Ticker

6/recent/ticker-posts

Tradisi Tabuik di Pariaman

 

Oleh : Fatwa Fauzia Marta, Mahasiswa Universitas Andalas jurusan Sastra Minangkabau. 


Kota Pariaman berada di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, tepatnya di pesisir pantai Laut Hindia, sebelah utara kota Padang. Pariaman adalah sebuah nama yang berarti “daerah yang aman”, memiliki luas wilayah 73,36 kilometer persegi. Di daerah ini ada suatu pesta adat yang disebut dengan tabuik, menyuguhkan atraksi budaya bernuansa Islami yang telah melegenda. Festival Tabuik masuk kalender acara wisata Sumatra Barat dan kalender acara wisata nasional. Puluhan ribu orang dari pelosok Sumatra Barat dan perantau datang ke Pariaman hanya ingin melihat Festival Tabuik selama 14 hari. Upacara tabuik dapat dihadiri hingga sekitar 6.000 orang per hari dan 90.000 orang saat puncak acara

Tabuik (Tabut) adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnya Imam Husain, cucu Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantai Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini termasuk menampilkan kembali Pertempuran Karbala, dan memainkan drum tassa dan dhol. Tabuik merupakan istilah untuk usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Walaupun awal mulanya merupakan upacara Syi'ah, akan tetapi penduduk terbanyak di Pariaman dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut Sunni. Di Bengkulu dikenal pula dengan nama Tabot (Saputra, 2018).

Festival Tabuik adalah perayaan memperingati Hari Asyura ( 10 Muharam ) yaitu mengenang  kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad Saw  yaitu Saidina Hassan bin Ali yang wafat diracun serta Saidina Husein bin Ali yang gugur dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Iraq tanggal 10 Muharam 61 Hijrah ( 681 Masehi ). Kematian Imam Husein diratapi oleh kaum Muslim terutama Muslim Syiah di Timur Tengah dengan cara menyakiti tubuh mereka sendiri. Tradisi mengenang kematian cucu Rasulullah tersebut menyebar ke sejumlah negara dengan cara yang berbeda-beda. Dalam perayaan memperingati wafatnya Husein bin Ali, tabuik melambangkan janji Muawiyah untuk menyerahkan tongkat kekhalifahan kepada umat Islam setelah Imam Husain meninggal. Namun, janji itu ternyata dilanggar dan malah mengangkat Jazid yaitu anaknya sebagai putera mahkota. 

Sebagian Muslim percaya jenazah Husain diusung ke langit menggunakan Bouraq dengan peti jenazah yang disebut Tabot. Kendaraan Bouraq yang disimbolkan dengan wujud kuda gemuk berkepala wanita cantik menjadi bagian utama bangunan Tabuik. Awalnya Tabuik sebagai simbol ritual bagi pengikut Syi’ah untuk mengumpulkan potongan-potongan tubuh Imam Husein dan selama ritual itu para peserta berteriak “Hayya Husein, hayya Husein” atau yang berarti “Hidup Husein, hidup Husein”. Akan tetapi, di Pariaman teriakan tersebut telah berganti dimana para pengusung dan peserta Tabuik akan berteriak “Hoyak Hussein, hoyak Hussein” sambil menggoyang-goyangkan menara Tabuik yang berbentuk menara dan bersayap serta sebuah kepala manusia.

Acara Tabuik di Pariaman dan Ta’ziyeh di Iran memiliki kesamaan ritual yaitu untuk memperingati kematian Imam Hussein.  Dalam perayaan ini masyarakat menyaksikan dua buah tabuik atau keranda setinggi 13 hingga 15 meter yang masing-masing diangkat oleh 20 lelaki. Mereka menggoyang-goyang, memutar-mutar, dan mengarak tabuik dari pusat kota menuju pantai. Lalu, pemain gendang tasa menepuk irama, mengiringi setiap liukan tabuik, dentamnya membangkitkan semangat. Di antara irama gendang terselip teriakan keras “Hoyak Hussein”.






Dalam berbagai literatur disebutkan, perayaan tabuik yang berlangsung 1-10 Muharam itu memperingati meninggalnya cucu nabi Muhammad yang bernama Husein pada tahun 61 Hijriyah, yang bertepatan dengan 680 Masehi. Makanya, muncul istilah Oyak Hosen dalam perayaan tabuik, untuk menggelorakan semangat perjuangan umat Islam dalam menghadapi musuh-musuhnya. Sekaligus ratapan atas kematian Husein yang dipenggal kepalanya oleh tentara Muawiyah dalam perang Karbala di Irak. Tradisi mengenang kematian cucu Nabi ini menyebar ke berbagai negara dengan cara yang berbeda. Di Indonesia, selain Pariaman, di Bengkulu juga dikenal pesta tabuik atau tabot. Mengenai asal usul tabuik Pariaman, ada beberapa versi (Hidayat, Taufik. 2012).

Versi pertama mengatakan bahwa tabuik dibawa oleh orang-orang Arab aliran Syiah yang datang ke Pulau Sumatera untuk berdagang. Sedangkan, versi lain ( diambil dari catatan Snouck Hurgronje ), tradisi tabuik masuk ke Indonesia melalui dua gelombang. Gelombang pertama sekitar abad 14 M, tatkala Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Melalui buku itulah ritual tabuik dipelajari Anak Nagari.


Istilah ‘tabuik’ sebenarnya bukan kata yang berasal dari Minang. Kata ‘tabuik’ merupakan serapan dari bahasa Arab. Asal mula kata ‘tabuik’ adalah tabut. Tabut sendiri memiliki arti kotak atau peti kayu. Pembuatan dan pembinaan Tabuik di Pariaman dikembangkan oleh Mak Sakarana dan Mak Sakaujana. Merekalah yang mempelopori Tabuik Pasar dan Tabuik Kampung Jawa. Tabuik Pasar melahirkan Tabuik Cimparuh, Bato dan Karan Aur, sedangkan Tabuik Kampung Jawa melahirkan Tabuik Pauh, Jati, Sungai Rotan (Kuriak, Udin. 2009).

Pada masa kolonial Belanda perayaan Tabuik digalakkan sehingga Tabuik yang tampil sampai 12 buah. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, tabuik masih rutin dilaksanakan.  Hanya saja pada tahun 1969 sampai 1980 perayaan  tabuik terhenti, hal ini disebabkan situsai yang tidak memungkinkan untuk diadakan, disamping tidak adanya keinginan masyarakat untuk melaksanakan, karena adanya perkelahian masal yang menggangu ketentraman kota.

Perayaan Tabuik dihidupkan lagi Tahun 1980, yaitu pada masa Pariaman dipimpin oleh Anas Malik, mengingat pembiayaan maka tabuik dibuat Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Kedua Tabuik itu sampai sekarang bertahan untuk ditampilkan pada saat upacara Tabuik berlangsung.

Pesta Budaya Tabuik Piaman adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati hari Asyura ( 10 Muharam ), gugurnya Husein bin Ali, cucu nabi Muhammad Saw, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di pesisir pantai Sumatera Barat, tepatnya di Kota Pariaman. Festival ini merupakan core event pariwisata nasional dan merupakan salah satu kekayaan budaya Minangkabau.

Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara tabuik ( Bengkulu: tabot ) mulai dikenal di Indonesia. Namun, catatan dari Snouck Hrgronje, seorang peneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda ( sekarang Indonesia ) memiliki derajat kesahihan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan berbagai versi cerita mengenai asal-usul perayaan tabuik di Pariaman. Bahwa tradisi unik yang diadakan tiap tahun pada sepuluh hari pertama bulan Muharram ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought ( 1718 – 1719 ) di Bengkulu. Mereka, didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India.

Jauh berbeda dengan eforia ( senang berlebihan ) perayaan tabuik yang identik dengan keramaian, pawai, dan berbagai atraksi tari - musik, ternyata perayaan tabuik hakikatnya sebuah ritual keagamaan penganut Syi‘ah. Bertujuan untuk memperingati peristiwa wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW yang dibantai. Ketika Hassan bin Ali yang wafat diracun dan Husein bin Ali yang gugur dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Iraq tanggal 10 Muharam 61 Hijrah (681 Masehi). Tubuh Husain bin Ali yang sudah wafat dirusak dengan tidak wajar.

Inti dari upacara tabuik adalah untuk mengenang upaya pemimpin Syi’ah dan kaumnya ketika mengumpulkan potongan tubuh Husein bin Ali. Penganut Syi‘ah percaya bahwa jenazah Husain bin Ali diusung ke langit menggunakan Bouraq dengan peti jenazah yang disebut tabuik di kala itu. Kendaraan Bouraq yang disimbolkan dengan wujud kuda gemuk berkepala wanita cantik ( bagian utama bangunan tabuik ). Seiring berkembangnya waktu, kebiasaan itu akhirnya mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat, dan kemudian diwariskan dan dilembagakan menjadi apa yang kemudian dikenal dengan Pesta Budaya Tabuik Piaman yang diadakan di Pariaman dan Festival Tabot yang diadakan di Bengkulu (Kusuma, Barry. 2007). 

Jika awalnya upacara tabuik digunakan oleh orang-orang Madras dan Bengali yang berpaham Syi‘ah untuk mengenang gugurnya Husein bin Ali bin Abi Thalib, maka setelah terjadi pembauran budaya dengan masyarakat setempat, maka ritual berkabung itu berubah fungsi menjadi festival budaya lokal yang penuh dengan keceriaan. Diselenggarakan tidak hanya oleh garis keturunan orang-orang Madras dan Bengali. Tetapi oleh seluruh unsur masyarat sekitar.

Bagindo Zamzami, salah seorang perantau Pariaman yang menetap di Sulawesi Selatan, kepada minangkabauonline, belum lama ini, memaparkan, di Pariaman tradisi merayakan Tabuik tetap diadakan dengan mengelar ritual kisah kematian tragis Hasan dan Hosein cucu dari Nabi Muhammad. SAW dalam perang karbala. Sejak itulah perayaan Tabuik mulai membudaya dan terus digelar hingga menjadi budaya masyarakat Pariaman. Adapun sakral dari prosesi Tabuik Pariaman, pada dasarnya untuk memperingati peristiwa Hasan dan Hosein yang mati mengenaskan atas kekejaman raja zalim.

Alkisah diriwayatkan bahwa atas kebesaran Allah SWT, secara mengejutkan jenazah Hosein diangkat ke langit dengan mengunakan bouraq. Sejenis hewan berbadan seperti kuda berkepala manusia serta mempunyai sayap lebar dengan mengusung peti jenazah pada pundaknya, berhiyas payung mahkota warna - warni. Itulah yang dinamakan Tabuik. Sekarang ritual tabuik masih tetap diadakan setiap tahun di Pariaman, tapi tidak lagi semeriah dulu. Kadang-kadang masyarakat kekurangan dana untuk membuat tabuik. Ada pula terdengar kritik dari golongan Islam puritan: bahwa ritual tabuik harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Islam. 


Perayaan ‘tabuik’ digelar hanya pada bulan Muharam saja. Perayaan ini berlangsung selama 10 hari lamanya. Dimulai dari pagi 1 Muharam hingga malam 10 Muharam dengan rentetan acara yang sudah menjadi tradisi ‘anak nagari’. Perayaan ‘tabuik’ ini diikuti oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Pariaman. Dari sepuluh hari itu, di setiap harinya terdapat acara yang sangat sakral. Dimulai dari pembuatan ‘tabuik’ yang berbentuk seperti keranda dan bouraq hingga proses pelepasan ‘tabuik’ ke pantai.

Dua minggu menjelang pelaksanaan upacara tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat aneka makanan seperti kue-kue khas Pariaman. Menurut Halimah dalam situsnya uun-halimah.blogspot.com, prosesi panjang tabuik diawali dengan membuat tabuik di dua tempat, di pasar (tabuik pasa ) dan subarang ( tabuik subarang). Masing-masing terdiri dari dua bagian ( atas dan bawah ) yang tingginya dapat mencapai 12 meter. Bagian atas mewakili keranda berbentuk menara yang dihiasi dengan bunga dan kain beludru berwarna-warni. Sedangkan, bagian bawah berbentuk tubuh kuda, bersayap, berekor dan berkepala manusia. 

Bagian bawah itu mewakili bentuk burung Buraq yang dipercaya membawa Husein bin Ali ke langit menghadap Yang Kuasa. Kedua bagian ini kemudian disatukan. Caranya, bagian atas diusung secara beramai-ramai untuk disatukan dengan bagian bawah. Setelah itu, berturut - turut dipasang sayap, ekor, bunga - bunga salapan dan terakhir kepala. Guna menambah semangat para pengusung tabuik biasanya diiringi dengan musik gendang tasa. Penyatuan dua bagian tabuik ( atas dan bawah ) biasanya usai menjelang waktu shalat dzuhur tiba. 

Kedua tabuik tadi dipajang berhadap - hadapan dan merupakan personifikasi dari dua pasukan yang akan berperang. Ba’da Ashar, kedua tabuik diarak keliling kota Pariaman. Masing - masing tabuik dibopong oleh delapan orang pria. Arak - arakan berlanjut hingga ke Pantai Gandoriah. Di tempat ini kedua tabuik diadu, untuk menggambarkan situasi perang di Padang Karbala. Usai diadu, kedua tabuik dibuang ke laut. Prosesi membuang tabuik ke laut ini melambangkan dibuangnya segala silang sengketa di masyarakat. Sekaligus, melambangkan terbangnya burung Buraq membawa jasad Husein ra ke Surga.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS