Oleh : Muhammad Zhafran Nabil
“mandakekan nan jauh, marapekan nan lungga”
Acara Pulang basamo atau yang biasa mudik merupakan tradisi perantau minang yang selalu diadakan sekali dalam setahun. Acara ini biasanya diselenggarakan seminggu sebelum hari raya idul fitri. Biasanya para perantau akan membawa keluarga dan sanak famili ke kampung halamannya untuk melepas kerinduan serta berbahagia menyambut hari raya dengan keluarga besarnya. Pulang basamo biasanya membawa rombongan sesuai daerah rantau yang ditinggali.
Banyak perantau minang yang sukses di negri orang namun rindu dengan keluarga di kampung.
Untuk itu, dibuatlah acara yang dinamakan acara pulang basamo.
Dahulu orang minang, terutama yang laki-laki diwajibkan pergi merantau untuk menuntut
ilmu dan mencari nafkah untuk orang kampung, sebab pepatah minang mengatakan, “Karatau
madang dihulu, babuah babungo balun. Karantau bujang dahulu, dirumah paguno balun”,
maksudnya para bujang minang dianjurkan untuk pergi merantau karena untuk kampung
halamannya belum bisa dipergunakan yang dimaknai dengan harta kaum digariskan untuk
perempuan minang. Untuk itu, demi mendapatkan harta, seseorang laki-laki harus pergi merantau
agar mendapatkan harta yang berguna untuk keluarganya di kampung. Setelah sekian lama di
rantau, para bujang minang pasti merindukan keluarganya di kampung. Karena itu, dengan pulang
basamo ini bisa melepas kerinduan setelah lamanya di negri orang.
Orang minang biasanya merantau ke luar daerah bahkan seberang pulau, misalnya Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, bahkan hingga Papua demi mencari kehidupan yang baru. Namun, rasa
kangen terhadap keluarga yang di kampung membuat hati ingin pulang kampung, sebab pepatah sejauhjauh
apapun kita pergi dari rumah, suatu saat akan kembali ke tempat asalnya. Inilah yang semakin
mendorong niat para bujang minang setelah sukses di negeri orang untuk balik ke kampung
halaman.
Ketika minggu terakhir puasa, disaat itulah para perantau balik ke kampung halaman agar
bisa merayakan hari raya bersama ayah-ibu dan kakek-nenek. Ketika pualng basamo, banyak
bertemu “dunsanak-dunsanak” (saudara-sauadara) dari daerah rantau lain untuk pulang kampung.
Di waktu bersamaanlah terjalin silaturahmi sesama perantau dari berbagai daerah ke miangkabau.
Hal yang tidak terlupakan sebelum tiba di kampung adalah buah tangan atau oleh-oleh. Itu
merupakan kewajiban orang perantau minang sebagai tanda, “mambaok nan elok”, membawa
kebahagian bagi orang-orang di kampung. Oleh-oleh yang dibawa berupa makanan, pakaian,
kerajian tangan, dan sebagainya.
Beberapa daerah minang mengadakan acara sambutan bagi para perantau yang ikut pulang
basamo, contohnya di nagari Sulit Air dan tanjong Balik, ketika para perantau telah tiba di ranah
minang, mereka tidak lansung ke kampung halaman melainkan mereka dikumpulkan di Kota
Solok untuk menunggu para perantau lainnya. Setelah itu, mereka digiring oleh Wali Nagari, para
pemuda-pemudi, dan beberapa ormas berjalan menuju kampung. Setibanya di kampung, mereka
disambut oleh para Datuak, Alim-Ulama, Cadiak pandai, dan bundo kanduang, serta para
keluarga-keluarga yang telah menanti dari rumah. Para perantau akan disuguhi dengan beberapa
tarian minang dan musik daerah. Setelah acara penyambutan selesai, para perantau akan pergi ke
rumah orang tuanya masing-masing dan disuguhi dengan salam yang hangat oleh keluarganya.
Disinalah rasa sedih dan bahagia tercampur aduk dalam satu waktu karena orang yang ditunggu
telah sampai di rumah asal tempatnya dan para perantau yang kembali ke kediamanya yang lama.
Kemudian di malam harinya, mereka berbondong-bondong ke masjid untuk melakukan sholat
maghrib, isya dan tarawih berjamaah serta takbiran yang akan menandakan datanya hari lebaran.
Sepulang dari masjid, para perantau diberi acara berupa orgen sebagai penyambutan hangat dari
pemuda sekitar bertujuan menjalin silaturahmi yang telah lama hilang karena jauhnya jarak dan
waktu. Diberikan jamuan makanan dan minuman daerah, seperti katupek pitalah (ketupat pitalah),
lontong pical, kopi kawa, dan teh baderai. Sepanjang malam bergumamlah takbir serta terjalin
kembali hubungan baik antara orang kampung dan perantau. Itulah tujuan dari acara pulangbasamo, yaitu membentuk dan mempererat kembali silaturahmi yang hilang dikarenakan jauhnya
jarak. Besoknya, para perantau kembali digiring ke masjid untuk melaksanakan shalat Ied secara
berjamaah, mendengarkan khutbah, dan bertamu ke rumah sanak famili di sekitar kampung.
Beginilah keindahan dari acara pulang basamo, “mampararek nan lungga, mampadakek nan
jauh”, mempererat yang longgar, memperdekat yang jauh. Begitulah slogan dari pulang basamo.
Namun, sebagian perantau ada yang pulang basamo sebelum ramadan, dikarenakan ingin
sahur dan berbuka bersama keluarga besar tercinta. Terkadang momen inilah para perantau merasa
sedih karena ada yang tidak bisa pulang dikarenakan tuntutan pekerjaan, sehingga melewati puasa
dan hari raya Idul Fitri bersama keluarga. Dihantam dengan beberapa pekerjaan dan tumpukan
lembaran dokumen yang harus lembur di kantor serta mencari pundi-pundi uang, sehingga momen
ingin pulang basamo itu sirna. Di tahun ini, banyak terjadi musibah yang dialami, seperti harus
melaksanakan protol kesehatan serta menjaga jarak yang mengakibatkan tertundanya acara pulang
basamo demi menjaga Kesehatan baik orang yang di rantaumaupun orang yang di kampung. Untuk
itu, tidak adalah penyesalan bagi kita karena belum bisa melaksanakan pulang basamo secara
menyuluruh, demi menjaga Kesehatan bersama untuk keluarga yang dicinta. Mudah-mudahan
setelah melaui pandemi ini bisa melakukan aktivitas secara normal sehingga bisa melakukan dan
menggakkan acara pulang basamo yang membuat kerinduan di hati serta menjalin kembali
silaturahmi yang hilang. Bersabar adalah kuncinya pada saat sekarang ini. Pulang basamo
membuat kita erat dan menambal kerinduan yang ada di hati.
0 Comments