Oleh: Vanesha Viesara Putri Najla
Mahasiswa Biologi, FMIPA Unand
Sampah adalah masalah bagi setiap negara terutama bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Sampah selalu dihasilkan setiap harinya, dan jumlah sampah terus meningkat dari tahun ke tahun. Sampai saat ini masalah sampah belum bisa teratasi, karena banyak sampah yang belum bisa dikelola dengan baik. Jika masalah sampah terus dibiarkan, maka akan berdampak pada kelangsungan hidup manusia maupun hewan dan tumbuhan serta tentunya mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Telah banyak kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk penanganan sampah, namun masalah sampah belum bisa teratasi hingga saat ini. Banyak faktor penyebab masalah sampah di Indonesia, salah satunya yaitu kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan, rendahnya manajemen sampah serta kurangnya ketersediaan tempat pembuangan sampah juga menjadi salah satu faktor sampah terus meningkat. Jadi, bagaimana sebaiknya sampah-sampah tersebut dikelola? Mari melihat yang dilakukan oleh Denmark.
Denmark merupakan negara di Eropa Utara yang dinobatkan sebagai negara paling bersih dan paling ramah lingkungan versi Environmental Performance Index tahun 2022. Berdasarkan penilaian tersebut Denmark memiliki total skor Environmental Performance Index sebesar 77,9 dari 100. Negara yang populasinya hanya berjumlah 5,83 juta jiwa ini unggul dalam kategori kawasan perlindungan laut, pengolahan air limbah, dan rendahnya tingkat pertumbuhan emisi SO₂ dan NOX. Denmark memang memiliki kebijakan paling komprehensif dan efektif di dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah perubahan iklim.
Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) Statistics dan Eurostat, Denmark merupakan salah satu negara di dunia yang paling banyak melakukan daur ulang sampah. Pencapaian ini tentunya didapatkan karena Denmark dikenal sebagai negara dengan sistem daur ulang sampah yang mapan dengan persentase daur ulang sampah mencapai 53,9 persen di tahun 2020. Jika dilihat saat ini, di Denmark penanganan sampah hanya sebagian yang ditampung di tempat pembuangan sampah (TPA), selebihnya di daur ulang. Sedangkan di Indonesia hampir seluruh sampah dibuang di satu tempat seperti Bantar Gebang yang kondisinya sudah hampir penuh. Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk hal tersebut. Hal yang terpenting disini adalah bagaimana meningkatkan kesadaran dan mengedukasi masyarakat, serta bagaimana para pengambil keputusan menentukan kebijakan untuk memecahkan masalah sampah ini.
Selain teknologinya yang canggih, Denmark juga telah menerapkan sistem pemilahan sampah sesuai dengan jenisnya. Sehingga sampah maupun limbah di negara tersebut dapat ditangani lebih baik. Warga Denmark memiliki kedisiplinan dalam memilah sampah dimulai dari yang terkecil yaitu dari rumah. Di rumah masing-masing warga sudah tersedia 5-8 tong dengan berbagai jenis sampah, seperti sampah plastik, kertas, metal, organik dan sampah sisa lainnya. Namun, sampah lain seperti baju, elektronik, perabotan dan lainnya warga Denmark ini harus datang ke tempat pembuangan sampah di pusat, disana terdapat kurang lebih 40 kategori sampah yang berbeda. Selain itu, truk yang mengangkut sampah-sampah tersebut juga telah dirancang secara khusus sehingga sampah yang sudah dipisahkan sebelumnya oleh warga tidak tercampur kembali. Di Denmark, edukasi memilah sampah dan membuang sampah pada tempatnya ini sudah dimulai sejak dari preschool. Edukasi dari kecil inilah yang diharapkan nantinya bisa menjadi habit atau kebiasaan yang baik.
Denmark mengolah sampah sedemikian rupa hingga menjadi sebuah energi terbarukan di pusat pembangkit listrik tenaga limbah Copenhill. CopenHill atau Amager Bakke merupakan fasilitas yang dirancang oleh Bjaker Ingels Group (BIG) sebagai respon terhadap tingginya tingkat emisi karbon dan pemanasan global di dunia. Sebagai pembangkit listrik tenaga limbah, Copenhill diketahui telah berhasil mengkonversi sampah ataupun limbah menjadi listrik bagi sekitar 150.000 ribu rumah yang ada di Kota Copenhagen dan sekitarnya. Copenhill mampu menampung kurang lebih 260 truk bermuatan sampah per hari dan 560.000 ton sampah per tahun.
Limbah dibakar dalam insinerator khususnya limbah yang tidak dapat di daur ulang. Limbah akan dibakar kurang lebih 2 jam dengan suhu 950-1100°C. Tiap ton limbah, Copenhill mampu menghasilkan 2,7 MWh energi panas dan 0,8 MWh energi listrik. Tentunya orang pada heran, kok sistem ini dianggap baik padahal hasil pembakaran ini kan berupa asap? Tentunya asap ini menimbulkan polusi udara dan dapat merusak lingkungan. Jadi percuma dong mengurangi sampah tapi menambah polusi? Nah, tenang saja proses pembakaran di Copenhill ini menghasilkan uap air berwarna putih seperti asap, namun hasil dari proses pembakaran tersebut sudah dibersihkan sehingga terjamin aman untuk lingkungan. Menariknya, Uap air ini bisa berubah menjadi salju di musim dingin.
Bangunan Copenhill dengan tinggi 100m ini adalah contoh dari konsep arsitektur ramah lingkungan yang membuktikan bahwa dengan sebuah kreativitas dapat mengubah sesuatu yang buruk seperti tempat pembuangan sampah menjadi pusat kehidupan dan aktivitas bagi kota dan penduduknya. Tempat pembuangan sampah ini dimanfaatkan juga sebagai tempat wisata atau rekreasi, seperti lintasan ski, snowboarding, jalur hiking dan juga panjat tebing yang ada di atap bangunan.
Jadi, Indonesia tentunya dapat menerapkan sistem pengelolaan sampah seperti Copenhill yang ada di Denmark. Caranya yaitu dengan melibatkan seluruh aspek yang sangat berpengaruh untuk keberhasilan sistem ini, terutama masyarakat dan pemerintah. Dengan meningkatkan kesadaran dan mengedukasi masyarakat untuk dapat mendaur ulang sampah, serta memilah sampah sesuai jenisnya sangat dapat membantu mewujudkan pengelolaan sampah terbaik ini. Serta, peran pemerintah atau pengambil keputusan dalam menetapkan kebijakan untuk pengelolaan sampah di Indonesia. Yuk, mulai dari hal-hal sederhana untuk jadikan Indonesia yang lebih bersih!
0 Comments