Oleh:
Maisya Kartika Mahasiswa Sastra Minangkabau
Sulawesi Selatan
dipenuhi dengan banyak kerajaan, salah satunya adalah Kerajaan Wajo. Wajo
artinya bayangan atau bayangan (wajo wajo). Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo
dalam bahasa Bugis berarti pohon bajo-nya), sebuah kontrak sosial terbentuk
antara masyarakat dan pemimpin adat yang bersepakat untuk mendirikan kerajaan
Wajo-nya itu dilakukan. Sebuah perjanjian dibuat di sebuah tempat bernama
Tosora, yang menjadi ibu kota Kerajaan Wajo. Sejarah Wajo berbeda dengan
kerajaan lain yang biasanya diawali dengan kedatangan To Manurung. Menurut
Lontara Sukkuna Wajo, sejarah awal Wajo dimulai dengan berdirinya masyarakat di
tepi Danau Lampulungjärvi. Namun, orang-orang dari berbagai daerah, utara,
selatan, timur, dan barat berkumpul di tepi Danau Lamplung. Mereka dipimpin
oleh orang tak dikenal bernama Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung
dikenal sebagai orang bijak yang mengetahui tanda-tanda alam dan cara bercocok
tanam yang baik. Nama Lampulungjärvi berasal dari kata sipulung yang berarti
mengumpulkan.
Kerajaan Wajo merupakan
salah satu kerajaan Islam di Sulawesi Selatan. Kerajaan Wajo sendiri berbeda
dengan kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Yang membedakan Kerajaan Wajo dengan
kerajaan lain adalah Kerajaan Wajo merupakan kerajaan pilihan atau demokratis,
sedangkan kerajaan lain di Sulawesi Selatan murni bersifat feodal. Kerajaan ini
didirikan sekitar abad ke-15 dan menjadi Kesultanan Islamnya setelah
ditaklukkan oleh Gowatallo Kesultanan pada abad ke-17. Sejak abad ke-18,
Kerajaan Wajo mencapai masa kejayaannya, menggantikan Kesultanan Bone.
Kesuksesan dan puncak
kejayaan Kerajaan Wajo tentu saja ditopang oleh kepemimpinan raja-raja yang
memerintahnya, namun tidak semua raja menunjukkan keberhasilan kepemimpinannya.
Hal tersebut terdapat pada salah satu naskah Lontaraq yang memuat kumpulan
raja-raja yang disebut Lontaraq Akkarungeng ri Wajo (Lontaraq Kerajaan Wajo).
Naskah tersebut dapat ditemukan di Kantor Arsip dan Perpustakaan Sulawesi
Selatan. Lontaraq tersebut memuat nama-nama raja yang pernah memerintah Wajo,
serta informasi tentang peristiwa pada masa itu. Pemikiran raja yang beragam
menyebabkan naik turunnya kerajaan Wajo pada masa pemerintahannya. Teks
tersebut mencantumkan 57 raja yang pernah memerintah Kerajaan Wajo, namun hanya
beberapa raja yang berhasil memerintah Kerajaan Wajo pada masa kejayaannya.
Berikut nama-nama raja
yang berhasil dalam membawa Kerajaan Wajo pada puncak kejayaannya:
- La
Tenri Bali
Naskah Lontaraq Akkarungen ri Wajo tidak menjelaskan
kapan beliau menjabat sebagai Raja Wajo dan berakhir. Dia adalah raja pertama
yang mengubah nama Boli menjadi Wajo, karena upacara pelantikannya diadakan di
bawah pohon Bajo dan diberi judul 'Batarawajo'. Dia memberi tahu ketiganya
Padang Lengi bahwa jika tidak ada "pembicaraan" (hukum) yang dapat
ditemukan antara raja dan Adeqmarajhe, Adeqabiyasange, Wari dan Tupu, negosiasi
harus dilakukan. Dan hasil diskusi itu dia panggil Adeq Assituruseng. Pada masa
pemerintahannya La Tenri berhasil menggabungkan Bali, Bali, Wajo dan Presta.
Pada dasarnya, LaTenri Bali memiliki konsep otonomi. Hal itu terlihat saat ia
memberikan Penlan kepada adiknya La Tenri Tipeq. Semua diambil alih oleh Tenri
Tipeq, masalah hukum dan sistem administrasi tidak saling mengganggu. Wajo
tidak mencampuri urusan internal Penrangnya.
- La
Mata Esso
Ternyata, seperti Raja La Tenri Bali, naskah itu tidak
menjelaskan kapan dan berapa lama La Mata Esso menjabat sebagai raja Wadjo.
Mata Esso menjabat sebagai Batala wajonya selama sepuluh tahun. Selama 10 tahun
masa jabatannya, dia berusaha membangun kastil sebaik mungkin. Ia memiliki
kepribadian yang jujur dan mampu membangun hubungan kerjasama dengan
masyarakat dan pihak luar. Usahanya membangun kastil, apalagi jumlah kastil
yang ia kelola mencapai sekitar 1000 orang. Dia juga menyarankan pabbicara
(semacam hakim modern) untuk membantu beliau berpikir tentang Wajo.
- La
Taddampareq Puwang Ri Maggalatung (1498-1528)
Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa Raja La Taddampareq
Puwang Ri Maggalatung memerintah Kerajaan Wajo selama 30 tahun. Selama masa
pemerintahannya, ia fokus memperluas wilayahnya, termasuk Amali Timrung, Pammana,
Baringeng, Lompuleng, Thanatenga dan Ujumpulu Batulappan di wilayahnya. Dia
memutuskan semua masalah hukum dengan adil, sehingga wilayahnya menjadi subur,
rakyatnya makmur, dan tidak ada wabah yang menyebar di antara penduduk,
tumbuhan, atau hewan.
- La
Salewangeng (1715-1736)
La
Salewangeng mengabdi di kerajaan Wajo selama 21 tahun. Ia dikenal sebagai Arung
Matowa Wajo yang membuat rencana besar pemerintahan yang pertama. Banyak Wajo
menjadi kaya, para petani dapat memanen hasil panen, dan para pedagang
melipatgandakan keuntungan mereka. Juga, dia memberlakukan pajak
"owa" dan dana yang terkumpul dibelah dua, sebagian disimpan dan
sebagian dibeli untuk senjata. Pengusaha memperoleh modal dengan skema bagi
hasil. Dan konsepsi pemerintahannya dinyatakan final setelah 18 tahun berkuasa.
Menurutnya, ketika tanah dikembangkan, menaati Tuhan membuat padi subur dan
orang kaya, panjang umur raja.
Dari
keempat raja di atas dapat kita simpulkan bahwa keberhasilan Kerajaan Wajo
adalah karena hubungan raja dengan rakyatnya. Keberhasilan kepemimpinan Raja
ditopang oleh pola pikir Raja yang mengutamakan masyarakat dan dukungan mereka
dalam membentuk kebijakan-Nya. Kebijakan yang diterapkan oleh raja
menitikberatkan pada kesejahteraan rakyat, khususnya di bidang pertanian. Ia
juga belajar membayar pajak untuk mendanai pembangunan masyarakat. Sistem
otonomi daerah telah diterapkan di beberapa kerajaan untuk menghindari campur
tangan urusan internal Lily dan Limpopo. Metode pengajaran Raja Wajo masih
dapat diterapkan hingga saat ini, namun sarat dengan inovasi-inovasi besar dan
penting. Sistem lama yang dapat digunakan saat ini sudah selayaknya dijadikan
acuan untuk pembangunan negara dan bangsa di masa mendatang.
0 Comments