Ticker

6/recent/ticker-posts

RANGKIANG RUMAH GADANG

foto dok


Oleh: Sintia Aulia

Jurusan Sastra Daerah Minangkabau

 

Saat kita mengunjungi provinsi Sumatra Barat, pastinya kita ingin sekali melihat rumah adatnya yang terkenal yang bernama Rumah Gadang.

Rumah ini menjadi ciri khas tersendiri dari provinsi tersebut dan masih sering dijumpai. Namun didekat rumah adat tersebut, terdapat sebuah rumah yang bentuknya seperti Rumah Gadang tetapi dengan ukuran yang kecil.

Mungkin banyak orang yang penasaran dengan rumah berukuran kecil tersebut. Bangunan tersebut bernama Rangkiang, yang berfungsi sebagai lumbung padi atau tempat menyimpan padi miliki oleh suku Minangkabau.

Biasanya lumbung padi tersebut sering kita temui di halaman Rumah Gadang. Rangkiang ini memiliki pintu kecil yang letaknya dibagian atas dari salah satu dinding singkok.

Untuk bisa masuk ke Rangkiang, biasanya masyarakat menggunakan tangga yang terbuat dari bambu. Dimana tangga tersebut dapat dipindahkan, apabila tidak digunakan tangga ini akan disimpan di bawah kolong dari Rangkiang.

Rangkiang adalah Lumbung Padi digunakan masyarakat Minangkabau untuk menyimpan padi hasil panen. Bangunan ini pada umumnya dapat ditemui di halaman rumah gadang. Bentuknya mengikuti bentuk rumah gadang dengan atap bergonjong dan lantai yang ditinggikan dari atas tanah. Rangkiang melambangkan kesejahteraan ekonomi dan jiwa sosial yang dimiliki oleh orang Minangkabau.

Rangkiang didirikan di halaman rumah gadang, rumah adat tradisional Minangkabau. Seperti rumah gadang, bangunan ini memiliki atap berbentuk gonjong yang terbuat dari ijuk. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu tanpa jendela dan pintu. Pada salah satu dinding singkok atau loteng, terdapat bukaan kecil berbentuk persegi tempat memasukkan padi hasil panen. Untuk menaikinya, digunakan tangga yang terbuat dari bambu. Tangga ini dapat dipindahkan bila tidak digunakan dan disimpan di bawah kolong rangkiang.

Ukuran rangkiang berbeda-beda menurut jenisnya. Rangkiang Si Bayau-bayau merupakan yang terbesar dari semua rangkiang. Rangkiang ini ditopang oleh enam tiang atau lebih, seperti pada rangkiang Istana Pagaruyung yang memiliki dua belas tiang. Rangkiang Si Tangguang Lapa dan Rangkiang Si Tinjau Lauik berbentuk identik dan sama-sama ditopang oleh empat tiang. Adapun Rangkiang Kaciak memiliki ukuran lebih kecil dan rendah.

Berdasarkan fungsinya, rangkiang terbagi menjadi 4 jenis, yaitu;

Rangkiang Sitinjau Lauik

Rangkiang sibayaubayau adalah jenis rangkiang yang berfungsi untuk menyimpan padi untuk kebutuhan sehari-hari. Termasuk didalamnya untuk pembiayaan kebutuhan yang sifatnya harian ataupun belanja barang-barang yang tidak bisa dibuat sendiri.

Bentuknya sengaja dibuat langsing dan memiliki 4 tiang. Biasanya diletakkan dibagian tengah.

Rangkiang Sibayau Bayau

Rangkiang si Bayau-bayau adalah rangkiang yang berfungsi untuk pemenuhan keperluan makan sehari-hari. Disainnya dibuat gemuk dengan 6 tiang. Biasanya terletak di bagian kanan rumah gadang.

Rangkiang Sitenggang Lapa

Dahulu, tekonologi pertanian masih sangat tradisional. Musim bercocok tanampun masih tergantung pada musim hujan. Sehingga ketika sempat terjadi gagal panen, maka terjadilah musim paceklik, dimana masyarakat susah mendapatkan makanan.

Ketika musim paceklik tiba, disanalah kemudian isi rangkiang ini dipergunakan. Rangkiang ini merupakan penolong disaat masa sulit, tidak hanya bagi pemilik rumah gadang tapi kerapkali dipinjam-pinjamkan apda masyarakat sekitaryang juga kekurangan makanan.

Rangkiang ini memiliki bentuk persegi dengan 4 tiang. Biasanya terletak di sebelah kiri.

Rangkiang Kaciak

Kaciak berarti kecil. Rangkiang ini memang dibuat paling kecil dari yang lainnya. Disinilah padi abuan disimpan. Bila saat bertanam tiba, padi ini diambil untuk disemai. Bangunan kecil ini biasanya terletak diantara ketiga rangikiang lainnya yang lebih besar.

Demikian filosofi rangkiang bagi masyarakat minang. Segala sesuatunya harus dipersiapkan sesuai prioritas. Meskipun sekarang sudah tidak ada lagi yang yang menggunakan rangkiang, karena memang mendapatkan beras di pasar-pasar sudah sangat mudah. Serta menyimpan dalam bentuk uang tabungan tentunya lebih fungsional daripada padi. Namun setidaknya kebiasaan menabung dan berjaga-jaga bahkan kemungkinan terburuk sekalipun.

Kalau kita pahami prinsip roh filosofi rangkiang tersebut, setiap keluarga akan dihiasi rumahnya dengan peralatan yang memberi manfaat dan berguna dari sudut duniawi. Kenapa tidak, untuk membeli barang-barang tersebut, terutama barang-barang yang berupa keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri, telah ada rangkiang si tinjau lauik untuk membelinya. Begitu juga dengan keperluan makan sehari-hari, sudah ada rangkiang si bayau-bayau.


Keberadaan rangkiang telah mewaspadai kita untuk tidak terjadinya kelaparan di kemudian hari. Sebab, dalam rangkiang si tanggung lapa telah disiapkan cadangan padi. Terakhir, pembenihan untuk ditanam setelah panen juga telah disiapkan dengan adanya rangkiang kaciak. Nah, sekarang sebetulnya menurut filosofinya di negeri kita ini tidak mengenal yang namanya gizi buruk, kelaparan, pinjam sini pinjam sana (ngutang) dan lain sebagainya. Rangkiang tidak lagi menjiwai dan dijiwai oleh masyarakat kita hari ini.

Di beberapa daerah, tempat menyimpan padi diistilahkan dengan kopuak, misalnya di daerah Rao – Pasaman. Biasanya kopuak berukuran kecil, dan di beberapa daerah seperti di daerah Rao-Pasaman tersebut terletak berjajar di sepanjang jalan. Itu dulu tapi sekarang ini sulit untuk menemukannya lagi.

Dulu waktu kecil penulis, setelah panen padi langsung dibawa dan dimasukkan ke dalam kopuak tersebut. Malu rasanya bagi seseorang setelah panen langsung menjual padinya. Sekarang ini, bagi petani setelah panen padi hasilnya langsung dijual. Istilah orang kampung penulis "kopuak bajalan'! Sebab padi yang baru dipenen langsung dibawa mobil dijual kepada toke padi tanpa disimpan ke dalam rangkiang atau kopuak tersebut. Sebuah tradisi yang buruk untuk keberlangsungan sebuah rumah tangga.

Tidak berhenti di situ saja sebetulnya, dan juga merupakan kesalahan kita selama ini, yakni melihat persoalan penyakit yang terjadi dalam masyarakat sering dilihat dari  aspek medis saja. Persentase sering menjadi tolok ukur dalam pemberantasannya, bahkan yang paling celaka lagi, misalrrya penyakit kurang gizi, kurangnya asupan gizi si anak dan pengetahuan si ibu merupakan argumentatif yang sering dilontarkan untuk membingkai persoalan gizi buruk itu sendiri.

Segi medis, namun jauh dari itu menyigi dari segi budaya pun lebih terang rasanya. Menyigi gizi buruk dari segi budaya dengan menghidupkan roh filosofi rangkiang tersebut merupakan sebuah terobosan yang baik. Apalagi sebetulnya pemahaman kita terhadap hakekat rangkiang-roh rangkiang itu sendiri telah hilang bagi kita sendiri. Atau dengan kata lain menghidupkan roh rangkiang dalam kehidupan kita akan lebih efektifuntuk memberantas penyakit yang satu ini. 

Coba kita bayangkan, bila rangkiang-rangkiang kita dipenuhi dengan padi tidakkah anak kita akan terhindar penyakit kurang gizi tersebut. Sekarang rangkiang itu yang tidak berisi padi, naifnya rangkiang itu sendiri habis dan tidak ada lagi menghiasi rumah gadang kita. Rangkiang tidak lagi menjiwai dan dijiwai oleh masyarakat kita dan akhirnya gizi buruk menggurita di negeri kita ini.

Sebetulnya persoalan tentang gizi buruk, tidak sekarang ini saja terjadi. Jauh-jauh sebelumnya juga terjadi. Berbagai macam program kerja mulai dari tingkat pusat dan daerah dalam bidang kesehatan telah bajibun dilakukan tapi yang namanya gizi buruk muncul jua. Berbagai macam seminar dengan narasumber yang mulutnya berbusa-busa menceramahi para peserta seminar namun gizi buruk jua terjadi. Nampaknya semua itu tak mampan juga untuk memberantas penyakit ini. Jangankan berkurang tapi bertambah.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS