengingat berbagai persoalan
yang melatarbelakanginya, yaitu: pertama: menjamurnya pelanggaran etika yang
dilakukan oleh pejabat negara, baik dalam lingkup eksekutif, legislatif maupun
yudikatif, bahkan pimpinan tertinggi DPR (telah diuraikan diatas) yang merusak
citra lembaga negara dimata masyarakat dan Indonesia dimata internasional.
Kedua, tidak adanya standar ketentuan etika yang menjadi panduan perilaku
pejabat negara, ketentuanketentuan etika disetiap lembaga negara berbeda tolok
ukurnya. Padahal ketentuan etika tersebut bersumber pada Pancasila dan UUD
1945.
Sementara itu, ketentuan etika yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan dan kode etik masih banyak yang lemah.
Kondisi ini memerlukan undang-undang yang secara khusus mengatur etika pejabat
Negara, agar pedoman etika memiliki standar yang sama. Terdapat kelemahan baik
dalam kode etik, Maupun penegakkan kode etik DPR. Pada aspek kode etik, tidak
memuat secara lebih tegas aturan mengenai konflik kepentingan, dan
transparansi. Dua aspek ini yang sangat mendasar bagi penegakkan etik DPR, yang
apabila aspek ini dilaksanakan dan ditegakkan secara serius akan sangat
membantu menaikkan kepercayaan kepada DPR.
Sidang MKH (Majelis Kehormatan Hakim) yang
dilakukan secara terbuka telah menunjukkan bahwa sidang pengadilan etik sudah
memenuhi prinsip pengadilan hukum. Pembentukan MKH mendukung terlaksananya
independensi kekuasaan kehakiman dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman.
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dan Badan Kehormatan DPD belumlah cukup
memenuhi syarat sebagai peradilan etik yang modern, kelembagaan dan komposisi
penegak etik belum mampu menjamin independensi, imparsialitas, dan
akuntabilitas lembaga. Pada sisi yang lain, DEMK – MKMK sudah cukup mampu
menjamin independensi dan imparsialitas dalam konteks pelaksanaan fungsi.
Sementara MKH merupakan penegak etik yang sudah mendekati konsep ideal sebagai
peradilan etik bagi hakim. Dengan adanya kelemahan-kelemahan tersebut tentunya
diperlukan gagasan penataan kelembagaan kode etik, lembaga peradilan dan dapat
melaksanakan fungsinya dengan independen dan imparsial yaitu pembentukan dan
posisi lembaganya serta keanggotaannya. Selain itu, akuntabilitas dan transparansi
peradilan etik harus juga dilakukan.
Gagasan penataan lembaga peradilan etik ini
tidak hanya terbatas untuk mengadili pelanggaran etika dan moral pejabat
negara, namun outputnya adalah bagaimana pejabat negara tersebut mampu untuk
mempertanggungjawabkan perbuat-annya pada masyarakat. Adapun design kewenangan
yang di harapkan bagi peradilan etik tersebut adalah mampu untuk memberikan
sanksi yang tegas bahkan sampai pada tingkat pemberhentian kepada pejabat
negara yang melakukan perbuatan melanggar nilai-nilai moral/etika yang
berimplikasi pada runtuhnya kedaulatan rakyat itu sendiri sebagai suatu amanah
yang diemban saat ia memangku suatu jabatan.
Selain itu, untuk mempertajam sense of ethics
dalam kesadaran berbangsa dan bernegara yang baik.
0 Comments