Ticker

6/recent/ticker-posts

Resiko dan Kerentanan Tim Rescue dan Para Medis



Penulis Nola Chentya, salah satu mahasiswa Unand Psikologi
Sebagai salah satu negara kepulauan, Indonesia termasuk kedalam kategori wilayah pacific ring of fire, yaitu negara dengan daerah gunung berapi pasifik yang memiliki bentuk melengkung dari utara pulau Sumatera – Jawa- Nusa Tenggara hingga berakhir ke Sulawesi Utara (Oktarina, 2008). Selain itu, negara Indonesia juga terletak di antara persimpangan tiga sesar bumi krusial yaitu sesar Pasifik, sesar Indo-Australia, dan sesar Eurasia, hal ini menyebabkan negara Indonesia rawan terhadap berbagai bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, tanah longsor, angin puting beliung, serta bencana alam lainnya (Kusumastuti, 2014).  Hal ini juga sesuai dengan  data yang diperoleh dari United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) menyatakan bahwa, baik itu secara geologis maupun klimatologis negara indonesia merupakan negara yang mempunyai tingkat potensi resiko bencana alam yang tinggi, terutama tingkat potensi bencana tsunami, yang berdasarkan survei UNISDR membuat Indonesia menempati peringkat pertama dari 265 negara di dunia (Rahmaningtyas, 2021). Dengan banyaknya bencana yang terjadi di Indonesia, mengakibatkan Indonesia didaulat sebagai negara “supermarketnya” bencana (Hidayati, 2008).

Bencana sendiri memiliki definisi menurut Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dalam WHO-ICN (2009) yaitu sebagai sebuah peristiwa yang tiba-tiba serius mengganggu fungsi dari suatu komunitas atau masyarakat dan menyebabkan manusia, material, dan kerugian ekonomi atau lingkungan yang mana melebihi dari kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri. Definisi lain yaitu bencana merupakan suatu kejadian luar biasa yang disebabkan oleh faktor alam maupun non alam atau terjadi sekaligus oleh keduanya dan biasanya terjadi diluar kemampuan manusia sehingga sulit untuk dikendalikan dan dapat menyebabkan kerugian besar bagi manusia serta lingkungannya (Sinaga, 2015). Dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2007 bencana didefinisikan sebagai serangkaian peristiwa yang dapat mengganggu dan mengancam kehidupan serta penghidupan manusia yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia yang mengakibatkan berbagai dampak seperti timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan berbagai dampak psikologis lainnya (Rahmaningtyas, 2021). Sebagai negara supermarketnya bencana, di Indonesia sendiri bencana yang ditimbulkan oleh faktor alam mengalami peningkatan di setiap tahunnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terdapat 1.300 kasus bencana alam yang terjadi di sepanjang tahun 2021, dihitung sejak tanggal 1 Januari hingga 21 Mei 2021, dimana bencana yang paling banyak ditemukan adalah banjir, puting beliung , serta tanah longsor yang terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia, terutama provinsi Jawa Barat dengan 343 kejadian, kemudian disusul oleh wilayah Jawa Tengah dengan 164 kejadian yang ditimbulkan akibat bencana alam. Hal tersebut tentunya mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2020 dengan 1.296 kasus bencana alam yang terjadi.

Bencana biasanya terjadi secara silih berganti atau bahkan jarang terjadi, berbeda dengan beberapa peristiwa lain yang umum terjadi di tengah masyarakat seperti peristiwa kriminal dan kecelakaan kendaraan.  Namun  meskipun bencana terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi, dampak yang ditimbulkan oleh bencana tersebut sangatlah kompleks. Jika bencana tersebut disebabkan oleh faktor non alam atau perbuatan ulah manusia, dampak yang ditimbulkannya masih dapat diminimalisir, namun jika bencana yang terjadi disebabkan oleh faktor alam (natural disaster) maka akan berdampak pada kerugian di berbagai aspek material maupun non material yang cenderung sulit diminimalisir. Selain itu, reaksi dari dampak yang ditimbulkan bencana tersebut biasanya berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Perila (2002) menyatakan bahwa perbedaan reaksi maupun respon yang diberikan oleh individu terhadap bencana ternyata berkaitan dengan perbedaan keterpaparan yang dirasakan oleh individu akan bencana tersebut, yang nantinya menghasilkan kerentanan yang berbeda pula. Baik itu bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh manusia, dapat membahayakan sumber daya dan membebani penanggulangan bencana, dalam situasi seperti ini kebanyakan orang akan bergantung pada first responden yaitu seperti petugas kepolisian dan pemadam kebakaran.

Tentunya pelaksanaan kegiatan tanggap darurat bencana merupakan suatu kegiatan yang sangat krusial ketika bencana terjadi. Waktu dalam merespon bencana sama dengan waktu penyelamatan ketika bencana terjadi (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, 2007). Yang berarti bahwa ketika kita lebih cepat dan tepat dalam merespon bencana, maka akan lebih banyak korban yang terselamatkan, begitu pula sebaliknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan tanggap darurat bencana ialah berpacu dengan waktu dalam memberikan ketepatan pertolongan saat terjadinya bencana. Pelaksanaan tanggap darurat bencana ini dilakukan oleh suatu tim tertentu yang dikenal dengan tim Search and Rescue atau tim SAR seperti yang sudah kita kenal sebelumnya. Tim SAR ini dituntut untuk memiliki kemampuan dalam melakukan pertolongan dan pengevakuasian pada korban bencana sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 36 Tahun 2006. 

Menjalankan tugas sebagai anggota tim SAR memungkinkan tim tersebut untuk menghadapi risiko-risiko yang mengancam keselamatan dan kesehatannya, yang dipengaruhi oleh beberapa hal seperti beratnya medan lokasi bencana, kondisi cuaca, dan kelelahan menjadi faktor yang nantinya dapat mengancam keselamatan dan kesehatan anggota tim SAR tersebut. Relawan, tim rescue, dan juga paramedis memiliki risiko tinggi untuk mengalami cedera dan terpapar dengan berbagai hazard baik yang berupa material maupun biologis, juga mengalami kemungkinan untuk tertular penyakit maupun stres psikologis. Seperti yang dijelaskan pada pernyataan sebelumnya bahwa risiko dan kerentanan sendiri tidak menutup kemungkinan untuk dialami juga oleh tim rescue dan juga paramedis yang bertugas setelah bencana terjadi. Kerentanan sendiri dijelaskan sebagai sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan yang dipengaruhi oleh faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana, yang mana dalam keadaan ini menyebabkan ketidakmampuan pada masyarakat dalam menghadapi bahaya atau ancaman tersebut. Sebagai first responden dalam menghadapi bencana tim rescue ini layak mendapat pertimbangan yang unik karena profesi tersebut sering diminta untuk menanggapi bencana dengan latar belakang pekerjaan yang secara inheren menempatkan mereka pada resiko yang lebih besar untuk terpapar trauma, hal ini dapat dilihat pada saat dalam mengambil tindakan dan membantu mereka yang membutuhkan. kadang mereka menerima atau membantu begitu saja tanpa banyak pertimbangan yang ditimbulkan melalui pengorbanan yang dilakukan, karena bencana alam ini membuat polisi dan pemadam kebakaran harus merespon bencana tersebut di tengah kekhawatiran terhadap keluarga dan rumah mereka sendiri. Selain itu responden pertama ini harus bekerja berjam-jam dan mengalami kurang tidur. Sebelum menelusuri lebih jauh apa saja yang dapat terjadi pada tim rescue atau paramedis yang memiliki kerentanan dan risiko yang tinggi, sebaiknya kita terlebih dahulu mengenal apa saja macam-macam kerentanan yang dapat memengaruhi tim rescue dan paramedis yang juga sebagai manusia biasa yang juga dapat mengalami gangguan tadi. Yang pertama ada kerentanan fisik, yang berupa daya tahannya dalam menghadapi bahaya tertentu. Selanjutnya ada kerentanan ekonomi, kerentanan sosial, yang mana kondisi sosial masyarakat disana turut berperan dalam hal ini. Terutama bagi salah satu atau anggota tim rescue yang memiliki kerentanan yang tinggi mungkin bisa menguranginya dengan mendapatkan dukungan sosial dari sesama anggota lain dari tim rescue atau mungkin dengan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dapat sama-sama menanggulangi atau mengurangi kerentanan akan sebuah gangguan yang dialami pasca-bencana. Lalu yang terakhir ada kerentanan lingkungan yang juga mempengaruhi kerentanan. Lalu selanjutnya kita juga harus mengetahui apa yang disebut dengan risiko. Di dalam ISDR (2004) menyebutkan bahwa risiko merupakan probabilitas atau kemungkinan timbulnya konsekuensi yang merusak atau kerugian yang sudah diperkirakan yang mana hal ini diakibatkan karena adanya interaksi antara bahaya yang ditimbulkan alam atau diakibatkan manusia dengan kondisi yang rentan. 

