Ticker

6/recent/ticker-posts

Rimbo Larangan sebagai Praktik Konservasi Masyarakat Minangkabau

 


 

Saat ini, himbauan untuk melakukan konservasi sedang marak dilakukan di Indonesia maupun dunia, baik itu konservasi alam, hewan, maupun tumbuhan.  Himbauan tersebut seringkali dilakukan oleh pengamat lingkungan maupun pejabat pemerintah baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Bagi masyarakat awam kata konservasi masih terdengar asing di telinga atau bahkan ada yang belum tau makna dari kata tersebut. Lalu, apa itu konservasi? Secara singkat, konservasi dapat diartikan sebagai upaya melindungi dan melestarikan. Konservasi merupakan suatu upaya memanfaatkan, mengelola dan memelihara sumber daya yang ada dengan bijaksana agar dapat terus dimanfaatkan dan berlanjut hingga masa mendatang. 


Namun, siapa sangka kalau masyarakat minangkabau sudah melakukan praktik konservasi jauh sebelum istilah konservasi dikenal luas, bahkan kegiatan ini sudah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang pada zaman dahulu. Rimbo larangan begitulah masyarakat minangkabau menyebutnya, bagi masyarakat minangkabau pastinya tidak asing lagi ketika mendengar istilah rimbo larangan. Rimbo berarti rimba atau hutan, jadi rimbo larangan dapat diartikan sebagai hutan larangan. Sesuai dengan namanya, dalam rimbo larangan ini ada banyak larangan yang harus dipatuhi. Peraturan atau larangan tersebut biasanya dibuat oleh para pemangku adat atau niniak mamak suatu kaum yang nantinya harus dipatuhi oleh semua anggota kaum.


Apa hubungan antara konservasi dengan rimbo larangan? Rimbo larangan memiliki tujuan yang sama dengan konservasi yakni untuk menjaga kelestarian hutan dan keseimbangan ekosistem di dalamnya agar dapat terus dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kehidupan masyarakat minangkabau sehari-hari tidak dapat dipisahkan dengan alam khususnya hutan, hal ini sesuai dengan pepatah minangkabau yang mengatakan bahwasanya “Alam Takambang jadi Guru” pepatah ini mengandung makna bahwa selain sebagai sumber kehidupan alam juga berperan sebagai sumber ilmu pengetahuan oleh masyarakat minangkabau. Oleh karena itu, bagi masyarakat minangkabau kelestarian alam dan lingkungan terutama hutan harus dijaga dengan baik dan kegiatan ini sudah dilakukan turun-temurun sejak zaman nenek moyang dahulunya.


Berdasarkan praktiknya, rimbo larangan cukup efektif dalam melindungi dan melestarikan hutan dalam kehidupan masyarakat minangkabau. Hal ini dikarenakan masyarakat minangkabau mematuhi peraturan dan larangan yang dibuat oleh pemangku adatnya. Peraturan dan larangan tersebut adalah pepohonan di rimbo larangan tidak boleh ditebang sembarangan karena fungsinya yang sangat vital yakni sebagai sumber persediaan air jangka panjang bagi masyarakat. Selain itu, tumbuhan yang ada di hutan juga dipandang sebagi perisai untuk melindungi segenap masyarakat yang bermukim di sekitar hutan dari bahaya tanah longsor. Apabila ada masyarakat yang ingin membuat rumah dan membutuhkan kayu dari hutan, maka harus minta izin terlebih dahulu kepada pemangku adat dan dalam menebang pohon hanya boleh menggunakan peralatan kapak dan gergaji tangan. Jika ada yang melanggar maka akan diberi sanksi sesuai kesepakatan bersama oleh anggota kaum tersebut.


Praktik rimbo larangan ini diwariskan secara lisan kepada anak-kemenakan, turun-temurun dalam lingkup keluarga, kaum, dan suku. Bentuk ajakan dapat berupa petatah-petitih adat dalam mengajak untuk menjaga hutan, salah satu contohnya yakni “Batobe indak mahabian, batobang indak mamunahan (ditebas tidak menghabiskan, ditebang tidak memusnahkan) yang artinya dalam mengambil hasil hutan ambillah secukupnya saja sesuai kebutuhan sehingga hasil hutan tersebut tidak habis.


Seiring berjalannya waktu praktik rimbo larangan ini mulai memudar dalam kehidupan masyarakat minangkabau dan hanya beberapa daerah di Sumatera Barat yang masih menerapkan rimbo larangan sampai saat ini. Hal ini tentunya memberikan peluang kepada anggota kaum untuk memanfaatkan hutan secara bebas tanpa terikat oleh larangan. Oleh karena itu, banyak terjadi aktivitas-aktivitas yang menyebabkan kerusakan pada hutan. Aktivitas tersebut seperti pembalakan liar yang merupakan kegiatan penebangan pohon secara ilegal dalam jumlah yang banyak. Selain itu, ada kegiatan alih fungsi lahan yang terdiri dari kegiatan pembukaan lahan hutan secara luas untuk pemukiman dan infrastruktur pemerintahan, deforestasi (penggundulan hutan), pertambangan emas ilegal serta pembukaan perkebunan dengan tanaman homogen seperti kebun sawit. 


Hutan di Indonesia semakin hari semakin berkurang dikarenakan aktivitas dari manusia yang merusak hutan. Hasil pemantauan hutan Indonesia tahun 2020 menunjukkan bahwa luas hutan yang masih tersisa di seluruh daratan Indonesia adalah sekitar 50,9 %. Begitu juga dengan wilayah Sumatera Barat, dari tahun 2011-2021 Sumatera Barat telah kehilangan hutan 139.590 hektar atau lebih dari satu setengah kali luas kota New York yang disebabkan oleh bisnis ekstraktif skala besar, pembalakan liar, maupun pertambangan emas ilegal dan lain-lain. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat, sepanjang tahun 2021, ada 6.968 hektar hutan di Sumbar rusak. Kerusakan itu terjadi di Dharmasraya 1.773 hektar, Solok 1.533 hektar, Solok Selatan 2.559 hektar dan Sijunjung 1.103 hektar.


Kerusakan pada hutan dapat menyebabkan hilangnya habitat berbagai organisme yang hidup disana khususnya hewan, hewan tidak dapat bertahan hidup tanpa adanya tumbuhan karena hewan membutuhkan tumbuhan sebagai rumahnya, sumber makanan dan sumber air. Menurut laporan ilmiah, populasi hewan di dunia telah menurun rata-rata 69% dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun karena manusia terus merusak hutan, memanfaatkan sumberdaya alam di luar batasan, dan mencemari dalam skala industri. Sumatera Barat merupakan wilayah yang rawan mengalami bencana banjir dan longsor. Hal itu disebabkan oleh topografinya berupa perbukitan dengan lereng yang curam serta memiliki curah hujan yang tinggi. Jika terjadi kerusakan hutan yang tinggi di Sumatera barat, tentunya akan berdampak kepada masyarakat yang bermukim di sekitar hutan tersebut dikarenakan berkurangnya daerah resapan air sehingga tanah menjadi lunak dan tidak ada lagi akar pohon yang dapat menahan tanah sehingga dapat menimbulkan bencana banjir maupun longsor yang mengancam keselamatan masyarakat sekitar.


Meskipun demikian, sisa hutan yang ada saat ini masih dapat dipertahankan jika masyarakat minangkabau kembali menerapkan praktik rimbo larangan. Dengan adanya rimbo larangan masyarakat dapat memanfaatkan hutan tanpa merusaknya dan bersama-sama melestarikan hutan agar tetap bisa dimanfaatkan oleh keturunan di masa mendatang. Bertahannya rimbo larangan tidak terlepas dari kesadaran masyarakat mengenai pentingnya keberadaan hutan dan rasa tanggung jawab masyarakat untuk ikut berperan dalam melestarikan hutan, adapun sumber daya alam hayati yang terkandung di dalam hutan sudah selayaknya dikelola dengan baik dan dijaga kelestariannya demi mencapai keseimbangan ekosistem di alam.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS