Nama : Fahresa Jufrina
Tempat/ tanggal lahir : Padang/ 09 Januari 2004
Alamat : Padang, Sumatera Barat Pekerjaan/ Instansi : Mahasiswa universitas andalas jurusan Sastra Minangkabau fakultas Ilmu Budaya
Pondok ialah sebuat daerah yang berada di Kota Padang, Sumatera Barat. Pondok merupakan daerah perdagangan yang cukup terkenal pada masanya. Terletak di tepi samudra Hindia, menjadikan penyebab utama banyaknya kapal bersandar di sana. Pusat perdagangan juga menjadi salah satu penyebab banyak perantauan yang mencoba kehidupan mereka di pondok. Di pondok sendiri terdapat dua kelompok perantau yaitu perantau Minang yang berasal dari daerah perdalaman Minangkabau dan orang-orang Tionghoa yang mulai datang ke padang pada sekitar abad ke 15 yang mana saat itu sedang dipengaruhi oleh perkembangan para pedagang malaka.
Perbedaan kultural dan geografis orang Tionghoa membuat mereka membutuhkan pendekatan yang lebih dibandingkan perantau Minang. Perantau Minang sangat berpedoman pada filsafat “hidup berakal, mati beriman” yang berpedoman pada “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Selaras juga dengan etnik Tionghoa yang lebih berpedoman pada ajaran konfusius dengan mempelajari etika dan moral dalam kehidupan. Ajaran konfusius juga menjadi faktor etnis Tionghoa menjadi lebih fleksibel dan selalu berusaha menyesuaikan diri lengan perantauan Minang yang menjadi kelompok dominan pada daerah tersebut.
Perbedaan sistem kekeluargaan dari kedua etnik tersebut juga tidak menjadi faktor perselisihan. Etnis Tionghoa menganut sistem keturunan ayah atau biasa dikenal dengan patrilineal yang sangat nampak ketika dilihat dari nama-nama etnis Tionghoa tersebut. Sedangkan etnis Minang menganut sistem garis keturunan ibu yang dikenal dengan sistem keturunan matrilineal dan menjadi faktor utama perempuan Minang disebut sebagai bundo kandungan.
Perbedaan yang lainnya juga terdapat dalam hubungan agama, etnis Tionghoa berpedoman dari ajaran-ajaran para filsuf. Adapun filsuf yang terkenal mereka ialah konfusius dan laozi. Ajaran-ajaran tersebut sudah yakini etnis Tionghoa dari ribuan tahun yang lalu. Namun tidak semua etnis Tionghoa menganut ajaran-ajaran tadi banyak juga etnis Tionghoa menganut agama kristen atau katolik. Sedangkan etnis Minang merupakan penganut Islam yang sangat taat. Walaupun adanya perbedaan antara sistem garis keturunan matrilineal dengan ajaran agama islam yang patrilineal. Namun etnis Minang tetap mampu mengelola kedua perbedaan tersebut. Dari banyak perbedaan diantara kedua etnis tersebut mereka tetap mampu menjembataninya. Keharmonisan dan keselarasan yang dibentuk terlihat dalam bidang sosial ekonomi kedua etnis ini. Penyebabnya dari keharmonisan tersebut dapat dilihat dari pedoman-pedoman kedua etnis ini baik dalam berdagang maupun merantau yang berdasarkan kemandirian, kerja keras, dan keinginan yang dimilikinya.
Etnis Tionghoa dan Minang merupakan etnis yang memiliki kesamaan minat yaitu dalam bidang perniagaan. Dari kesamaan yang dimiliki kedua etnis inilah menjadi faktor pendorong timbulnya kerja sama. Interaksi dalam kehidupan sehari-hari dalam bidang perniagaan juga tidak dijadikan suatu permasalahan dalam mencapai tujuan yang sama. Perniagaan yang dilakukan oleh kedua etnis ini berada di pasar tanah kongsi, pasar yang terletak di Jl. Tanah Kongsi, Kampung Pondok, Padang Barat, kota Padang. Etnis minang lebih berfokus pada jualan berupa daging sapi, buah-buahan, sayur-sayuran, ikan, serta sarapan pagi berupa lontong sayur dan juga toko kelontong. Sedangkan etnis Tionghoa lebih berfokus pada jenis jualan berupa daging babi, tahu, kue-kue dan juga sarapan pagi maupun toko kelontong. Pasar tanah kongsi dianggap lebih efisien dibandingkan pasar raya atau yang dikenal dengan pasar gadang. Para pedagang dan para pembeli di sana lebih membangun kepercayaan satu sama lain yang dapat dilihat dari para pedang dengan mudah memberikan kesempatan kepada pembeli untuk melakukan hutang atau casebon. Para pembeli yang diberi kesempatan untuk berutang biasanya akan melunasi hutangnya pada esok hari saat kembali berbelanja.
Keharmonisan yang hangat dari kedua etnis tersebut menyebabkan hampir tidak adanya pergesekan atau perkelahian baik dalam mencari sumber kehidupannya yaitu dengan berdagang. Kerjsama kedua kelompok ini juga dapat dilihat dari banyaknya warung-warung etnis Tionghoa pada kawasan perkampungan pondok yang merupakan rumah dari orang-orang Tionghoa sekaligus sebagai lahan mereka untuk berjualan. Warung-warung Tionghoa yang menjual berbagai macam minuman tersebut akan bekerja sama dengan etnis Minang sehingga teras/ halaman warung dapat digunakan etnis minang untuk menjual makanan tradisional berupa gado-gado ataupun sate. Kerjasama kedua etnis ini sangat mengedepankan simbiosis mutualisme sehingga menjadi penyebab utama terjalinnya hubungan persahabatan kedua etnis tersebut. Hubungan yang terjadi diantara kedua etnis terebut tidak hanya dapat tejalin dalam waktu yang singkat, namun sering terjalin berpuluh-puluh tahu. tak heran juga hubungan yang terjalin lama menimbulkan rasa kekeluargaan dari kedua etnis tersebut.
Perbedan bahasa dari kedua etnis tersebut bukanlah menjadi penghambat dalam berkomunikasu. Kemampuan kedua etnis ini dalam berdaptasi sangatlah tinggi. Terutama adaptasi yang dilakukan etnis Tionghoa dalam bidang bahasa. Kedua etnis ini menjadikan bahaa minang sebagai bahasa sehari-hari mereka, meskipun terjadinya penyesuaian pada etnis Tionghoa. Kehebatan dalam beradaptasi tertama pada cara bicara/ dialeg yang dimiliki etnis Tionghoa menjadikan Tionghoa pondok berbeda dengan Tionghoa lainnya.
Selain dari dampak komunikasi etnis tionghoa tidak banyak menggunakan bahasa mandarin disebabkan oleh beberapa fakto diantaranya ialah populasi etnis minang lebih banyak dibandingkan etnis tionghoa yaitu sebesar 90% dibandingkan etnis tionghoa yang hanya 10%. Selain faktor tadi juga dikarenakan adanya peraturan dari pemerintah pada masa orde baru dengan ketentua melarangan penggunaan bahasa mandarin. Penutupuan sekolah tionghoa yang dilakukan pada tahun 1967 saat orde baru. Penutupan sekolah tionghoa tersebut sangat berdampak kepada kurangnya pengenalana dan pembelajaran bahasa mandarin yang dilakukan para orang tua kepada anak-anaknya
0 Comments