Ticker

6/recent/ticker-posts

Hilangnya Eksistensi Kultur Dalam Jenjang Pendidikan


Oleh: Randu Sunerta


Secara umum jenjang pendidikan adalah tempat bagi masyarakat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud bukan hanya pengetahuan mengenai internal dalam suatu daerah akan tetapi juga akan mengkaji beberapa ilmu yang bersumber dari luar. Beberapa golongan masyarakat bisa mengekspresikan tingkat pengetahuannya melalui tingkah laku, mau pun dari segi tutur kata. Hal ini menandakan kecerdasan seseorang tidak bisa diukur dari segi apa pun.

Kultur dalam KBBI Edisi V adalah ruang lingkup atau aspek-aspek kebudayaan yang mungkin perlu dilestarikan. Perkembangan teknologi serta dampak globalisasi mengakibatkan anomali pada setiap aktivitas masyarakat dalam suatu wilayah, dampak tersebut bisa berupa positif mau pun dampak negatif. Contoh kecil bisa dilihat dalam masyarakat yang berdomisili di dataran tinggi yang pada umumnya mata pencarian bertani, faktor geologis yang mempengaruhi masyarakat untuk melakukan aktivitas bertanam sangat membutuhkan alat-alat yang pada dahulunya hanya menggunakan cangkul atau menggunakan tenaga hewan untuk membajak sawah. Seiring perkembangan waktu hal yang dahulunya sudah hampir melekat pada diri masyarakat mulai memudar dengan hadirnya teknologi-teknologi kasatmata yang mungkin lebih praktis dari sebelumnya.

Hal sedemikian sekarang mulai terlihat di jenjang pendidikan salah satunya adalah pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM). BAM adalah pelajaran yang mempelajari tentang seluk-beluk kebudayaan Minangkabau yang mungkin akan ditemui (dulunya) pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Fenomena ini mengakibatkan beberapa anak di bawah umur yang sama sekali tidak bisa berpatokan pada Kato Nan Ampek. Kato Nan Ampek sendiri adalah pelajaran dasar mengenai etika berbicara atau tingkah laku dengan guna untuk mengakses tahap sosialisasi menurut usia seseorang.

Di era modernisasi ini sosialisasi kulturalisme menurun drastis terutama pada anak-anak di bawah umur. Hal demikian terhenti dari dampak teknologi yang semakin hari semakin memuncak. Hasil dari ini mengakibatkan memudarnya kebudayaan dalam suatu daerah tertentu, selain itu peran masyarakat dalam pengembangan kebudayaan pun sangat minim. Dari hal tersebut jenjang pendidikanlah sebenarnya memiliki pengaruh yang besar dari segi kelestarian, akan tetapi pada saat ini proses dari pengenalan kebudayaan telah terhambat pada akhir-akhiri ini setelah dikabarkan peniadaan pelajaran BAM.

Hal ini mendatangkan perbandingan antara tahun-tahun sebelumnya yang kala itu masih diadakan, dimulai dari etika anak-anak milenial sekarang seakan sawah hampir rata dengan pematang itulah istilah yang mungkin dapat terucap untuk sekarang. Hal ini telah terlihat sejak hilangnya peran jejang pendidikan dalam melestarikan kebudayaan, jiwa anarkis anak milenial meningkat dari sebelumnya kesopanan pun seakan hanya bualan semata-mata. Rantai ikatan seakan telah terputus oleh waktu, keadaan ini jika tidak segera ditanggulangi akan menuju ke grafik yang lebih ekstrim yang mungkin tidak dapat lagi dibayangkan.

Pengaruh teknologi pun sangat berdampak besar, selain bisa digunakan untuk akses pembelajaran teknologi juga akan mendatangkan efek negatif seperti pornografi yang sebenarnya tidak asing lagi di telinga, hal ini bagi golongan masyarakat eksternal hanyalah suatu hal yang lumrah akan tetapi tidak bagi suku Minangkabau, keadaan ini akan memicu kebudayaan asing masuk dengan mulusnya setelah tiadanya masukan kultur lokal terhadap generasi sekarang. Proses ini akan menjadi ledakan besar dalam kurun waktu panjang setelah jati diri dalam suatu daerah itu akan menghilang total, peran orang tua pun hanya bisa seadanya dikarenakan pendidikan yang minim pada masa itu membuat proses pembelajaran mereka terhambat maka mereka hanya menumpahkan apa yang mereka ketahui saat itu.

Dalam kondisi ini apa lagi setelah memaraknya pandemi yang mengakibatkan terpalangnya proses belajar-mengajar sebagai orang tua, sebagai generasi milenial, sebagai seorang guru, dan sebagai masyarakat yang haus akan kebudayaan kondisi inilah waktu yang tepat untuk memanfaatkan atau merombak kembali catatan yang telah kumuh mungkin dengan cara mengundang seorang bertuah dalam suatu wilayah tertentu untuk melimpahkan pengetahuan kultural untuk seseorang. Kondisi ini membuat interaksi seorang bertuah dengan anak, seorang anak dengan gurunya semakin lekat sebab hanya bertatapan satu sama lain tanpa ada gangguan.

Selain itu kondisi ini juga yang membuat proses belajar tentang kebudayaan semakin terfokus tanpa memikirkan pelajaran lainnya atau pelajaran selanjutnya seperti di sekolah pada umumnya. Hal ini justru sangat manjur dalam sosialisasi tentang pengetahuan kebudayaan Minangkabau. Cara ini mungkin sangatlah praktis dengan mendatangkan seorang bertuah ke rumah, atau menemui seorang bertuah dengan tujuan belajar. Meski begitu tidaklah mudah untuk meyakinkan seseorang untuk belajar perihal tersebut membutuhkan beberapa trik, misalnya seperti memberikan sebuah hadiah jika menjelaskan kembali apa yang telah guru katakan.

Kesimpulannya dengan ketiadaan sosialisasi kultural dalam ruang lingkup pendidikan sangat berdampak buruk terhadap etika seseorang maka cara lain dapat dilakukan seperti datang atau mendatangi golongan bertuah dalam suatu kampung tersebut. Selain itu pemerintah juga harus memikirkan ulang apa dampak jika dalam jenjang pendidikan ditiadakan pengenalan kebudayaan suatu daerah. Sebelum ditindak lanjuti masyarakat harus terlebih dahulu bergerak terutama bagi orang tua yang akan berdampak pada anak-anak mereka yang mungkin akan kehilangan jati diri bangsanya. Sebelum itu terjadi mari kita sebagai manusia berbudaya melestarikan kembali apa yang seharusnya milik kita, ibarat menumbuhkan kembali bunga yang telah layu oleh waktu.























Penulis adalah salah satu mahasiswa dari jurusan Sastra Daerah Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS