Ticker

6/recent/ticker-posts

Limpapeh rumah nan gadang di tanah minang

 


 Oleh aditya janta anugrah mahasiswa sastra minang UNAND




Limpapeh rumah nan gadang, amban paruik pagangan kunci, pusek jalo kumpulan tali, hiyasan di dalam kampuang, sumarak dalam nagari.

Kemajuan zaman dan arus globalisasi membuat tugas dan beban Bundo Kanduang ditengah masyarakat Minang makin berat. Bundo Kanduang harus berada didepan dalam membentengi anak sekaligus memelihara adat dan budaya Minangkabau.


Demikian ungkap Walikota Bukittinggi H. M. Ramlan Nurmatias, SH saat memberikan sambutan pada Pertemuan Bulanan Bundo Kanduang Tingkat Kota Bukittinghi, Rabu (23/03) Di Hall Balaikota Lama Bukittinggi.


Peranan Bundo Kanduang menurut Ramlan sangat penting. Bundo Kanduanglah yang menentukan maju mundurnya Kota ini. Apalagi antara Bundo Kanduang Dan LKAAM adalah adat sabatang panjang. Pentingnya Peranan Bundo Kanduang apalagi karena diminangkabau memakai siatem matrilineal. Sehingga menarik bagi orang dari daerah lain untuk mempelajari adat istiadat minagkabau. Sejauh manapun kita merantau yang sako dan pusako tetap ditempat kelahiran. Bundo Kanduang sangat menjaga kehidupan maupun harta pusaka. Yang sako dan Pusako tidak bisa dirubah.


Saat ini lanjut Ramlan peranan Bundo Kanduang bukan hanya soal adat dan budaya saja. Tapi juga termasuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Harus ada ide ide usaha peningkatan ekonomi keluarga oleh Bundo Kanduang. Harus ada sumbangan pemikiran demi masa depan anak cucu. Termasuk juga harus bisa menunjang pariwisata di Bukittinggi. Karena itu Bundo Kanduang adalah tiang penyangga kota Bukittinggi. Tanpa peranan Bundo Kanduang, Kota bisa lumpun. Bundo Kandunglah yang menjaga kelangsungan Pemko.


Sementara Ketua Bundo Kanduang Kota Bukitting Hj. Pik Efni, Spd, MPd mengatakan Bundo Kanduang memiliki tiga makna yaitu perempuan yang dituakan didalam suatu kaum, merupakan ibu dari seorang Anak dan Bundo Kanduang sebagai sebuah organisasi. Organisasi Bundo Kanduang sendiri lahir 18 November 1974 lewat musyda Bundo kanduang di Payakumbuah. Ketua pertama yaitu almh ibu Jamilah Djambek. Saat ini Bundo Kanduang Kota Bukittinggi telah memiliki gedung Di Balerong Sari. Bundo Pik berharap Pemko dapat menjadikan Balerong Sari sebagai tempat kunjungan wisata.


Bundo Pik melanjutkan tujuan pertemuan hari ini untuk menjalin silaturahmi antara anggota Bundo Kanduang dan jajaran Pemko Bukittinggi. Menurut Bundo Pik fungsi Bundo kanduang adalah melestarikan adat. Apalagi saat ini krisis budaya telah mulai mengikis kelestarian adat budaya yang merusak generasi muda Minangkabau. Dunia telah dirasuki budaya merusak yang menjangkiti Anak muda kita. Pergaulan negatif sangat menyolok mata. Kita tidak mungkin menentang zaman. Namun perubahan zaman itu seharusnya tidak menghilangkan jati diri adat dan budaya minangkabau ditengah masyarakat. Bundo Pik pun menegaskan Bundo Kanduang siap mendukung kinerja dan program yang telah Walikota canangkan.


Ketua LKAAM Kota Bukittinggi Inyiak Datuak Maruhun mengatakan, Bundo Kanduang adalah limpapeh rumah yang gadang. Pertemuan kita kali ini akan menguatkan komitmen dan menyamakan langkah dalam menyelenggarakan adat. Hubungan antara Bundo Kanduang dengan LKAAM bersifat fungsional sebagai  ibu sako dan pemegang sako sekaligus pemegang tali matrilineal. Untuk itu LKAAM dan Bundo Kanduang berada dalam satu payuang pada adat Minangkabau. Bundo Kanduang adalah ibu yang menagndung, ibu yang menyusui dan ibu yang mendidik. Dapat dikatakan Bundo Kanduanglah  madrasah yang pertama bagi Anak kita. Untuk itu Bundo Kanduang harus memperluas ilmu, menjadi contoh teladan yang baik sekaligus memberi ruang yang luas terhadap kreatifitas anak.  


Penasehat Bundo Kanduang Kota Bukittinggi Ibu Yessi Ramlan mencermati sudah banyaknya perempuan minang yang tidak lagi memakai adat dalam berpakaian, perkataan dan sopan santun. Sudah banyak perempuan minang yang tidak tau lagi dengan “Kato nan Ampek”, kato mandaki, kato manurun, kato mandata, dan kato malereng. Itulah yang sekarang hampir selalu kita rasakan. Kita tidak bisa menutup mata atas perkembangan globaliasi. Namun jangan mengkambing hitamkan globalisasi. Kembalilah menjadi orang minang sejati, sesuai Adat basandi syarak syarak basandi kitabullah. (fika)


Setiap kebudayaan di Indonesia memiliki nilai dan pengajaran tentang pola asuh anak yang berbeda-beda. Di Tanah Datar, Sumatera Barat, misalnya, konsep Bundo Kanduang menjadi sosok utama dalam pengasuhan anak.


"Bundo Kanduang itu tiang segala-galanya, perempuan dengan cahaya yang menerangi," begitu tutur Sofia S.Pd., perempuan Minang berusia 67 tahun sekaligus sosok yang menjabat posisi Sekretaris Bundo Kanduang Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.


Peribahasa di atas merupakan gambaran peran perempuan dalam komunitas masyarakat suku Minangkabau. Perempuan dipandang sebagai sosok yang tak hanya kuat tapi juga menguatkan.


Tak heran jika perempuan memiliki tempat istimewa dalam kehidupan sosial budaya Urang Awak. Konsep tersebut terangkum lewat gelar Bundo Kanduang, ode bagi kaum perempuan Minang.


Bundo Kanduang sendiri merupakan sebuah personifikasi dan identitas budaya yang melekat pada perempuan Minangkabau.



Dalam Bahasa Indonesia, Bundo Kanduang biasa diterjemahkan secara kasar menjadi Bunda Kandung.


Namun menurut Sofia, Ibu Sejati merupakan padanan kata yang lebih tepat untuk menerjemahkan arti Bundo Kanduang.




"Yang dimaksud dengan Bundo Kanduang adalah seorang perempuan Minangkabau yang telah berkeluarga, artinya yang telah menikah, beragama Islam, adik atau kakak atau mande dan mengurus kegiatan-kegiatan kelangsungan adat istiadat Minangkabau," tambah Gusnawilis, Ketua Umum Bundo Kanduang Tanah Datar, kepada Suara.com, baru-baru ini.


Dalam tatanan masyarakat adat budaya Minangkabau, Bundo Kanduang dibagi dalam dua jenis yaitu Bundo Kanduang Adat atau Bundo Kanduang Sako, dan Bundo Kanduang Organisasi.


Bundo Kanduang Sako di Tanah Datar, Sumatera Barat. (Suara.com/Risna Halidi)

Bundo Kanduang di Tanah Datar, Sumatera Barat. (Suara.com/Risna Halidi)

Bundo Kanduang Adat atau Sako memiliki tanggungjawab selingkar rumah gadang atau kaumnya. Sementara Bundo Kanduang Organisasi dipilih melalui musyawarah daerah, baik itu ditingkat dari Nagari (desa), kecamatan, kabupaten, hingga provinsi dan nasional.


Ibu Sejati Urang Awak


Urang Awak atau Urang Minang memang dikenal sebagai salah salah satu suku di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Bagi mereka yang masih tinggal di rumah adat--rumah gadang, akan ada satu Dato (datuk) dan Bundo Kanduang Sako.




Di dalam rumah gadang yang begitu besar, umumnya terdapat lebih dari satu keluarga. Bisa empat bahkan sampai tujuh keluarga.


Itu juga yang membuat peran Bundo Kanduang Sako begitu penting. Ia muncul sebagai tiang keluarga, sosok kunci penyelesaian masalah sekaligus penjaga adat, nilai dan peradaban.


"Satu rumah gadang biasanya memiliki satu Dato yang akan mengepalai rumah adat masing-masing dan Bundo Kanduang Adat, adalah ibu dari Dato," tambah Gusnawilis.


Tapi kata Sofia dan Gusnawilis, semua perempuan Minang yang telah menikah memiliki peran yang sama, mereka semua adalah Bundo Kanduang, si ibu sejati anak-cucu Minang.


Maka tak heran jika semua anak dalam satu rumah gadang atau kaum bukan hanya tanggungjawab ibu kandungnya saja, tetapi juga para Bundo Kanduang.


"Jadi misal ada anak sedang tidur dalam ayunan, siapa saja yang ada di rumah gadang dan melihatnya, diayun anaknya," tambah Sofia.



Lain Bundo Kanduang Sako lain juga organiasi. Bundo Kanduang Organisasi pertama kali dibentuk pada 18 November 1974 lewat musyawarah daerah Bundo kanduang di Kota Payakumbuah.


Ketua pertama Bundo Kanduang saat itu adalah almarhumah Jamilah Djambek. Kini, peran yang sama diemban oleh Puti Reno Raudha Thaib, seorang sastrawati, budayawati, dan akademisi sekaligus ahli waris Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS