Ticker

6/recent/ticker-posts

Dua Komunitas Kapal Selancar Menolak Pemberlakuan Perda nomor 1 Tahun 2024


 Dua Komunitas Kapal Selancar Menolak Pemberlakuan Perda nomor 1 Tahun 2024 

Mentawai - Pemkab Kepulauan Mentawai baru-baru ini telah menerbitkan tarif baru retribusi surfer melalui Perda nomor 1 tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 

Pada perda tersebut, tarif retribusi bagi peselancar mancanegara naik 100 persen dari yang sebelumnya Rp1 juta menjadi Rp2 juta, sementara tarif retribusi peselancar nusantara (kecuali peselancar lokal Mentawai) naik 5 kali lipat dari tarif sebelumnya yang hanya Rp100 ribu menjadi Rp500 ribu. Biaya itu dihitung per sekali kunjungan dengan masa tinggal 15 hari. 

Jauh sebelum perda ini diterbitkan, sebelumnya Pemkab Kepulauan Mentawai menyatakan penggunaan retribusi selancar dimaksudkan untuk pemberdayaan kelompok sadar wisata (Pokdarwis), pendidikan bahasa Inggris untuk anak-anak di perkampungan wisata, sosialisasi peduli lingkungan untuk anak-anak sekolah, pengelolaan sampah, operasional tenaga Tourism Information Centre (TIC) dan biaya operasional Tim Pengawas Wisata Bahari. 

Namun yang terpantau di lapangan, hanya TIC yang terlihat aktif secara kasat mata sebagai implementasi atas penggunaan retribusi selancar ini. Tenaga TIC sendiri merupakan petugas yang ditempatkan di beberapa pintu masuk Kepulauan Mentawai, seperti bandara dan pelabuhan untuk menagih retribusi terhadap peselancar yang akan berkunjung ke Bumi Sikerei. 

Hal ini tentunya menjadi kekecewaan besar bagi para pelaku usaha pariwisata di Kepulauan Mentawai, sebab penggunaan retribusi sebelumnya dikelola tidak secara transparan dan belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai, khususnya peselancar. Peselancar belum mendapatkan pelayanan yang memadai seperti toilet di dermaga, apalagi rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya yang berada di dekat spot surfing. Di tahun 2023 saja, terjadi dua kecelakaan wisatawan selancar dan diving yang menyebabkan korban jiwa karena minimnya sarana kesehatan di sekitar area lokasi objek wisata selancar. Kini muncul pula tarif baru yang faktanya pada proses perencanaan, pembahasan, sampai penetapannya tidak pernah meminta saran dan masukan dari para pelaku usaha pariwisata di Kepulauan Mentawai. 

Dua komunitas kapal peselancar hingga kini diketahui menolak pemberlakuan perda yang baru saja disahkan pada Januari lalu itu. 

Ketua Komunitas Kapal Surfing Mentawai (KKSM), Redi Harianto, menyebutkan ada 5 poin yang menjadi alasan KKSM menolak pemberlakuan perda tersebut. 

"KKSM menolak Perda nomor 1 Tahun 2024 dengan beberapa pertimbangan, pertama, bahwa besaran retribusi tag masuk yang ditetapkan dalam beberapa produk hukum daerah Mentawai terkait sebelumnya belum dapat memberikan pelayanan yang maksimal bagi wisatawan selancar serta para pelaku usaha wisata selancar dengan masih minimnya sarana kesehatan di sekitar area lokasi objek wisata selancar yang telah ditetapkan," ujar Redi Harianto kepada media ini di Tuapejat, Jumat (8/3).

Kedua, lanjutnya bahwa retribusi tag masuk yang ditetapkan dalam aturan sebelumnya tidak memperlihatkan peningkatan terhadap struktur serta infrastruktur khususnya daya tarik wisata selancar, dimana tidak terdapat dermaga tambat apung atau Mooring Buoy di setiap lokasi daya tarik wisata selancar yang telah ditetapkan.

"Ketiga, bahwa tujuan pengelolaan dan pemanfaatan daya tarik wisata selancar termasuk hak pungutan atas retribusi adalah untuk meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat belum terpenuhi sepenuhnya. Selanjutnya, bahwa terdapat produk hukum daerah yang saat ini masih membatasi ruang gerak pelaku usaha khususnya usaha wisata selancar transportasi atau kapal selancar dengan penetapan pengelompokan pemanfaatan berdasarkan ketentuan kuota persentase masuk yang berbeda- beda serta terbatas. Dan terakhir, bahwa kenaikan nilai nominal retribusi yang ditetapkan bagi tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga khususnya bagi peselancar mancanegara dalam lampiran Pasal 73 ayat 1 huruf  d, akan tumpang tindih dengan aturan lain, khususnya daya tarik wisata selancar yang masih mengatur retribusi dengan jumlah nominal berbeda yang produk hukum daerah nya belum direvisi atau dicabut," terang Redi. 

Penolakan terhadap perda ini juga dinyatakan oleh Ketua Asosiasi Kapal Selancar Sumatera Barat (AKSSB), Aim Zein. Dirinya kepada media ini menyebutkan, selain terburu-buru dan terkesan memaksa, perda ini diperkirakan akan menyebabkan kerugian bagi para pelaku usaha wisatawan. 

"Tamu selancar melakukan reservasi 1 tahun sebelum keberangkatannya untuk berselancar ke Kepulauan Mentawai dan pada saat booking tersebut, mereka telah membayar sekaligus termasuk retribusi yang berlaku saat itu sebesar Rp1 juta, sementara perda ini dikeluarkan dan diberlakukan pada Januari 2024.  Sehingga pelaku usaha rugi, karena harus membayar kekurangannya. Selain AKSSB, hal yang sama juga dialami oleh para penggiat atau pelaku usaha pariwisata seperti resort, surfcamp, tour operator, dan lain-lain, sehingga usaha mereka rugi dan berdampak buruk bagi keberlanjutan usaha mereka dan UMKM. Rantai kerugian ini akan berlanjut kepada pihak-pihak lain, sehingga merugikan ekonomi masyarakat dan UMKM," tulis Aim Zein di aplikasi percakapan WhatsApp. 

Lebih lanjut, Aim menyayangkan,  sudah lebih dari 5 tahun Pemkab Kepulauan Mentawai menarik retribusi peselancar, namun peselancar tidak mendapatkan fasilitas yang layak seperti tidak adanya dermaga khusus wisata di Tuapejat, tidak ada pelayanan atau tempat bagi wisatawan di pelabuhan, masih banyak terjadinya pungutan liar dan aksi premanisme, tidak ada fasilitas pelayanan emergency untuk kasus-kasus kecelakaan darurat yang sering dialami peselancar maupun kapal selancar, sehingga para wisatawan tidak mendapatkan rasa aman dan nyaman. 

"Pemerintah Mentawai masih menerapkan aturan yang ambigu dan tidak adil dengan menerbitkan aturan khusus untuk membatasi jumlah peselancar dan menggunakan sistem pendaftaran online bagi kapal, seperti yang terjadi di Silabu, Macaroni.  Padahal sistem tersebut justru merugikan dan tidak adil.  Seharusnya, setiap orang yang membayar retribusi, dapat berselancar dimana saja.  Berlaku adil untuk semua," beber Aim lagi. 

Untuk itu, Aim menegaskan AKSSB menolak dan meminta Pemkab Kepulauan Mentawai menunda pelaksanaan perda tesebut dan untuk selanjutnya melibatkan para pelaku usaha atau stakeholder terkait dalam membuat sebuah aturan regulasi yang berdampak bagi pelaku usaha itu sendiri. 

"AKSSB juga meminta, apabila aturan tersebut nanti diterapkan, dapat berlaku adil untuk semua, tidak ada hak ekslusif diberikan kepada pihak-pihak tertentu yang dibungkus dengan aturan-aturan sepihak. Untuk itu, AKSSB Meminta agar Pemkab Mentawai mencabut Peraturan Bupati Mentawai no. 13 tahun 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai Nomor 2 tahun  2015 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Daya Tarik Wisata Selancar. Peraturan tersebut sudah berjalan lebih dari 5 tahun, dan pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik, tidak adil, merugikan pelaku usaha serta mengakibatkan banyak kejadian-kejadian yang merugikan kepentingan pelaku usaha dan umum," terangnya. 

Adapun Perbup nomor 13 tahun 2016 itu sendiri memuat beberapa peraturan kontroversial dan menguntungkan bagi pihak tertentu. Seperti aturan setiap kapal wisata selancar wajib tambat labuh pada mooring buoy yang telah disediakan Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kepulauan Mentawai, faktanya hanya 2 unit mooring buoy yang terdapat di lokasi ombak Macaroni Desa Silabu dan itupun salah satu diduga diklaim oleh oknum pelaku usaha resort setempat. Serta aturan yang memuat kapal wisata selancar yang akan memanfaatkan ombak selancar macaroni di Teluk Pasongan, harus mendaftar terlebih dahulu kepada Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kepulauan Mentawai secara online. 

"Selanjutnya, AKSSB meminta Pemkab Kepulauan Mentawai bersikap terbuka dan mau berkoordinasi dan berkomunikasi dengan pelaku usaha untuk bersama-sama membuat rencana pengembangan pariwisata bahari di Mentawai yang baik dan menguntungkan bagi semua pihak.  Hingga saat ini Pemkab Mentawai belum melakukan hal tersebut dan hanya bekerja sendiri. Lalu terkahir, pembayaran retribusi harus dilakukan langsung secara bank transfer ke rekening bank Pemerintahan Mentawai.  Pemerintah harus memiliki sistem dimana para pembayar retribusi dapat langsung melihat secara online siapa saja yang sudah membayar dan siapa saja yang belum membayar.    Pembayaran langsung di lapangan tidak boleh dilakukan untuk mencegah terjadinya KKN," pungkasnya. (Ricky)

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS