Ticker

6/recent/ticker-posts

Gelombang Protes Anti Lockdown China Makin Besar, Tepatkah Kebijakan Zero-COVID Xi Jinping?

 



“Bubarkan partai komunis china!!!”

“Turunkan Xi Jinping!!!”

“Bebaskan Xinjiang!!!”

Inilah beberapa slogan yang diteriakkan oleh demonstran yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat  di puluhan kota besar di china dari shanghai hingga sichuan, buntut akibat teragedi kebakaran yang memakan korban jiwa sebanyak 10 orang di komplek apartemen di daerah barat laut kota urumqi, provinsi xinjiang. Kebakaran tersebut dianggap sebagai akibat penerapan lockdown yang sangat ketat oleh pemerintahan Xi, dimana dalam kejadian nahas tersebut petugas pemadam kebakaran gagal menyelamatkan para korban akibat terhambat oleh pagar penghalang yang digunakan dalam kebijakan lockdown,sehingga selang air tidak dapat mencapai bangunan apartemen tersebut.

China memang mengalami peningkatan signifikan kasus COVID semenjak 7 bulan yang lalu (28 maret 2022). Dimana sebanyak 6.195 kasus naik 29.520 kasus di tanggal 14 april, kota shanghai sebagai titik penyebaran tertinggi, trend ini dengan cepat terjadi ke kota besar lainnya, sehingga tercatat ada 46 kota di negara tersebut yang menjalani lockdown penuh ataupun sebagian per 27 april 2022. Namun setelah akhirnya 3 bulan terakhir menunjukan kurva melandai, mulai november 2022 ini kasus COVID kembali megalami lonjakan. Per 1 november 2022 misalnya, kasus COVID  masih berada di angka 2.770, Namun data terbaru yakni 29 november 2022, kasus COVID di negara asia timur itu, mencatatkan rekor yakni 72.310 kasus baru atau sekitar 36 kali lipat dibanding awal november lalu. Sehingga melihat situasi ini pemerintah langsung gerak cepat memberlakukan lockdown di beberapa kota lainnya. sehingga seperti diilansir dari DW News, setidaknya di seluruh china terdapat 400 juta jiwa yang sedang dalam pembatasan sosial ketat.

Gelombang Protes besar besaran yang terjadi bukan hanya dipicu oleh insiden kebakaran tadi, tapi akibat efek akumulasi rasa frustasi dan ketakutan masyarakat dengan pemberlakuan lockdown selama 8 bulan terakhir setelah hampir tiga tahun COVID merebak. Ketakutan tersebut menyebabkan bentrok antara masayarakat dengan aparat, panic buying yang bahkan berubah menjadi penjarahan, dan juga kekurangan bahan makanan, seperti dilansir dari BBC News INDONESIA, beijing sebagai salah satu kota yang menjalani lockdown, sebagian besar dari 25 juta warganya dilaporkan kekurangan makanan. Namun biasanya protes ini berkaitan erat dengan isu lokal, karna semenjak insiden tiananmen square, pemerintahan china telah sukses memainkan cara untuk meredam kekuatan protes-protes skala nasional seperti itu.

Yang jadi pertanyaan kita di sini apakah kebijakan ini memang akan membawa kebaikan lebih besar?, dan kenapa pemerintahan China bersikeras untuk mempertahankan kebijakan Zero-COVID tersebut walaupun menghadapi tekanan dari berbagai pihak?. Pada dasarnya kebijakan ini berusaha untuk menghilangkan reproduksi virus, tidak hanya dengan mengendalikannya, namun juga dengan menjaga angka reproduksi virus dibawah ambang batas kritis. Dalam penerapannya kebijakan ini perlu menggunakan tindakan farmasi dan non-farmasi, termasuk tes dan penelusuran, isolasi, lockdown, dan pemberian vaksin. Namun akibat varian virus seperti omicron yang jauh lebih menular dibanding varian sebelumya, upaya upaya ketat seperti ini sulit untuk di pertahankan akibat masyarakat yang pada akhirnya kehilangan kesabaran, dan juga biaya karantina wilayah yang tentu menyedot ongkos lebih besar akibat pelemahan sektor-sektor perekonomian dalam negri.

Kebijakan ini nyatanya telah banyak di kritik, walaupun sebelunya di awal masa pandemi terbukti ampuh menekan angka kematian akibat virus tersebut,Negara-negara di dunia pada umumnya mulai menyusun protokol untuk hidup berdampingan dengan virus ini, kritikan itu salah satunya datang dari pihak who,hal ini dilontarkan langsung oleh Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pengarahan media pada Selasa (10 mei 2022) seperti dilansir dari Reuters “Kami tidak berpikir kebijakan itu berkelanjutan mengingat perilaku virus dan apa yang kita antisipasi di masa depan","Kami telah mendiskusikan masalah ini dengan para ahli China. Dan kami menyatakan pendekatan tersebut tidak akan berkelanjutan. Saya pikir perubahan (kebijakan) akan sangat penting," ujar Tedros melanjutkan. Dia mengatakan meningkatnya pengetahuan tentang virus dan alat yang lebih baik untuk memeranginya juga menunjukkan sudah waktunya untuk perubahan strategi. Dari sektor lain seperti diprediksi oleh para ahli bahwa dampak dari pemberlakuan aturan ini di china akan memberi akibat buruk yanng signifikan bagi pertumbuhan ekonomi negara berkembang bahkan dikatakan dapat memperparah pukulan ekonomi atau akibat dari perang ukraina-rusia.

Namun china beralasan bahwasannya berdasarkan riset yamg mereka lakukan seperti dikutip dari laman Bloomberg, sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Nature Medicine memperkuat alasan China masih terus memperketat pembatasan di Shanghai dan Beijing. Menurut para peneliti di Universitas Fudan, Shanghai, pengetatan itu dilakukan karena China memiliki risiko tinggi untuk mengalami “tsunami” infeksi COVID-19.

Menurut Beijing Jika kebijakan zero COVID ini diabaikan, kemungkinan bisa terjadi 1,6 juta kematian di negara tersebut. Studi yang telah ditinjau sejawat ini menemukan bahwa tingkat kekebalan dari vaksin COVID-19 pada Maret di China “tidak cukup” untuk mencegah terjadinya gelombang Omicron, yang bisa membanjiri kapasitas perawatan intensif. Alasan lainnya, ada ancaman dari tingkat vaksinasi yang rendah di kalangan orang tua. Selain itu, adanya kemungkinan kemampuan varian Corona Omicron untuk menghindari kekebalan dari vaksin booster yang ada. 

Para peneliti menggunakan pemodelan komputer untuk mensimulasikan COVID-19. Dengan metode itu, mereka memperkirakan dampak yang terjadi jika China melepaskan kebijakan zero COVID. Hasilnya, bisa terjadi lonjakan pasien Corona yang kritis dan tentunya bisa membebani fasilitas rumah sakit hingga hampir 16 kali lipat dari yang disediakan China saat ini. Diperkirakan, penyebaran varian Omicron secara total bisa menyebabkan 112,2 juta kasus bergejala, 5,1 juta rawat inap, dan 1,6 juta kematian akibat gelombang besar yang terjadi antara Mei dan Juli 2022. Jika 1,6 juta kematian benar terjadi, itu akan menjadikan China sebagai negara dengan angka kematian COVID-19 tertinggi di dunia. Bahkan, itu 50 persen lebih banyak daripada yang dilaporkan Amerika Serikat selama COVID-19 terjadi. Dari perkiraan tersebut, tiga perempat kematian akan terjadi pada kelompok usia 60 tahun atau lebih yang belum mendapatkan vaksinasi.

Banyak pihak yang sebelumnya beranggapan bahwa Xi Jinping mempertahankan kebijakan ini agar gejolak politik tidak menggangu jalannya transisi kepemimpinan pada kongres partai komunis china ke 20 pada musim gugur tahun ini yakni pada 16 hingga 22 oktober 2022, namun nyatanya di Desember ini pembatasan malah semakin ketat, hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah china dalam menekan dampak negatif se minimal mungkin dari penyebaran COVID-19 baru-baru ini. Kebijakan ini dianggap merupakan yang paling ekonomis, efektif dan realistis bagi China oleh Xi Jinping namun bukan untuk kenyamanan rakyatnya.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS