Ticker

6/recent/ticker-posts

Analisis Feminisme dalam kaba Cindua Mato



oleh : Sigit Pamungkas Universitas Andalas jurusan Sastra Minangkabau. 


Budaya minangkabau, mempunyai pandangan tersendiri terhadap perempuan. Perempuan di Minangkabau mempunyai gambaran yang kuat, kukuh, dan anggun. Pentingnya peranan perempuan tidak terlepas dari kodratnya baik secara agama maupun sebagai penerus keturunan di Minangkabau. Masyarakat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, dimana ikatan kekeluargaan didasarkan atas hubungan darah yang ditarik dari pihak ibu. Apabila dalam satu keluarga tidak ada lagi perempuan, keluarga itu dianggap punah. Oleh sebab itu, setiap keluarga di Minangkabau selalu mengharapkan keberadaan perempuan.


Perempuan dalam Minangkabau memiliki tempat dan hak suara di dalam kaum. Pendapatnya didengar, pertimbangannya diperlukan. Kaba Ciduo Mato dipilih karena mewakili peranan perempuan Minangkabau. Kaba ini bercerita tentang pemimpin perempuan bernama bundo kanduang, ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bergelar Dang tuanku. Dang Tuanku memiliki seorang kepercayaan yang bernama Cindua Mato. Pada suatu ketika, Bandaharo (salah seorang dari Dewan Empat Menteri yang berkedudukan di Sungai Tarab) menyelenggarakan keramaian untuk mencarikan jodoh anaknya, Putri Lenggo Geni. Bundo kanduang menyuruh Dang Tuanku untuk mengikuti keramaian itu, sekaligus melamarkan puteri Lenggo Geni untuk Cindua Mato.


Kisah yang ditampilkan dalam teks menceritakan konflik yang dihadapi bundo kanduang dalam memimpin kerajaan. Kerajaan yang dianggap kuat dan luas, berpegang kepada agama Islam. Tradisi budaya berperan lebih banyak bahkan lebih penting dan dipercaya masyarakat menjadi bagian dari ketentuan agama. Kekuatan peran perempuan




tergambar dari sosok bundo kanduang. Istana kerajaan yang megah, kekuasaan yang luas, dan kekuatan magis yang kuat, yang dimiliki bundo kanduang, tidak membuat dirinya sombong. bundo kanduang memimpin dengan bijaksana, memerintah dengan kekuatan bahasa penguasa yang santun, dan menyayangi anak sebagai kodrat alamiah.


Sesuai dengan pribahasa Minangkabau alua-patuik, alua (alur) adalah sesuai dengan prosedur atau tata cara yang berlaku di dalam adat. Sedangkan pengertian patuik (patut) adalah kepantasan sesuatu terletak pada tempatnya. Dengan demikian pengertian alua jo patuik adalah kesesuaian sesuatu berdasarkan prosedur adat dan terletak pada tempatnya. Norma ini mengkristal di dalam adat Minangkabau, dan digunakan dalam berbagai pertimbangan adat. Setiap pemimpin hendaknya memahami dan menguasai norma tersebut, sehingga kepemimpinan adat yang dimilikinya dapat menanamkan rasa keadilan dan kesejahteraan terhadap kaum yang dipimpinnya. Penekanan di sini adalah nilai penting suatu budaya berupa ideologi kepemimpinan perempuan Minangkabau dahulu. Hal ini terdapat dalam syair kaba : "Olok-oloknyo maso itu, iyo di Ranah Tanjung Bungo, dalam ustano Pagaruyuang, ustano gadang mahligai tinggi, baanjuang perak anjuang suaso, tampek sumayam bundo kanduang".


Pada masa itu, di Ranah Tanjung Bungo, dalam istana Pagaruyuang, istana daulat bundo kanduang, istana besar bertingkat tinggi megah, belantai tinggi, perak yang bermutu, tempat tinggal bundo kanduang. "Mandanga sambah nan bak kian bajalan sakali Bundo kanduang, naiak ka anjuang anak kanduang, dijagokan Si Buyuang Sutan Rumanduang, lalu batitah bundo kanduang. “Manolah anak kanduang denai, balun tungga jajatan bundo, ujuang jantuang pangarang hati, jarek samato bundo kanduang, sidingin sitawa di kapalo, ubek jariah palarai damam, sambahan alam Minangkabau, Maruhum Basa Ampek Balai, Mangkuto Ulak Tanjuang Bungo, Pamenan Buo Tanjuang Bungo, Pamenan Buo Sumpu Kuduih, jagolah anak jagolah sayang, mari duaduak ka surambi.” Tadanga suaro bundo kanduang, jago sakali Dang Tuanku, hati di dalam tidak sanang, apolah bicaro nan paralu, sadang tidua dijagokan, bajalan turun ka surambi mandeh mairiang, maliek anak nan lah bujang, suko hati mamandangi, sajuak pikiran sakutiko.


Banyak pandangan yang menghubungkan antara kemampuan individu dalam memimpin dikaitkan dengan aspek biologis yang melekat pada diri sang pemimpin yaitu berdasarkan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan memang sudah jelas. Namun efek perbedaan biologis terhadap perilaku manusia, khususnya dalam perbedaan relasi feminis, masih menjadi wacana yang selalu hangat untuk dibahas hingga saat ini. Perempuan yang identik dengan lemah,




lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ukuran, kontur, gaya, nada, ekspresi, tampilan tubuh perempuan dikontrol benar, baik dalam pelbagai lokus atau oleh perbagai jenis orang. Hal inilah yang ada di masyarakat saat ini, berbeda jauh ketika bundo kanduang memimpin kerajaan yang besar, luas dan megah. Bundo kanduang mencitrakan sosok perempuan yang lemah lembut, berwibawa, dan mempunyai ideologi kekuasaan sebagai pemimpin, disebuah wilayah kerja/kekuasaan yang luas. Bagi kaum Minangkabau, posisi perempuan mempunyai kedudukan istimewa di dalam rumah maupun di dalam adat. Hal ini jauh dari bias gender. Terciptanya persamaan dominasi laki-laki dan perempuan di Minangkabau, mengakibatkan adanya keharmonisan disegala lini kehidupan. Bagi kaum feminis, akar penyebab ketidakadilan gender berasal sesungguhnya dari pewarisan ideologi patriarki yang mengagungkan kaum laki-laki. Sehingga hal ini tidak mengganggu pewarisan budaya ideologi perempuan di Minangkabau.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS