Ticker

6/recent/ticker-posts

Essay Alih Aksara Naskah Adilulah Dan Analisis Aspek Moral & Perlaku (Meila Afkarina Pitaningrum)

 

Oleh : Adinda Penulis Mahasiswi Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas


 


Naskah ini menceritakan ajaran Raja Surya Alam tentang perilaku baaik dan buruk,hukuman bagi pelaku kejahatan, dan peraturan-peraturan di suatu negara. Naskah ini merupakan koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dengan kode naskah Br. 56. Kondisi Naskah Adilulah ini merupakan sebagai suatu naskah kuno golongan baik. Namun pada kenyataannya naskah ini sebenarnya telah dikonversi, sehingga terlihat beberapa kertas putih yang menempel pada setiap halaman. Beberapa informasi yang di dapatkan pada katalog, naskah ini tidak memiliki korpus, namun setelah ditransliterasi dan dilakukan penelusuran di beberapa katalog, peneliti naskah ini menemukan korpus naskah Adilulah dengan judul yang berbeda yaitu Serat Suryangalam. Beberapa naskah atau teks yang berjudul Serat Suryangalam. Hanya ada dua yang digolongkan sekorpus karena adaa beberapa isi cerita yang mirip. Kedua naskah tersebut adalah koleksi museum Radya Pustaka dan Putra Mangkunegaran dengan aksara Jawa yang keduanya sudah diteliti mengenai hukum perdata. 


Naskah Adilulah merupakan naskah koleksi Brandes yang beraksara Pegon. Aksara Pegon merupakan adaptasi akasara Arab dengan berbagai penyesuaian bunyi bahasa Jawa, digunakan untuk menulis sastra dan bahasa Jawa, lebih banyak dipergunakan di pesantren-pesantren dan pantai utara Jawa (Karsono, 2013:24). Informasi yang dijelaskan pada katalog Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bahwa naskah Adilulah menceritakan kisah tentang seorang raja Surya Alam di Atas Angin. Naskah ini menggunakan bahasa Jawa dan aksara Pegon yang tidak semua masyarakat mengertinya. Pada umumnya naskah kuno menggunakan bahasa daerah dan hanya orang tertentu saja yang dapat memahami isinya, oleh karna itu naskah yang telah dialihaksarakan ini perlu diterjemahkan agar semua masyarakat mengerti dan paham isi dari naskah Adilulah. Naskah adilulah dimasukkan kedalam kategori naskah keagamaan karena mengandung nilai moral dalam agama Islam pada zamannya yang diajarkan oleh Rasullah saw, dan tentunya masih sangat beguna di kehidupan masa kini, karena masih dijadikan sebagai sebuah ajaran hidup bagi orang-orang Islam. 


Tradisi keberaksaraan di Indonesia tampaknya telah di mulai di Kutai pada abad ke-4 Masehi, kemudian berlanjut ke Taruma di Jawa barat abad ke-5 dan Kalinga di Jawa Tengah pada abad ke-8 (Karsono, 2013 :23). Dengan begitu tradisi keberaksaraan di Indonesia merupakan sebuah perjalanan yang tidak berhenti di satu titik, tetapi terus berjalan seiring berkembangnya dinamika kebudayaan masyarakat di Indonesia.  Beberapa unsur kebudayaan yang diciptakan oleh leluhur bahkan memiliki relevansi di masa kini. Koenjtaraningrat membagi unsur kebudayaan tersebut menjadi tujuh yaitu, 

(1) sistem religi dan upacara keagamaan

 (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan

(3) sistem pengetahuan

(4) bahasa

(5) kesenian, 

(6) sistem mata pencaharian hidup

(7) sistem teknologi dan peralatan. 


Dari beberapa unsur yang telah disebutkan, sistem pengetahuan menjadi dasar bahwa semua ilmu harus terus dipelajari sampai mendalam termasuk salah satunya adalah ilmu mengenai suatu naskah atau teks, sehingga tidak heran jika masih banyak masyarakat Indonesia yang bersedia meneliti suatu naskah untuk diketahui makna yang terkandung didalamnya. Naskah sebagai objek penelitian pasti sangat memerlukan ilmu bantu yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk dikaji secara menyeluruh. Oleh karena itu terciptalah ilmu filologi sebagai dasar untuk meneliti suatu naskah dengan baik. Filologi adalah ilmu yang berhubungan dengan karya masa lampau yang berupa tulisan. Secara etimologi, filologi berasal dari kata philos ‘kata’ dan logos ‘cinta’. Pada kata filologi, kedua kata tersebut membentuk arti ‘cinta kata’, atau ‘senang bertutur’ (Shipley dalam Baried, 1961; Wagenfort, 1947). Salah satu fokus kajian filologi adalah alih aksara suatu teks yang terdapat di dalam naskah. Membaca setiap teks yang ada di dalam naskah bukan hal yang mudah bagi seorang peneliti.


Inventarisasi naskah yang dilakukan oleh peneliti dalam penelusuran katalog-katalog tidak ditemukan judul naskah yang sama, tetapi setelah melihat berbagai penjelasan yang ada di katalog ditemukan naskah dengan judul Serat Suryangalam. Suryangalam dalam naskah Adilulah disebutkan bahwa dia adalah seorang raja. Peneliti menganggap bahwa naskah Serat Suryangalam sebagai korpus' dari naskah Adilulah karena adanya kemiripan nama yaitu Surya Alam.


Deskripsi naskah Adilulah berdasarkan pengamatan peneliti akan dipaparkan sebagai berikut:

Sampul naskah Sampul naskah Adilulah berwarna coklat dan terdapat corak berwarna hitam. Bahan sampul terbuat dari karton tebal dan dipunggung sampul ditempel solasi berwarna hitam agar sampul tidak mudah terlepas. Kondisi sampul naskah Adilulah masih bagus dan tidak terlihat robek sedikitpun.


Cap Naskah Terdapat keterangan judul dan cap yang ada di halaman paling depan 

naskah. Cap yang berisi keterangan "GOUVERNEMENTS-EIGENDOM" berwarna biru, dan dibawahnya terdapat judul naskah yaitu Adilullah. Dalam Kamus Belanda-Indonesia (Susi Moeimam dan Hein Steinhauer, 2008) Gouvernements artinya Pemerintah Hindia-Belanda, dan Eigendom artinya hak milik. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa naskah Adilulah ini merupakan naskah milik Pemerintah Hindia-Belanda.

Punggung Naskah Punggung naskah Adilulah berwarna hitam dan terdapat keterangan di kertas berwarna putih kusam yang menempel pada punggung naskah. Kertas putih tersebut berisi kode naskah Adilulah Br. 56


Bahan, Tebal, dan Ukuran KertasBahan kertas yang digunakan dalam naskah Adilulah adalah kertas Eropa dengan warna yang sudah kecoklatan. Naskah Adilulah telah di konservasi. sehingga bahan kertas menjadi tebal dan kaku, di tengah naskah terdapat seperti solasi berwarna putih untuk melekatkan antar halaman supaya tidak terlepas. Tidak ada kertas yang robek dari awal sampai akhir halaman, namun terdapat gambar persegi panjang yang ada di setiap halaman di bagian tengah kertas. Gambar tersebut menjadi salah satu penghalang sehingga tulisan susah dibaca. Tebal naskah atau jumlah halaman naskah Adilulah adalah 22 halaman dan tidak terdapat kertas kosong didalamnya.


TintaTinta yang digunakan untuk menulis naskah Adilulah menggunakan tinta yang berwarna hitam. Dalam beberapa kata ada juga yang menggunakan tinta merah dan tidak begitu banyak. Pada halaman 15 tulisan tidak begitu jelas terbaca karena tinta sangat tipis.


PenomoranPenomoran yang digunakan pada naskah Adilulah menggunakan pensil. Penomoran halaman 1 sampai 22 berada di pojok kanan atas dan ada pula yang di pojok kiri atas menggunakan angka biasa, bukan angka aksara Pegon atau Arab.


Aksara dalam naskah Adilulah menggunakan aksara pegon. Aksara pegon merupakan adaptasi aksara Arab dengan berbagai penyesuaian bunyi bahasa Jawa, digunakan untuk menulis sastra dan bahasa Jawa (Karsono, 2013: 24).


Bahasa Dalam keterangan di katalog naskah Adilulah menggunakan bahasa Jawa


Jumlah Baris dan Garis BantuJumlah baris pada naskah Adilulah adalah 14 baris per halaman, kecuali halaman pertama dan terakhir. Halaman pertama berjumlah 13 baris sedangkan halaman terakhir berjumlah 7 baris. Pada setiap halaman terdapat garis bantu yang berukuran 3 cm x 2 cm x 2.5 cm. 


ASPEK PERILAKU DAN MORAL DALAM NASKAH ADILULAH


Inilah cerita Adilulah yang negaranya di Atas Angin, rajanya bernama Sultan Surya Alam, artinya menerangi rakyatnya seperti ia menerangi hartanya. Berdasarkan sosoknya dijelaskan (bahwa) caranya berbicara terhadap semua janji dan mengubah semua perkataan saudara, jika buruk disingkirikan. Tangan kiri berbuat buruk tangan kanan yang membenarkan, jika tangan kanan berbuat buruk tangan kiri yang membenarkan, (keduanya) dilakukan dengan adil. Tidak berbicara yang mengumbar kekejaman, dan suka berbicara tentang baik dan buruknya negara. Dan tidak akan menghadap kepada sang prabu jika ada keburukan, anibala sepahing dhalang tersebut membuat tentram, tingkah lakunya merasakan (bahwa) jangan berbicara karena kasih, dan jangan berbicara karena waktu, jangan berbicara karena yang lain, dan jangan meremehkan hari apabila keadilannya tidak benar.


Seperti yang dipaparkan pada suntingan teks dan terjemahan, inilah beberapa sifat raja Suryangalam kepada rakyatnya: 


1. Melindungi rakyatnya 2. Menepati janjinya 3. Berbicara kebaikan, dan menyingkirkan keburukan 4. Tidak megumbar kekejaman kepada rakyatnya 5. Memikirkan keadaan negara, baik dan buruknya 6. Selalu membuat ketentraman 7. Berbicara sesuai kepentingan atau kebutuhan, dan jangan menyianyiakannya,artinya yaitu berbicara seperlunya saja.


Sifat-sifat raja yang telah disebutkan diatas merupakan sifat yang dapat dicontoh oleh pemimpin masa kini. Apabila pemimpin tersebut memiliki sifat-sifat yang baik, maka akan memberikan pengaruh baik juga bagi kepemimpinan dinegaranya.Dalam naskah Adilulah, selain disebutkan aturan berperilaku yang baik disebutkan juga beberapa perilaku yang buruk. Barang siapa yang perilakunya buruk, maka akan mendapat hukuman. Hal tersebut juga berlaku dalam sebuah negara di zaman dulu, bahkan aturan yang berlaku pada zaman dulu biasanya lebih kejam dibandingkan dengan zaman sekarang


i. Perintah untuk mencuri

ii.  Orang yang berselisih

iii. Merendahkan perempuan

iv. Melanggar aturan




Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS