Oleh: Anugra Revdi Persada
Nim: 2210832027
Mahasiswa departermen ilmu politik universitas andalas
Pernikahan adalah salah satu upacara sakral yang hampir dilakukan oleh setiap individu. Setiap individu mengikat diri mereka menjadi pasangan suami istri lewat upacara ini. Individu ini dituntut memiliki sikap dan mental yang sudah dewasa dalam menjalaninya. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri tidak semua pasangan suami istri menghadapi jalan yang mulus dalam menjalani bahtera rumah tangganya dengan sempurna tanpa menghadapi masalah.
Baru-baru ini seorang wanita bernama Budiati (31) ditemukan meninggal dalam kontrakannya di Pati, Jawa Tengah. Yang lebih mirisnya lagi dia temukan meninggal sambil memeluk anaknya yang masih bayi. Dalam kasus ini ditemukan jejak KDRT yang diderita oleh korban ditubuhnya. Hal demikian menjadi cerminan bahwa kasus KDRT terhadap perempuan masih menjadi hal yang perlu ditangani.
Salah satu masalah yang sering ditemui dalam pernikahan, yaitu KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dilakukan oleh beberapa oknum. Akar dari permasalahan ini bisa diakibatkan oleh tekanan ekonomi atau pun mental yang belum siap dalam menjalankan biduk rumah tangga.
Dikutip dari data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) pada periode awal januari – akhir desember 2022, jumlah kasus KDRT di Indonesia mencapai 27.589 kasus mencakup 4.634 korban laki-laki (20,1 persen) dan 25.050 korban perempuan (79,9 persen), pelakunya terbanyaknya didominasi oleh laki-laki dengan persentase 89,7 persen dengan sisanya sebanyak 10,3 persen pelaku perempuan. Data tersebut menunjukkan kelompok wanita rentan mendapat kekerasan.
Lantas bagaimana dengan tahun 2023 ini? Bisakah kasus KDRT ini dapat ditekan oleh pemerintah?
Menilik dari tahun sebelumnya, diperkirakan kasus KDRT masih dengan rasio yang sama dengan sebelumnya. Melihat hal tersebut pemerintah tentu tidak diam saja. Pemerintah masih terus menekan angka kekerasan dalam rumah tangga melalui program yang diberlakukan meliputi perumusan kebijakan, komunikasi, informasi, edukasi, sosialisasi serta advokasi yang dilakukan secara berkala. Dari kebijakan yang diambil pemerintah ini juga dapat ditarik pertanyaan baru apakah dengan hanya menggunakan kebijakan tersebut dapat meminimalisir jumlah kasus KDRT di Indonesia tanpa memerlukan kesadaran diri sendiri dari masyarakatnya?
Masyarakat di Indonesia terutama di daerah masih banyak yang memiliki pemahaman dengan menikah dulu tanpa memikirkan ekonomi, mereka banyak beranggapan bahwa rezeki dan uang bisa datang menyusul sesudah menikah. Hal semacam inilah yang menjadi salah satu sumber masalah dalam kehidupan suami istri. Dampak dari ekonomi banyak menjadi sumber KDRT, awalnya hanya cekcok mulut karena kesulitan ekonomi hingga akhirnya menjadi
kontak fisik karena emosi dan mental sudah tak terkendali. Di satu sisi pemerintah juga tidak bisa melarang masyarakatnya untuk menikah karena itu merupakan hak mereka sendiri yang tidak boleh dilarang oleh pemerintah, apabila pemerintah melarangnya justru akan berakibat pada pelanggaran HAM. Posisi pemerintah di sini juga serba salah.
Tak bisa dipungkiri perilaku KDRT juga tidak dibenarkan seperti yang sudah ditetapkan UU Tentang Perkawinan. Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Berdasarkan bunyi undang-undang tersebut perkawinan atau pernikahan harus berdasarkan pada kebahagiaan.
Salah satu hal yang perlu dicapai masyarakat sebelum menikah adalah kesejahteraan. Dengan kata lain, kesejahteraan masyarakat ini akan berdampak pada pernikahannya. Pengaruhnya tentu ke ekonomi karena apabila ekonomi masyarakat tersebut bagus jelas tidak akan menjadi pemicu tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Pemerintah melalui program lainnya berusaha meningkatkan lapangan pekerjaan untuk menaikkan kesejahteraan masyarakat, hal ini juga bertujuan untuk mengurangi tingkat KDRT di masyarakat.
Langkah yang diambil pemerintah ini memiliki dampak posistif dalam menanggulangi masalah ekonomi, akan tetapi apakah efektif dalam menanggulangi masalah KDRT, karena selama perspektif masyarakat tidak berubah maka akan sama saja, masyarakat di daerah akan cenderung menikahkan anaknya ketika lulus sekolah, usia tersebut relatif terlalu muda untuk menghadapi kehidupan rumah tangga karena mental dari mereka yang belum stabil dalam menjalani rumah tangga. Di sini peran seluruh masyarakat terutama orang tua dan pemerintah diperlukan untuk menanggulangi masalah KDRT.
0 Comments