Ticker

6/recent/ticker-posts

Tayangan Berita Bencana Memberi Dampak Negatif bagi Anak, Benarkah?

 

Penulis 

Tryanda Millenia Westy, Diva Fauziah, Fariza N I Lubis, dan Bunga Derima Putri

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi Universitas Andalas Padang

Indonesia merupakan negara yang memiliki dua musim yaitu musim panas dan musim hujan yang disertai dengan perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim (BNPB). Kondisi ini yang menjadi faktor penyebab Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi bencana yang cukup besar. Menurut Presiden Indonesia Joko Widodo, Indonesia masuk kedalam 35 negara paling beresiko mengalami bencana (Merdeka.com, 2021). Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia yaitu, bencana gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, cuaca ekstrim dan banjir bandang. Selain bencana alam, di Indonesia juga rawan mengalami bencana sosial seperti konflik di Wamena dan Buton (Detik.com, 2019). 

Bencana yang terjadi kerap kali diberitakan melalui televisi, media cetak dan juga di media sosial. Pemberitaan media berperan penting dalam menyampaikan informasi bencana yang terjadi sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya dan dampak bencana. Dengan adanya pemberitaan terhadap bencana dapat meningkatkan kesadaran masyarakat agar meminimalisir dampak yang disebabkan oleh bencana (Istiqomah, 2019). Tetapi tidak semua pemberitaan terkait bencana selalu mendatangkan dampak positif dan memberitakan fakta. Tak jarang juga ditemukan media yang melaporkan bencana secara berlebihan dengan mengeksploitasi penderitaan korban bencana hanya untuk kepentingan liputan tanpa mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan. Di era yang sudah berkembang ini, akses informasi bencana tidak hanya diakses oleh orang dewasa tetapi juga mudah diakses oleh anak-anak. Sehingga hal ini dikhawatirkan memberikan dampak negatif pada anak yang belum mampu mengelola informasi dengan baik. Liputan media terkait bencana dapat membuat anak dan remaja sedih secara emosional. Mereka mungkin akan merasakan takut, khawatir bahkan merasa cemas hingga sulit tidur ketika melihat pemberitaan terkait bencana (Houston, Rosenholtz & Weisbrod, 2011). Hal ini dipicu oleh anak yang belum memiliki rasa spasial dan pemahaman akan suatu peristiwa yang akhirnya menyebabkan munculnya perasaan tidak aman, keputusasaan, ketidakberdayaan yang dikesternalisasikan dalam perilaku bermasalah. 

Respon stress yang tinggi dan tekanan maupun kekhawatiran serta fungsi yang lebih buruk dari waktu ke waktu ketika individu mengonsumsi media termasuk media pemberitaan. Gejala stress akut paling tinggi lebih banyak dialami individu yang melaporkan yang disebabkan karena media daripada orang yang berada di lokasi bencana. Paparan media dapat memberikan umpan balik dari keterpaparan dan kesulitan dimana orang dengan keprihatinan terbesar mungkin mencari lebih banyak liputan media tentang suatu peristiwa yang selanutnya dapat menyusahkan dirinya sendiri karena khawatir dan merasa cemas. Meskipun orang mengandalkan media termasuk media televisi untuk menilai risiko dan rekomendasi strategi untuk melindungi diri tetapi kecemasa dapat meningkat dalam menghadapi bencana yang tidak pasti dan justru dapat tidak terkendali karena kecemasan terhadap informasi tidak dikomunikasikan secara tidak efektif (Garfin, Silver, & Holman 2020). Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi pada anak.

Anak-anak rentan mengalami dampak psikologis setelah melihat berita bencana karena di rentang usia 2-7 tahun anak belum mampu berpikir secara sistematis, konsisten dan logis sehingga ia hanya menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat atau didengarnya (Marinda, 2020). Ketika anak melihat informasi terkait bencana yang terjadi, ia hanya memahami bahwa bencana itu adalah hal yang menyeramkan dan ia takut hal tersebut terjadi pada dirinya tanpa memahami dampak bencana, penyebabnya dan bagaimana mengatasinya sehingga anak mudah merasa takut dan cemas setelah menonton berita terkait bencana terutama bencana yang pemberitaannya cenderung tragis. Apabila anak melihat video yang menggambarkan cedera, kematian dan kehancuran maka ini akan semakin menciptakan rasa takut dan khawatir bagi anak (Houston, Rosenholtz & Weisbrod, 2011). Selain itu menurut (Van Der Molen, Valkenburg, & Peeters, 2002) menemukan bahwa seiring bertambahnya usia anak cenderung merasa ketakutan terhadap berita tentang kekerasan sementara ketakutan terhadap berita mengenai bencana alam menjadi berkurang. Hal tersebut yang menyebabkan anak di bawah usia enam tahun lebih takut dengan bencana alam

Jumlah paparan yang berlebihan dalam melihat peristiwa traumatis pada berita bencana dapat menciptakan efek yang mendalam pada rasa aman anak sehingga meninggalkan perasaan rentan yang kuat terhadap hal-hal yang menyebabkan perasaan emosional dan trauma psikologis meskipun paparan pertistiwa tersebut hanya diakses melalui media bukan secara langsung (Leiner.dkk, 2016). Pada anak-anak yang berusia dibawah enam tahun mengalami kesulitan dalam membedakan peristiwa yang benar-benar terjadi dengan gambar tayangan televisi (Joshi, Parr, & Efron, 2008). Ketika ia menyaksikan liputan bencana melalui televisi, ia mengira bahwa peristiwa tersebut terjadi disekitarnya sehingga anak sering merasa ketakutan. Tidak hanya itu, anak usia dibawah enam tahun juga memiliki kekeliruan dalam memahami terjadinya suatu peristiwa, ketika suatu peristiwa terjadi ia merasa bahwa itu merupakan kesalahannya.

Selanjutnya perkembangan kognitif dalam ketakutan yang disebabkan oleh pemberitaan televisi yaitu adanya peningkatan kemampuan untuk mengambil peran anak-anak dan kemampuan yang berkembang untuk anak mengekspresikan empati dengan kesenangan dan kesulitan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mulai sekitar usia sembilan tahun, anak semakin berempati dengan kondisi orang lain dan masalah-masalah umum seperti musibah. Kepedulian yang berkembang  terhadap individu yang kurang beruntung daripada dirinya sendiri dapat mendorong anak usia-usia sekolah untuk mengungkapkan lebih banyak ketakutan akan berita tentang musibah. Selain itu anak yang lebih ebsar cenderung lebih membayangkan diri mereka di dalam situasi yang tidak menguntungkan seperti yang tergambar di media atau untuk mengungkapkan kekhawatiran bahwa peristiwa yang sama akan terjadi pada mereka (Van Der Molen, Valkenburg, & Peeters, 2002).

Anak belum mampu memahami bahwa kematian dan bencana itu merupakan hal yang tidak bisa dikendalikan sehingga ia sering merasa bersalah apabila ada hal yang menyedihkan terjadi disekitarnya. Dengan penuhnya rasa bersalah ini, anak menunjukkan kesulitan tidur, mengalami mimpi buruk dan rasa takut untuk jauh dari orang tuanya. Oleh karena itu semakin banyak anak melihat liputan bencana maka anak akan semakin merasa takut dan kesal sehingga diperlukannya bimbingan orang tua untuk memberikan pemahaman kepada anak mengenai sesuatu yang ia tonton terutama untuk hal sensitif terkait bencana. 

Telah terdapat beberapa penelitian yang berfokus pada konsekuensi psikologis dari liputan berita bencana maupun kejadian traumatis lainnya pada anak-anak. Terdapat penelitian yang menunjukkan adanya kolerasi positif antar terpaan berita yang ditonton oleh anak dengan gejala PTSD (Joshi dkk., 2008). PTSD adalah salah satu masalah kesehatan mental yang paling umum yang mungkin berkembang di antara individu yang secara langsung mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengancam jiwa (Hubbard, 2021). terlepas dari kedekatan fisik mereka. Sebelumnya ditemukan menyebabkan gejala stres pasca-trauma (PTS). Sebuah studi tindak lanjut baru yang dipimpin oleh Psikolog Anthony Dick dan Jonathan Comer menemukan bahwa terdapat perbedaan dalam kemampuan respon amigdala orang dewasa dengan anak-anak dalam menfeteksi ancaman berita. Anak-anak cenderung untuk melihat berita dan langsung memprediksi bahwa hal itu akan terjadi sehingga hal tersebut dapat menimbulkan PTSD pada anak meskipun anak tidak mengalami paparan peristiwa secara langsung (Castro, 2021) , banyak anak menekan perasaan ini, dengan harapan perasaan itu akan hilang atau karena mereka merasa tidak mampu menanganinya saat itu. Emosi yang tidak diungkapkan dapat muncul dengan cara yang tidak terduga atau tidak langsung.

 Tayangan berita juga cenderung untuk menceritakan secara berlebihan dan intesif dan hal itu juga dapat meningkatkan kecemasan pada anak. Liputan yang intensif dan mendetail tentang acara tersebut dapat meningkatkan tingkat kecemasan anak-anak. Tayangan berita yang menampilan foto-foto traumatis secara berlebihan akan menyebabkan anak menghadapai gambar-gambar yang sulit untuk mereka pahami serta atasi, dan jika anak menonton tanpa wawasan orang tua akan memberikan dampak negatif (Otto dkk., 2007). Anak- anak terutama pada usia < 6 tahun akan cenderung untuk mempercayai bahwa gambar yang ditampilkan pada liputan berita dapat terjadi di dekat rumah mereka. Liputan media yang berlebihan atau mengganggu ini juga  dapat menghambat kemampuan anak dan komunitas sekolah mencakup perasaan tidak aman di sekolah, peningkatan ketidakhadiran di sekolah, dan peningkatan jumlah ancaman yang dilakukan terhadap sekolah (Haravouri dkk., 2011). 

Terdapat kolerasi terhadap paparan gambar grafis pada psikologis anak (Holman dkk., 2020) Memang, melihat gambar yang berpotensi traumatis yang mengganggu (misalnya, korban tewas atau terluka akibat kecelakaan mobil) dapat menghasilkan kilas balik melalui aktivasi area otak yang terkait dengan ketakutan, citra visual, dan pemrosesan ancaman (Bourne, Mackay, & Holmes dalam Holman dkk., 2020). Terdapat penelitian yang juga membukti bahwa anak yang mengakses berita dan gambar grafis berbasis media mengenai suatu kejadian traumatis lebih sering melaporkan gejala PTSD dibandingkan anak yang terpapar langsung pada kejadian tersebut. 

Berita yang didapatkan secara bebas melalui media sosial maupun televisi dapat diakses anak meskupun tidak berada disamping orang tuanya. Hal tersebut membuat anak untuk mengomentari situasi yang tidak sepenuhnya mereka pahami dapat menempatkan mereka pada posisi di mana mereka merasa terdorong untuk melakukan pengamatan atau pernyataan yang tidak akurat (Joshi dkk., 2008). Anak sering fokus pada hal-hal yang paling menakutkan dari sebuah liputan berita dan hal ini juga membawa kecemasan dan kekhawatiran untuk anak. Dikarenakan pengamatan yang kurang akurat tersebut dapat menyebabkan anak merasa bahwa mereka tidak aman dan bahwa sesuatu yang buruk mungkin terjadi pada mereka atau keluarga mereka. Mereka juga dapat menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan peristiwa, yang dapat mempengaruhi tidur mereka. Anak-anak sangat rentan dalam memahami sudut pandang dan akan menciptakan rasa bersalah. (Joshi dkk., 2008).

Selanjutnya, berita yang disiarkan di media termasuk televisi, sosial media, dan media cetak lainnya memungkinkan untuk dibaca kapapun dan diakses berulang kali oleh anak. Hal ini dapat membawa ketakutan yang terus menurus setiap kali anak menonton siaran ulang mengenai kejadian traumatis dan anak akan berpontensi untuk mengalami kembali trauma. Trauma ini nantikan akan dapat mempengaruhi perkembangan emosional dan sosial anak. Hal tersebut akan mengurangi kemampuan anak untuk terlibat dalam kehidupan sehari-hari, untuk fokus di sekolah, dan membangun hubungan yang bermakna dengan teman sebayanya. Sehingga Berikut ini beberapa dampak yang didapatkan oleh anak saat menonton siaran berita secara berulang menurut (Joshi dkk., 2008)

1) Anak akan merasa cemas atau ketakutan yang intens

2) Takut untuk berada di tempat yang asing

3) Anak memiliki reaksi kaget yang berlebihan kita melihat peristiwa yang serupa dengan tayangan yang ditontonnya

4) Anak mengalami kilas balik pada gambar maupun ingatan mengenai kejadian yang menganggu emosi anak

5) Anak cenderung mengalami mimpi buruk

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak yang terpapar peristiwa traumatis pada berita terkait bencana dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan ketakutan, kecemasan, dan gangguan emosional hingga trauma psikologis, serta menyebabkan dampak lainnya.  Dalam konteks keluarga, orang tua sangat berperan penting untuk mengambil peran sebagai mediator untuk anak mengonsumsi suatu hal termasuk tontonan berita, memediasi konten berita dengan berbicara kepada anak terkait berita tersebut mendiskusikan peristiwa yang diberitakan (Silveira, 2019). Dampak negatif dari paparan berita peristiwa traumatis bencana pada anak perlu untuk diatasi agar anak tidak mengalami gejala yang berkepanjangan dan kronis. Bahkan sebelum anak merasakan dampak-dampak yang tidak diinginkan tersebut, mereka perlu mendapatkan penanganan ketika berhadapan dengan berbagai peristiwa traumatis dalam berita bencana sebagai tindak pencegahan. Untuk mencegah dan mengatasi berbagai dampak negatif akibat paparan berita tersebut dibutuhkan peran orang dewasa, terutama orang tua dan pihak yang bertanggung jawab atas berita atau informasi yang disampaikan.

Berikut pedoman untuk orang tua atau pengasuh dalam meminimalkan efek negatif dari liputan media bagi anak menurut Joshi, Parr, dan Efron (2008):

a. Pantau dan batasi jumlah waktu anak dalam menonton acara berita.

b. Menonton berita bersama anak.

c. Memastikan memiliki waktu yang cukup dan tempat yang tenang untuk berbicara dengan anak dalam mengantisipasi dampak negatif berita yang menyusahkan atau mengganggu anak di masa yang akan datang.

d. Menghindari anak dari berita grafis yang dapat menyebabkan trauma lebih lanjut dan/ atau desensitisasi terhadap aspek kekerasan dan konsekuensinya.

e. Tanyakan kepada anak apa yang telah dia dengar dan pertanyaan apa yang mungkin dia miliki. Tanyakan kepada anak bagaimana perasaan mereka.

f. Berikan jaminan kepada keselamatan anak melalui kalimat sederhana yang menekankan bahwa orang tua mereka akan selalu menjaganya agar tetap tetap aman.

g. Mengorbankan keinginan sendiri untuk mengikuti setiap detail kecil dari berita dengan mematikan televisi agar kesejahteraan anak tetap terjaga.

h. Mengidentifikasi tanda-tanda dari berita yang dapat memicu ketakutan atau kecemasan seperti sulit tidur, ketakutan, mengompol, dan menangis.

i. Mendidik anak tentang liputan media dan berbagai sumber yang tersedia.

j. Mengomunikasikan hal yang dapat membantu anak. 

k. Menemukan cara untuk terhubung dengan masyarakat sekitar yang dapat membantu dengan melibatkan kegiatan keluarga, sekolah, atau masyarakat.

Sedangkan untuk sosialis, politisi, tenaga kesehatan anak, dan jurnalis hal-hal berikut yang dapat dilakukan untuk anak:

a. Dokter, jurnalis, dan politisi harus menyadari bahwa liputan media tentang kekerasan, baik yang bersumber dari lokal, nasional, maupun internasional, dapat berdampak negatif pada anak.

b. Wartawan harus menyediakan peringatan pada konten grafis sebelum gambar tersebut ditayangkan. Peringatan harus diberikan dengan lembut, jujur, dan tidak menyertakan penjelasan yang lebih sensasional.

c. Anak-anak harus diberikan waktu yang cukup untuk beraktivitas di luar ruangan.

d. Batasi promosi berita dengan konten grafis.

e. Liputan media harus memaparkan cara-cara yang tepat untuk membantu mereka yang membutuhkan serta bagaimana cara-cara untuk memberikan dukungan bagi anak-anak dan keluarga yang mengalami peristiwa traumatis dari bencana.

Berikutnya menurut Raviv (2020, dalam Meutia, 2020) terdapat tiga strategi penanggulangan yang penting untuk menjaga dan meningkatkan ketahanan anak ketika menghadapi situasi yang sangat menekan seperti paparan peristiwa traumatis dalam berita bencana. Strategi pertama adalah memastikan keadaan fisik dan emosional anak agar tetap aman. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memerhatikan dan memastikan kebutuhan fisik anak sudah terpenuhi, serta menjaga keamanan emosional anak dengan memberikan informasi yang valid dalam kalimat yang tepat sesuai untuk usia anak-anak. Kemudian, penting juga untuk membatasi paparan pemberitaan yang diliput oleh berbagai media. Selain itu, sediakan fasilitas yang mendukung bagi anak untuk menjalankan rutinitas yang baik bagi kondisi fisik dan emosionalnya.

Selanjutnya, strategi penganggulangan yang kedua adalah menciptakan dan menjaga hubungan yang sehat. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk dan memperkuat hubungan dengan orang dewasa di sekitar anak, seperti orang tua, pengasuh, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman sebaya. Selain memperoleh dukungan dari orang dewasa di sekitar anak, anak juga dapat diberikan koneksi dengan komunitas yang lebih luas. Contohnya komunitas atau sekolah yang berbasis agama yang dipercaya mampu membantu anak dalam meningkatkan ketahanannya.

Strategi penanggulangan yang terkahir adalah mengajarkan keterampilan yang mendukung anak dalam menangani dan mengendalikan emosi. Terkait hal ini, yang dapat dilakukan adalah dengan membantu anak belajar untuk menampilkan emosi dalam ungkapan dengan tepat, beraktivitas positif, strategi relaksasi seperti penapasan dalam, dan menemukan dukungan sosial, serta cara untuk menyelesaikan masalahnya. Dengan melaksanakan tiga strategi penanggulangan di atas, anak-anak dapat terbantu dalam melewati masa yang menyulitkan dan penuh tekanan dengan baik, serta membantu anak agar tetap mampu tumbuh dan berkembang dengan maksimal (Meutia, 2020).  

Pada sudut pandang literasi media, dengan adanya pemberitaan tersebut dapat membuat suatu rekomendasi strategi-strategi untuk membantu anak mengembangkan keterampilan yang dari menafsirkan berita lalu mulai mengembangkan sikap kritis dan mendapat suatu pencerahan dari melihat situasi yang terjadi di dunia. Sehingga dengan literasi berita harus memiliki tujuan untuk membantu anak mengatasi emosi, termasuk kecemasan dan ketakutan, membekali anak dengan keterampilan kognitif untuk menilai kondisi yang terjadi, dan membantu orang tua untuk selektif terhadap konten media. Sehingga dapat mempersiapkan generasi baru untuk adanya perubahan besar dalam mengonsumsi suatu informasi yang dikomunikasikan dan disampaikan melalui pemberitaan dan memungkinkan anak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam komunitas. 

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa orang tua merupakan agen aktif dari proses tontonan anak termasuk berita, sehingga orang tua perlu memediasi kepada anak dan mencoba untuk menginformasikan serta melatih diri untuk dapat mendukung anak dengan cara yang paling produktif terutama pada saat kondisi yang diberitakan itu terjadi. Setelah orang tua menyadari bahwa perlunya mengontrol dalam tontonan anak terkait bencana lalu mengajak untuk berdiskusi terkait berita tersebut memberikan anak edukasi terkait manfaat dari pengalaman orang lain. Di era digital ini anak sangat mudah untuk mengakses konten-konten secara luas sehingga orang dewasa perlu mengetahui jenis konten berita yang baik diikuti anak melalui internet maupun televisi untuk memastikan bahwa perannya sebagai orang tua dapat membantu anak untuk mengembangkan keterampilan literasi berita mereka. Strategi yang saat ini seringkali digunakan yaitu dengan penggunaan bersama dan diwujudkan dengan komunikasi aktif sebagai penerapan aturan untuk melarang dan tidak terlalu mengontrol yang selanjutnya dapat membantu anak mengatasi emosi, kecemasan dan ketakutan, dan membekali anak dengan keterampilan kognitif untuk menilai hal yang terjadi di sekitarnya.



Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS