Ticker

6/recent/ticker-posts

Budaya Suku Matrilineal di Minangkabau yang Mengikuti Garis Keturanan ibu

 


Nama : Raisya Hanifa
Mahasiswa universitas Andalas 

Indonesia memiliki budaya dan suku yang berbeda beda ragamnya, termasuk Sumatra Barat karena menganut suku matrilineal karena suku matrilineal ini adalah suku yang mengikuti garis keturunan ibu, Harta pusaka yang diwariskan oleh keluarga berupa rumah gadang dan aset di bidang pertanian maupun perikanan untuk dikelola dan dimanfaatkan secara bersama oleh satu keluarga (sabuah paruik). Setiap keturunan perempuan dalam keluarga berhak untuk menghuni rumah gadang dan anak-anak mereka dibesarkan dengan pembiayaan dari harta pusaka. Tanggung jawab bersama (communal) di dalam sistem matrilineal Minangkabau terlihat pada model pengawasan yang diterapkan di dalamnya, di mana yang bertugas mengawasi dan mendidik anak-anak dalam keluarga matrilineal adalah ibu dan saudara laki-laki ibunya (mamak), serta orang-orang dewasa lainnya di dalam rumah gadang. Penelitian ini menggabungkan sistem perlindungan sosial dengan filofosi sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau yang dapat berperan untuk memproteksi masyarakat dari permasalahan sosial yang dapat mengganggu stabilitas kesejahteraan suatu keluarga. Namun seiring waktu sistem matrilineal ini telah semakin memudar, namun simbol-simbol sistem rumah gadang masih dapat terlihat pada masyarakat Minangkabau, termasuk dengan mereka yang telah merantau dan menetap di luar Sumatera Barat.

Budaya matrilineal juga membuat masyarakat Minangkabau memiliki beberapa keunikan, adalah:

1. Pernikahan eksogami Budaya matrilineal membuat pernikahan eksogami menjadi dianjurkan agar kedua belah pihak atau salah satu pihak dari yang menikah tidak lebur ke dalam kaum kerabat pasangannya Pernikahan dengan perempuan dari luar suku Minangkabau tidak disukai karena anak tidak akan mempunyai suku. Sebaliknya, perkawinan dengan laki-laki luar suku Minangkabau tidak dipermasalahkan, karena tidak merusak struktur adat dan anak tetap mengikuti suku dari ibunya.

2. Tradisi melamar laki-laki Tradisi ini juga menjadi keunikan suku Minang, di mana tak jarang pihak perempuan yang datang melamar pihak laki-laki, bahkan memberi mahar. Perempuan minang akan 'membeli' si laki-laki dengan uang yang disebut uang japuik, membawa seserahan, dan juga cincin emas untuk menghargai keluarga laki-laki. Hal ini juga dilakukan karena nantinya laki-laki akan menjadi menjadi tumpuan keluarga perempuan. Setelah menikah, seorang laki-laki akan menjadi “tamu” sebab mereka kemudian akan tinggal di rumah keluarga istrinya. 

3. Ketentuan penggunaan harta Dalam sebuah keluarga, terdapat wanita tertua atau dituakan di kaum yang dijuluki limpapeh atau amban puruak. Ia akan mendapat kehormatan sebagai penguasa seluruh harta kaum dan mengatur pembagiannya. Sementara laki-laki tertua di kaum akan diberi julukan sebagai tungganai. Ia bertugas sebagai mamak kapalo warih yang hanya berkuasa untuk memelihara, mengolah, dan mengembangkan harta milik kaum, tapi tidak untuk menggunakannya.

4.. Penentuan pembagian warisan Termasuk dalam urusan pembagian warisan, nantinya orang-orang dari garis keturunan ibu akan mendapatkan porsi lebih banyak dibanding dari garis bapak. Kuatnya hubungan ini sendiri dilandasi oleh tujuan serta berbagai kepentingan bersama, yaitu berupa kepemilikan atas rumah dan tanah. Sehingga meski perempuan berperan besar dalam kesukuan, bukan berarti ia akan mendapatkan kuasa penuh pada harta warisan atau pusaka di keluarganya. 

Selain itu perkawinan, pembagian harta warisan serta suku Minangkabau juga berdasarkan sistem matrilineal. Dapat dilihat dari perkawinan Minangkabau, menganut sistem matrilineal dengan sistem kehidupan yang komunal. Maksudnya orang yang menikah tidak membentuk keluarga inti baru karena mereka tetap pada garis keturunan masing-masing, sehingga pengertian tentang keluarga inti di Minangkabau terdiri dari ayah, ibu, dan anak tidak termasuk ke dalam struktur sosial di Minangkabau.

Akibatnya anak-anak di hitung berdasarkan garis keturunan ibu bukan dari garis keturunan ayah sehingga menyebabkan anak-anak lebih dekat kepada keluarga ibu di bandingkan keluarga ayah. Penulis sebagai orang minagkabau juga merasakan hal tersebut, namun pada saat sekarang ini, hal itu telah di tinggalkan oleh masyarakat minang dengan adanya perkembangan zaman saat ini aturan itu berubah dengan menguatnya keluarga inti dan suami tidak tinggal lagi di rimah istri.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS