Ticker

6/recent/ticker-posts

Hilangnyo Raso Jo Pareso



Nama : Natasya Harifa

Jurusan : Sastra Minangakabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas



Raso jo pareso adalah tentang kebijaksanaan dalam berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain. Secara harfiah itu berarti rasa dan periksa. Rasa di sini adalah perasaan, bukan rasa pengecap. Raso jo pareso bermakna kita menggunakan perasaan dan dengan berhati-hati memeriksa atau mencari tahu apakah lawan bicara kita itu akan tersinggung atau tidak, pantaskah kata-kata yang dikeluarkan atau tidak. Itu semua diatur oleh prinsip raso jo pareso ini jika kita menerapkannya dalam diri. 

Frase ini lahir di Minangkabau dan ini terpatri dalam diri orang Minang. Tak heran orang Minang mampu berbaur di mana pun mereka berada. Frase ini termasuk ke dalam salah satu pepatah-petitih orang Minang di antara pepatah-petitih lainnya yang sangat cetar membahana. Selain berpepatah, orang Minang juga terkenal dengan kemampuannya berpantun dan berkias, termasuk juga berkilah. 

Minangkabau mengatur tatanan tersebut sedemikian mungkin dalam bentuk raso jo pareso, dan malu jo sopan. Artinya orang minang memiliki raso pareso yang tinggi akan sikap dan perbuatan yang mereka lakukan terutama pada kata-kata yang mereka ucapkan agar tidak menyinggung orang lain. Kalau raso pareso telah lenyap dari seseorang, walaupun hilang sendirinya, bukan disebut manusia lagi, tetapi hewan yang berbentuk manusia. Hilangnya raso jo pareso, sopan jo santun, dan pudarnya kearifan lokal anak negeri disebabkan ia tidak lagi paham kato malereang kato mandaki dan kato manurun, serta kato mandata dan tidak mendapat didikan adat di sekolah (sahinggo samo sajo sawah jo pamatang).

Tengganglah raso pakai pareso, gunakan etika, pakailah logika demikianlah ungkapan yang sudah terpatri dalam budaya manusia beradab di Minangkabau, tapi terasa ada sesuatu yang hilang ketika manusia tersebut lupa dengan Adat, tiada hidup yang lebih malang ketika dikatakan orang ‘ndak tau jo ampek’, orang yang tidak beradat.

Dalam pergaulan sehari-hari masyarakat di Minangkabau khususnya, bila sudah dikatakan orang ‘ndak tau di nan ampek, sungguh malu yang tak terhingga bagi yang menerima julukan tersebut, adalah suatu upaya masyarakat untuk menghukum secara moral kepada anggotanya yang melanggar adat atau aturan yang berlaku dalam kehidupan, ‘salah cando’. Orang tersebut mempunyai strata paling bawah dalam masyarakat itu sendiri. Diumpamakan,  lah samo jo nan bakaki ampek. Sehingga diharapkan mereka akan sadar dengan segala perilakunya dalam pergaulan masyarakat yang beradat, bermoral dan berakhlaqul karimah. Berdasarkan Adat Basandi Syara’-Syara’ Basandikan Kitabullah.

Dalam mamangan adat, para leluhur Minang menyebutkan “Nan kuriak kundi, nan merah sago, nan baiak budi, nan indah baso (bahasa).” Orang berbudi selalu disegani dalam pergaulan masyarakat. Begitu juga mereka yang memiliki keindahan bahasa.

Raso jo pareso sangat berguna untuk mengantisipasi berbagai masalah, yang mungkin timbul dalam pergaulan, baik pergaulan dalam sebuah rumah tangga, lingkungan masyarakat, dan tingkat pergaulan yang lebih luas lagi.

Karena raso (rasa) bisa mencegah seseorang untuk melukai perasaan atau menyinggung orang lain. Dalam adat disebut ‘piciak-piciak kulik’. Bila seseorang merasa sakit bila kulitnya ‘dipiciak’ (dicubit), orang lain pun akan merasa sakit pula diperlakukan demikian. Karena itu, jangan cubit orang lain kalau tak ingin disakiti.

Sementara ‘pareso’ merupakan sebuah kebijaksanaan dalam memikirkan suatu perbuatan. Seorang Anak Minang diingatkan agar memeriksa suat masalah sebelum memutuskan untuk bertindak. Karena, kurang periksa akan menyebabkan kesalahan dalam mengambil Keputusan.

Bagi Orang Minang, raso dibaok naiak, pareso dibaok turun. Maksudnya, sebuah permasalahan mesti dipikirkan, sebelum mengambil keputusan. Permasalahan apa pun mesti diperiksa, diteliti dengan sebaik-baiknya, untuk mendapatkan Keputusan yang bijak.

Orang pandai Fisika karena diajarkan Fisika, pelajar pandai Bahasa Inggris karena diajarkan Bahasa Inggris, dan tukang listrik mengerti listrik karena mendapat pengajaran listrik. Maka jika ingin anak Minang mengerti adat , berbudi pekerti, mangarati kato nan ampek, maka ia harus diajarkan adat. Inilah yang terjadi saat ini, adat dan budaya tidak lagi diajarkan di sekolah, di nagari bahkan dalam kaum. Hilang lah adat dan kesopanan. Maka tidak logis kalau dituntut anak kamanakan harus mangarati adat.

Apa lagi baso jo basi, dulu. Budaya sapo , budaya tegur itu bagian dalam kehidupan anak nagari, bahkan inilah komunikasi awal untuk membuka ruang pergaulan yang lebih luas. Misal, sambil makan di warung kita dulu dibiasakan “Baso” dan “ Basi” siapapun dihadapan dan disamping kita di warung akan ada kalimat” “ni makan ..ni”  atau samo se awak makan da”. Kalau sudah selesai makan biasa akan berkata” pak dulu yo da...” 

Biasanya ketika komunikasi sudah berjalan, akan sampailah pembicaraan kepada yang lebih akrab lagi, kampung dima pak..?suku..dansanak apo..? dan pertalian lainnya. Sehingga terjalin  kehidupan raso badunsanak

Akhir-akhir ini contoh diatas sudah banyak yang hilang sehingga kontak komunikasi kita menjadi renggang. Belum lagi kearifan lokal kesopanan yang kadang pemuka adat pun banyak yang tidak sopan. Di Minang ada juga bahasa isyarat yang sangat bermakna, dulu jika laki laki mau bertamu ke rumah adik perempuan atau dunsanak perempuan, di halaman rumah ia akan batuk-batuk kecil. Ini isyarat dia mau naik ke rumah supaya yang di rumah tahu dan berpakaian sopan. 

Saat makan di jamuan bila anak kemanakan salah mengambil sambal, atau menjangkau yamg jauh mamak akan melihatnya. Penglihatan mamak akan dipahami oleh kamananakan sebagai isyarat kamanakan ada kesalahan manjangkau atau manjambo. Manjambo samba yang jauh ke tengah hidangan tidak dibolehkan dalam adat dan agama, tapi harus dengan meminta tolong.

Raso jo pareso bagaikan dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan. Namun ada saatnya kita mendahulukan rasa, namun suatu saat harus mendahulukan Islam sangat memuliakan raso dan pareso. Begitulah penanaman dan pendidikan adat yang tertanam secara berkesinambungan dan berkelanjutan dalam kelompok komunal masyarakat minang.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS