Ticker

6/recent/ticker-posts

Tradisi Mandoa Pusaro Saat Bulan Suci Ramadhan di Nagari Sicincin

 

Penulis Vannesa Maharani Putri Mahasiswi Universitas Andalas Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sastra Minangkabau


Di Pariaman, baik Kota Pariaman maupun Kabupaten Padang pariaman, Provinsi Sumatera Barat, menjelang Ramadhan, masyarakat melakukan kegiatan manjalang pusaro. Di sebagian nagari. ada yang menyebutnya ka pusaro atau ratih pusaro. Kegiatan ini dilakukan oleh satu kaum/suku di pandam pekuburan (taman pemakaman) milik kaum tersebut. Misalkan yang mengadakan ka pusaro suku Tanjung di pandam pekuburan kaumnya, hanya diikuti suku Tanjung yang keluarganya dimakamkan di kuburan tersebut. Mereka yang boleh dikuburkan di pandam kuburan itu hanyalah keluarga dari kaum itu sendiri yang berasal dari jalur keturunan ibu. Sedangkan sumando (suami dari perempuan kaum itu), boleh dimakamkan jika sudah mendapat izin dari ninik mamak kaum. Sementara anak-anak dari kaum laki-laki tidak boleh dimakamkan di pandam kuburan kaumnya, melainkan di pandam pekuburan ibunya pula.

      Pada acara ka pusaro ini, kaum perempuan membawa jamba yang berisi nasi dan beragam sambal. Ditambah dengan makanan snack seperti, agar-agar, kue bulu, roti dan buah-buahan seperti pisang, pepaya, semangka dan lainnya. Pelaksanaan manjalang pusaro sudah boleh dilakukan mulai bulan Sa’ban hingga sehari menjelang Ramadhan.

        Beberapa urang siak (pembaca ayat-ayat Al Qur’an dan doa) duduk di atas hamparan tikar yang sudah disediakan di sekitar kawasan kuburan. Ada juga pandam kuburan yang sudah memiliki bangunan tempat meletakan jamba dan urang siak. Bangunan sederhana tersebut biasanya pondok beratap seng, berlantai semen, namun tidak ada dinding. .

      Urang siak memulainya dengan membaca Al-Fatihah, dilanjutkan membaca surat Al Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, awal dan akhir surat Al-Baqarah, tahlilan, salawat kepada Nabi Muhammad Saw, dan diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin salah seorang urang siak. Pada bagian tertentu,  bacaan yang dibaca urang siak juga diikuti oleh seluruh hadirin.  Selesai doa bersama, dilanjutkan makan bersama di tempat yang sudah disediakan. Jika belum ada pondok di sekitar pemakaman, bisa saja di sekitar pemakaman yang tanahnya datar dan tidak ada kuburan dibentangkan tikar.  Semua yang hadir turut makan bersama tanpa kecuali.  

 

   Saat berlangsung rangkaian tahlilan dan bacaan-bacaan ayat Al-Qur’an, seseorang pemuda menjalankan sumbangan dengan topi atau kotak kepada yang hadir. Masing-masing menyumbang ala kadarnya sesuai dengan kemampuan. Ada yang menyumbang Rp 5.000, 10.000, juga ada yang Rp 50.000, bahkan Rp 100.000. Itu tergantung kondisi ekonomi, makin sehat ekonominya, tentu sumbangannya makin besar.  Sumbangan yang terkumpul diserahkan kepada datuak kaum. Selanjutnya sumbangan dibagi  untuk sadakah (amplop) urang siak yang turut berdo’a dan tahlilan.

        Rangkaian acara ka pusaro ini dimulai pagi hari dengan membersihkan lahan pandam pekuburan dari semak belukar yang sudah memenuhi area pekuburan. Kaum laki-laki dan sebagian perempuan yang ada nenek moyang dan dunsanak (saudara) yang sudah dikuburkan di area ini datang bergotongroyong bersama-sama. Biasanya menjelang masuknya waktu shalat zuhur, semua lahan sudah bersih. Semuanya kembali ke tempat masing-masing. Sesaat menjelang waktu Ashar, 3 hingga 6 orang kembali ke areal pandam pekuburan. Persis usai shalat Ashar, semua warga kaum berkumpul yang diiringi pula urang siak ke pandam pekuburan untuk memimpin doa.

    “Menjelang Ramadhan, umumnya warga mengundang beberapa orang siak untuk mando’a. Di rumah, warga menyampaikan maksudnya kepada urang siak, yakni mendoakan para orangtua (leluhur) yang sudah wafat, tanaman dan harta pusaka sawah ladang yang ditinggalkan agar berkah, keluarga yang masih hidup rukun, rezeki penuh berkah.

     Ka pusaro ada beberapa hikmah yang dapat dipetik. Pertama, mendekatkan para anggota kaum yang masih hidup pada kuburan. Semua yang hadir teringat akan mati, pada suatu hari kelak juga akan  dikuburkan di pandam pekuburan kaum tersebut. Sehingga selalu mengingat kematian, menjauhi perbuatan dosa dan memperbanyak amal shaleh.

     Kedua, memupuk rasa bergotongroyong dengan bersama-sama bersihkan pandam pekuburan. Ketiga, meningkatkan silaturrahmi sesama anggota kaum. Selama ini masing-masing anggota keluarga sibuk dengan urusan sendiri, sudah banyak pula  muncul generasi baru (anak kemenakan) sehingga perlu diperkenalkan dengan dunsanak yang lain. Keempat, memperkenalkan tradisi yang sudah dilakukan kaum sejak lama kepada anak-anak dan generasi muda.

     Ketika berziarah, seseorang dianjurkan untuk membaca al-Qur’an atau lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda,”Bacalah surat Yasin pada orang-orang mati di antara kamu.” (HR. Abu Dawud).

      Dalil itu membuktikan bahwa ziarah kubur itu memang dianjurkan. Terlebih jika yang diziarahi itu adalah makam para wali dan orang shaleh. Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian dengan perjalanan ke makam mereka. (Al-Fatawi al-Kubra, juz II, hal. 24).

 

Ulama salaf Imam al-Syafi’i mencontohkan berziarah ke makam Laits bin Sa’ad dan membaca al-Qur’an sampai khatam di sana (al-Dzakhirah al-Tsaminah, hal. 64). Bahkan diceritakan bahwa Imam Syafi’i jika ada hajat, setiap hari beliau berziarah ke makam Imam Abu Hanifah. Demikian KH. Muhyiddin Abdusshomad menjelaskan.  (Bagindo Armaidi Tanjung)

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS