Ticker

6/recent/ticker-posts

Alam sebagai Perspektif bagi Adat di Minangkabau

 


Penulis (Adinda, Mahasiswi Prodi Sastra Minangkabau, Universitas Andalas)




Ajaran adat Minangkabau berlandaskan filosofi Alam Takambang Jadi Guru. Filosofi ini menyatakan bahwa alam semesta merupakan sumber kebenaran dan kearifan bagi orang Minangkabau. Alam semesta dapat dipahami sebagai dua hal: (1) Alam dari segi fisik: Alam sebagai tempat lahir, tumbuh, dan mencari kehidupan. (2) Tantanan Kosmologis: Alam sebagai kosmos yang memiliki makna filosofis. Pemahaman orang Minangkabau terhadap alam ini tercermin dalam Pandangan dunia “world view” cara pandang orang Minangkabau terhadap dunia dan segala isisnya. Pandangan hidup “way of life” cara hidup orang Minangkabau yang didasarkan pada filosofi Alam Takambang Jadi Guru. 

Filosofi atau filsafat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat, dasar, sebab, asal, dan hukum segala yang ada. Adat Minangkabau, sebagai pandangan hidup orang Minang dari dulu sampai sekarang, diibaratkan seperti alam. Konsekuensi logisnya adalah adat Minangkabau akan terus ada selama alam masih ada. Hal ini ditegaskan dengan ungkapan adat “Indak lapuak dek hujan, indak lakang dek paneh” yang berarti (tidak lapuk oleh hujan, tidak lekang oleh panas). Adat Minangkabau akan tetap lestari dan terjaga meskipun diterpa berbagai rintangan dan tantangan. 

Dengan adanya kesamaan pengertian filsafat dengan dasarnya pembentukan adat Minangkabau yang kita warisi sekarang, yakni berlandaskan akal budi untuk membentuk budi yang luhur. Inilah salah satunya yang meyakini kita (etnis Minang) akan dapat melestarikan adatnya sepanjang masa, tentu saja struktur dan sistemnya tidak berubah dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, adat istiadat Minangkabau yang falsafahnya dibangun berdasarkan ketentuan alam yang abadi, akan terus masih ada selama kaum ibu Minangkabau dan masyarakat Minangkabau lah yang akan meneruskan warisannya. 

Hal ini mirip dengan bagaimana suatu bangsa dari sebuah pohon ada di alam. Dari sebutir benih pohon, benih itu tumbuh menjadi pohon, maka pohon tersebut akan mati namun juga akan meninggalkan benih tersebut, sehingga pohon tersebut dapat terus eksis sebagai sebuah bangsa bahkan pada tingkatan yang berbeda-beda. Jika diperkenalkan pada adat Minangkabau, bibit pohon yang dimaksud juga akan di enkapsulasi. Pohon baru berikutnya telah terbungkus dalam benih pohon. Sistem dan strukturnya adalah adat istiadat Minangkabau. 

Pada perumpamaan di atas dikatakan bahwa benih pohon melambangkan adat Minangkabau, dan negeri pohon merupakan perwujudan adat tersebut secara nyata menurut waktu dan tempat, sedangkan kebudayaan Minangkabau merupakan penjelmaan dari filsafat tradisional Minangkabau.

Mengungkapkan fatwa adat : 

Kalau dibalun sabalun kuku kalau digumpal sekecil kuku

Kalau dikambang salemba alam kalau dikembang selebar alam

Walau sagadang biji labu walau sebesar bji labu

Bumi jo langik ado di dalam bumi dan langit ada didalam. 

Dari fatwa adat diatas, terlihat bahwa konsep adat didasarkan pada ciri khasnya, ibarat sebuah benih adat itu adalah dasar falsafahnya. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebudayaan mempunyai arti sebagai berikut: pemikiran, akal sehat, adat istiadat, dan sesuatu tentang kebudayaan yang telah berkembang (beradab, maju). Akibatnya kebudayaan Minangkabau dan terbentuknya adat istiadat Minangkabau yang dilandasi dengan akal budi (budi = alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk) dan dilandaskan dengan raso jo pareso, raso dibaok naik pareso dibaok turun (raso=rasa=perasaan, pareso=periksa=pikiran=logika). 

Secara arif, leluhur orang Minang percaya bahwa alam adalah guru dan orang Minang harus melakukan perjalanan intelektual untuk mendapatkan sebanyak mungkin pengetahuan dan kebijaksanaan dari dunia yang luas. Tanah rantau adalah guru sebagai tempat menimba ilmu dan harapan. Pada kebudayaan Minang, ada juga buku panduan yang dikenal sebagai Tambo, yang mengatakan bahwa dima bumi dipijak disinan langik dijunjuang (dimana bumi dipijak disana langit dijunjung). Kearifan lama ini dalam konteks budaya merantau pada dasarnya mencerminkan kesadaran orang Minang akan keragaman budaya uang ada di daerah tersebut. Ungkapan ini tidak hanya digunakan sebagai semacam “pesangon kultural” untuk menjadi populer di daerah rantau, tetapi juga berbicara tentang kesadaran multikultural orang Minang tentang keberadaan kebudayaan lain. 

Terlepas dari itu, makna awal dari semangat multikulturalisme lebih pada prinsip untuk menghormati keberadan kebudayaan lain dengan harapan bhawa mereka dapat diterima di tempat lain dan tidak berusaha untuk menerima pengaruh orang lain. Mereka datang ke dalam gumpalan kebudayaan yang sudah mapan sebagai perantau, jadi logis jika frasa ini awalnya hanya dimaksudkan untuk diterima dalam formasi kebudayaan yang sudah mapan dan eksis. 

Manfaat pendidikan multikultur yang signifikan selain digali dari kedalaman kebudayaannya sendiri mencakup setidaknya tiga hal. Pertama, mendidik orang untuk menjadi lebih sadar akan realitas multikultur di luar diri mereka sendiri. Kedua, mendidik orang untuk memperoleh soft skill atau kecerdasan dalam menghadapi kemajemukan. Ketiga, mendidik orang tentang bagaimana kecerdasan multikultur dapat menjadi alat untuk membantu orang lain belajar. Secara historis, orang Minangkabau terkenal sebagai etnis terpelajar dan pemikir. Menurut ungkapan Soekarno, “Bekerjalah seperti orang Jawa, berbicaralah seperti orang Batak, dan berfikirlah seperti orang Minang,” orang Minangkabau mengutamakan pendidikan untuk kelangsungan hidup masyarakat baik untuk saat ini maupun untuk generasi berikutnya. Mereka menganggap pendidikan sebagai bagian terpenting dari kelangsungan adat, budaya, agama, dan kehidupan masyarakat yang lebih layak. 

Mengambil pelajaran dari pelaksanaan adat Minangkabau yang dilakukan oleh orang Minang pada masa lalu, banyak yang terkenal dan diberi gelar Datuk. Misalnya, Buya Hamka diberi gelar Dt. Indomo, Moh. Natsir diberi gelar Dt. Sinaro Panjang, dan Mr. Asaad diberi gelar Dt. Mudo, dan lain-lain. 


Penulis (Adinda, Mahasiswi Prodi Sastra Minangkabau, Universitas Andalas)

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS