Oleh : Nurul Annisa Mahasiswi unand pak/Tugas MK Biologi Forensik dibawah dosen Resti Rahayu
ahli forensik dalam mengungkap kebenaran mengenai kasus kriminal yaitu ketelitian ketika mengumpulkan dan mengamati bukti-bukti yang tertinggalkan. Terdapat beberapa metode pengamatan yang dapat ditempuh dalam mengungkap kasus-kasus tersebut dan menjadi keharusan bahwa kesimpulan ahli forensik dapat menjadi saksi kunci di meja hijau. Salah satu kunci dalam menyelesaikan kasus forensik adalah adanya barang bukti jaringan tubuh manusia. Meskipun jaringan tubuh manusia akan mengalami proses degradasi dan akhirnya hilang, namun kerusakan dan hilangnya jaringan tubuh tersebut membawa bukti-bukti baru, yakni bukti ilmiah yang mendukung proses hukum di pengadilan (Kristanto et al., 2009). Ilmu forensik tidak hanya mempelajari mengenai kedokteran forensik saja, banyak cabang ilmu lain yang turut berkontribusi dan menjadi aspek penting dalam ilmu forensik. Beberapa bidang ilmu lain tersebut antara lain kimia forensik, psikologi forensik, kedokteran forensik, patologi forensik, toksikologi forensik, psikiatri forensik, komputer atau digital forensik biologi forensik, ekologi forensik, entomologi forensik, botani (palinologi) forensik, zoologi (veteriner) forensik, fisika forensik, antropologi forensic (Aflanie et al., 2020).
Entomologi forensik merupakan cabang ilmu dalam ilmu entomologi dan ilmu forensik. Entomologi forensic berkaitan dengan ilmu tanatologi atau pengetahuan tentang kematian. Studi mengenai beberapa cabang ilmu biologi sangat berguna untuk memahami pengaruh waktu kematian mayat secara entimologis yang dipengaruhi oleh daktor eksternal dan internal seperti suhu, cuaca, kelembapan, paparan Cahaya dan lokasi (Keshavarzi et al,. 2015). Entomologi adalah salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang serangga serta kehidupannya. Istilah ini berasal dari dua perkataan latin ‘entomon’ bermakna serangga dan ‘logos’ bermakna ilmu pengetahuan. Sebagai bagian dari komunitas ekosistem bumi, serangga telah menjadi penentu keberadaan dan perkembangan ekosistem di muka bumi (Ofreza, 2019)
Fungsi utama serangga dalam penyelesaian kejahatan adalah sebagai indikator biologis untuk memperkirakan waktu yang telah berlalu sejak kematian atau interval postmortem minimum (minPMI) (Matuszewski, 2021). Selain itu, waktu kolonisasi larva dipteran pada luka myiasis dapat memberikan indikasi waktu penelantaran bagi manusia, hewan peliharaan, dan ternak (Bambaradeniya, 2019). Dua prinsip dasar pemanfaatan serangga adalah menentukan minPMI berdasarkan perkembangan suhu yang dapat diprediksi dan pola kolonisasi berurutan pada bangkai (Byrd, 2014). Serangga yang paling banyak terlibat dalam penyelidikan forensik adalah lalat sejati atau Diptera. Spesies dominan dalam ordo ini adalah Calliphoridae (lalat tiup), Sacrophagidae (lalat daging) dan Muscidae (lalat rumah). Calliphoridae (lalat tiup), Sacrophagidae (lalat daging) dapat tiba dalam beberapa menit setelah kematian. Muscidae (lalat rumah) menunda kolonisasi sampai tubuh mencapai tahap pembusukan mengembung (Joseph, 2011).
Contoh kasusnya adalah Kasus serangga digunakan dalam penyelidikan kriminal pertama kali ditulis dalam buku Sung Tzu berjudul The Wash Away of Wrongs dari Cina. Kasus yang tercatat adalah kasus pembunuhan seorang petani di ladang dengan senjata tajam. Seluruh tersangka diperintahkan untuk meletakkan benda tajam yang mereka miliki ke tanah. Terdapat satu senjata yang menarik kedatangan lalat ke jejak darah yang disembunyikan oleh pelaku dari kasat mata dan diikuti dengan pengakuan oleh para pelaku (Joseph, 2011). Proses dekomposisi juga dapat dijelaskan dalam lima tahap yaitu tahap segar, tahap mengembung, tahap pembusukan, tahap pasca pembusukan, dan tahap sisa. Tahap segar atau fresh berlangsung pada hari ke-1 hingga hari ke-2 dimulai pada saat kematian dan berakhir ketika kembung diamati pada bangkai. Estimasi waktu kematian dengan data entomologis setelah 24 jam lebih akurat daripada estimasi pemeriksa medis berdasarkan pemeriksaan jaringan lunak. Serangga terlihat tertarik dalam 10 menit pertama kematian pada bangkai tetapi tidak ditemukan peletakan telur (oviposisi) selama keadaan ini. Kerusakan sel terjadi selama tahap ini tanpa perubahan morfologis. Meskipun perubahan morfologi dan bau tidak jelas bagi manusia, bahan kimia yang dilepaskan dari kerusakan sel menarik serangga bahkan pada tahap awal ini. Tahap mengembung terjadi pada hari ke-2 hingga hari ke-7 terjadi pembusukan gas yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme bakteri anaerob menyebabkan pembengkakan perut dan bangkai membentuk penampilan seperti balon pada bagian selanjutnya. Kegiatan Arthropoda dikombinasikan dengan proses pembusukan menyebabkan suhu internal bangkai meningkat. Diptera dewasa dalam jumlah terbesar tertarik pada bangkai selama tahap ini. Pada hari keempat, stadium instar pertama dan awal kedua atau larva Diptera sudah ada. Pada awal Hari ke-2, beberapa predator larva Diptera juga ditemukan dari bangkai (7). Tahap pembusukan terjadi pada hari ke-5 hingga hari ke-13 terjadi penembusan atau bocornya dinding perut sehingga bangkai akan mengempis dan mengakhiri tahap mengembung. Suhu internal akan naik hingga 14 derajat diatas suhu sekitar diikuti dengan penurunan yang menandakan akhir dari tahap pembusukan. Bau busuk tinggi selama suhu meningkat dan turun dengan penurunan suhu. Terjadi konversi biomassa karkas menjadi biomassa larva diptera. Larva kemudian berubah bentuk dari bangkai untuk menjadi kepompong. Tahap pasca pembusukan terjadi pada hari ke10 hingga hari ke-23. Tahap pasca pembusukan dimulai ketika sebagian besar larva Diptera meninggalkan bangkai, meninggalkan tulang, tulang rawan, rambut, sebagian kecil jaringan, dan sejumlah besar bahan basah dan kental yang diketahui sebagai produk sampingan dari pembusukan. Tahap sisa terjadi pada hari ke18 singga lebih dari hari ke-90 Tahap ini ditandai dengan tulang dengan sedikit tulang rawan yang tersisa dan produk sampingan dari pembusukan telah mengering. Peralihan dari tahap pasca pembusukan ke tahap sisa terjadi secara bertahap, dengan menurunnya populasi Diptera dewasa dan larva (Joseph, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Aflanie, I., Nirmalasari, N., & Arizal, M. H. (2020). Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal. Rajawali Press
Bambaradeniya, Y.T.B.; Karunaratne, W.A.I.P.; Rakinawasam, S.V.; Tomberlin, J.K.; Goonerathne, I.; Kotakadeniya, R.B. Myiasis incidences reported in and around central province of Sri Lanka. Int. J. Dermatol. 2019, 58, 336–342. [Google Scholar] [CrossRef]
Byrd, J.H.; Tomberlin, J.K. Forensic Entomology: The Utility of Arthropods in Legal Investigations, 3rd ed.; CRC Press: Boca Raton, FL, USA, 2020; ISBN 978-0-8153-5020-0. [Google Scholar]
Forbes, S.L.; Carter, D.O. Processes and Mechanisms of Death and Decomposition of Vertebrate Carrion. In Carrion Ecology, Evolution, and Their Applications, 1st ed.; Benbow, M.E., Tomberlin, J.K., Torone, A.M., Eds.; CRC Press: Boca Raton, FL, USA, 2015; pp. 13–30. [Google Scholar] [CrossRef]
Keshavarzi, K., Mehran, F., Mohammad, A. & Zahra, N. 2015. A Checklist of Forensic Important Flies (Insecta: Diptera) Associated with Indoor Rat carrion in Iran. Journal of Entomology and Zoology Studies: Vol. 3, No. 3
Kristanto, E., Sunny, W., Sonny, J.R.K. & Johannis, F.M. 2009. Peran Entomologi Forensik dalam Perkiraan saat Kematian dan Olah Tempat Kejadian Perkara Sisi Medis (Introduksi Entomologi Medik). Jurnal Biomedik: Vol. 1, No. 1.
Matuszewski, S. Post-mortem interval estimation based on insect evidence: Current challenges. Insects 2021, 12, 314. [Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
Ofreza, Ahmad. 2019. Inventarisasi Tumbuhan yang Berpotensi Sumber Nutrisi Nyamuk sebagai Referensi Mata Kuliah Entomologi. Skripsi. UIN Ar-Raniry: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan.
0 Comments