Paparan akan bencana yang berulang atau terus-menerus serta dalam durasi waktu yang cukup panjang tersebut, yang dirasakan menempatkan petugas kepolisian dan pemadam kebakaran pada resiko tekanan psikologis yang tinggi terutama gejala PTSD. Gangguan post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan suatu sindrom yang muncul setelah terjadinya stress fisik maupun emosi, sindrom ini berkaitan dengan kecemasan, labilitas, autonomik, serta kerentanan emosional yang dapat melampaui batas ketahanan orang biasa (Nawangsih, 2014). Ardimen (2006) juga mendefinisikan gangguan post traumatic stress disorder (PTSD) sebagai suatu trauma psikis yang terjadi jangka panjang akibat dari kejutan emosional. Gangguan PTSD ini biasanya dicirikan dengan terdapatnya gangguan pada ingatan yang berkaitan dengan peristiwa traumatik, serta perilaku menghindar dari rangsangan terkait trauma masa lalu (APA dalam Tentama, 2014). Gangguan PTSD ini biasanya terjadi pada saat seseorang mengalami peristiwa yang melampaui batas sanggupnya serta dapat mengancam mekanisme pertahanan dirinya. Biasanya gangguan post traumatic stress disorder (PTSD) yang dialami individu tersebut tidak langsung muncul begitu saja, namun baru dapat dideteksi setelah beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah terjadinya paparan peristiwa traumatik yang menimpa individu tersebut, gangguan ini kemungkinan juga akan berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama yaitu selama berbulan-bulan, bertahun-tahun bahkan beberapa dekade ke depan (Durand & Barlow, 2006). PTSD pada tim rescue yaitu petugas kepolisian dan pemadam kebakaran, diperkirakan  sekitar 7 - 18.2 % diantara personal layanan darurat  dan telah dilaporkan setinggi 26% diantara petugas polisi yang menyaksikan korban traumatis orang lain. Perin et. al (dalam Brooks et al., 2015) menyatakan bahwa risiko PTSD akan meningkat dengan lamanya waktu yang dihabiskan di lokasi bencana, dalam hal ini tim rescue dalam menjalani profesinya pada tempat bencana dapat menghabiskan durasi waktu yang lama. Salah satu faktor risiko PTSD ialah pekerjaan yang meningkatkan risiko terpaparnya kejadian traumatis, misalnya seperti personel militer, tim SAR, dan pertolongan pertama darurat. Bisa kita lihat dari pernyataan sebelumnya bahwa tim SAR atau tim rescue dan paramedis sendiri memiliki faktor risiko yang juga tinggi dari yang lainnya untuk mengalami gangguan psikologis pasca-bencana, terutama PTSD. 

Selain istilah PTSD, terdapat istilah STSD. Yang mana seperti halnya PTSD, STSD atau Secondary Traumatic Stress Disorder ini sendiri sangat rentan dialami oleh relawan, tim rescue, dan paramedis sebagai individu yang memiliki hubungan interaksi dengan korban, yang dimulai dengan datangnya stresor dan tidak memiliki respon yang baik. STSD juga didefinisikan sebagai stres sekunder yang menjadi konsekuensi dalam menangani masalah trauma emosional setiap hari. STSD dapat terjadi ketika paparan dengan korban terlalu intens, strategi koping rescuer yang tidak tepat, juga akibat rescuer yang tidak dapat menjalankan strategi penyelamatan mereka sendiri. Kecemasan seseorang berkaitan dengan gangguan ini pun akan semakin meningkat seiring dengan tidak tepatnya strategi individu tersebut, sehingga menjadi maladaptif. Sudah terdapat berbagai penelitian terhadap tim rescue yang menunjukkan tingkat STSD yang dialami oleh tim rescue. Pada penelitian yang dilakukan di Chiniot terhadap tim rescue menunjukkan tingkat STSD yang sedang. Seperti gangguan-gangguan psikologis lainnya, terdapat juga gejala-gejala yang menunjukkan bahwa seseorang mengalami STSD, yaitu gejala yang meliputi intrusion, avoidance, dan arousal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Khaerulrizal (2016) pada tim SAR BASARNAS Makassar menunjukkan bahwa lebih dari setengah respondennya mengalami gejala intrusion sebanyak 72%, sebagian besar lagi mengalami gejala avoidance sebanyak 80% , dan mayoritas mengalami gejala arousal sebanyak 96%. Sama juga seperti halnya PTSD, kejadian-kejadian yang meliputi STSD ini dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko, seperti tingkat keparahan paparan, frekuensi paparan, riwayat trauma individu, dan juga dukungan sosial (Hensel, Ruiz, Finney, & Dewa, 2016). 

Berdasarkan pemaparan sebelumnya dijelaskan bahwa banyaknya peneliti lebih berfokus kepada kerentanan dan resiko yang akan dialami oleh tim rescue disaat terjadinya bencana alam. Namun pada saat ini kita juga akan melihat kerentanan dan resiko yang akan dialami oleh paramedis disaat terjadinya bencana non alam, terkhusus pada kondisi seperti sekarang ini. Bencana non-alam merupakan bencana yang disebabkan oleh peristiwa ataupun serangkaian non-alam. Dengan demikian bencana non-alam ini sangat relate dengan kondisi yang kita rasakan pada saat sekarang ini yakni, pandemi COVID-19. 

Semenjak tahun 2020 telah banyak terjadi bencana baik itu dari banjir, bencana alam contohnya angin puting beliung, tanah longsor, erupsi gunung, abrasi, kebakaran hutan dan lahan, serta gempa bumi. Pada bulan maret tahun 2020 kita semua masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kedatangan wabah virus corona yang dapat menginfeksi hampir seluruh belahan dunia. Dimana coronavirus (Covid-19) ini awalnya terdeteksi di China dan mulai beredar pada berbagai penjuru dunia, salah satunya negara Indonesia tepatnya pada bulan Maret 2020. Koresponden kesehatan dan sains BBC yakni, Michelle Roberts dan James Callager dapat mengungkapkan bahwa ular, kelelawar, dan ayam merupakan dugaan yang dianggap dapat menimbulkan bahwa virus ini menyebar dari hewan dan kemudian menyebar kepada manusia (Syahrial, 2020).

Jumlah kasus terus bertambah setiap hari, sampai petugas medis pun menjadi dampak untuk terkena infeksi virus corona, yang kemudian dapat dikatakan bahwa kasus Covid-19 ini dikonfirmasi bahwa transmisi pneumonia ini dapat menular dari individu satu kepada individu lainnya. Secara umum, kasus positif Covid-19 ini juga memiliki capaian sekitar 2.601.774 kasus dengan tingkat kematian yang disebabkan oleh Covid-19 ini sekitar 183.803 jiwa, sementara itu pasien-pasien Covid-19 berhasil sembuh yang tercatat sekitar 674.413 jiwa. Oleh karena itu, untuk Negara Indonesia sendiri yang terhitung pada tanggal 20 April 2020, total kasus positif Covid-19 telah mencapai 6.760 jiwa (Syahrial, 2020).

Pandemi covid-19 saat ini masih berlanjut di Indonesia menimbulkan kesulitan-kesulitan baik terhadap individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek. Berdasarkan data dari Our World in Data (2021) bulan Oktober 2021, Indonesia telah mengalami 4,23 juta kasus positif, dengan angka kematian mencapai 143 ribu. Sebuah studi tentang status psikologis masyarakat umum selama pandemi COVID-19 menemukan tingginya faktor risiko selama pandemi dan tingginya prevalensi dari gejala psikologis. Pandemi COVID-19 merupakan ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kesehatan mental di negara-negara berpenghasilan tinggi, menengah, dan rendah. (Xiong et al, 2020).

Dampak atau ancaman besar terlihat pada barisan garda depan dalam perlawanan pandemi, yaitu tenaga kesehatan. Kompas.com (2021) memberitakan sebanyak 1.967 tenaga kesehatan di Indonesia meninggal dunia akibat Covid-19. Jumlah tersebut didata sejak awal pandemi pada Maret 2020 hingga Agustus 2021. Kematian tenaga kesehatan akibat Covid-19 paling banyak terjadi pada Juli 2021 yaitu sebanyak 85 orang dan pada Januari 2021 sebanyak 161 tenaga kesehatan. Selain jumlah gugurnya tenaga kesehatan, masalah Indonesia saat ini juga pada belum meratanya distribusi vaksin di seluruh Indonesia.

Dengan demikian hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat Indonesia terkhusus kepada sesama paramedis. Ketakutan dan kecemasan yang dirasakan para medis terkhusus dalam pada peningkatan risiko terpapar, terinfeksi dan menularkan virus corona kepada keluarga mereka sendiri merupakan suatu hal yang menjadi beban tersendiri yang dirasakannya. Dengan banyaknya data yang ditemukan di lapangan bahwa para medis harus mengisolasikan dirinya dari keluarga serta terhadap orang-orang terdekat mereka walaupun mereka tidak terinfeksi virus corona. Handayani (2020) menyatakan bahwa para medis yang sedang bekerja di pusat perhatian masyarakat baik itu media dan publik, waktu kerja yang padat, dan menghadapi hal-hal yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dapat memicu timbulnya gangguan emosional.

Masalah-masalah yang terjadi pada para medis ketakutan dan kecemasan akan yang dialami oleh para medis karena seringnya kita temui bahwa para medis sering berkontak langsung dengan pasien yang terinfeksi Covid-19 tanpa menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) yang tidak sesuai dengan standar kesehatan. Keadaan inilah yang menjadi sumber ketakutan, kecemasan dan bahkan stress yang mendalam yang dirasakan para medis tersebut. rata-rata para medis mengalami beberapa masalah dan kesulitan baik fisik dan psikologis. Dalam sebuah studi mengenai petugas kesehatan garis depan di Tiongkok dapat ditemukan hasil bahwasanya 50% tenaga kesehatan mengalami depresi, 45% mengalami kecemasan dan 34% mengalami insomnia (Pinggian, 2021). Oleh Karena itu, dibutuhkan resiliensi bagi setiap individu dalam menghadapi pandemic Covid-19 yang secara garis besar menuntut individu dalam memiliki suatu kapasitas dalam diri mereka untuk mampu melalui berbagai kondisi tersebut. resiliensi yang tinggi akan cenderung membuat individu mampu beradaptasi dan menghadapi tantangan-tantangan yang dialaminya (Oktaviana, 2021).  

Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa bencana tidak hanya berisiko dan rentan terhadap korban dan penyintas saja, melainkan juga terhadap masalah mental  dari individu-individu yang datang dari tim penyelamatan, yakni tim rescue dan para medis. Adapun kerentanan yang dirasakan oleh tim rescue yakni seperti masalah fisik, kerentanan ekonomi, kerentanan sosial, dan juga kerentanan lingkungan. Sedangkan untuk para medis pada masa pandemic ini cenderung memiliki resiko tinggi untuk terinfeksi karena terpapar pasien, beban kerja yang tinggi, waktu kerja yang padat, sehingga dapat mempengaruhi psikologisnya. Untuk menghadapi masalah-masalah yang dialami oleh tim rescue dan para medis, maka diperlukan kemampuan beradaptasi dan mengatasi kesulitan pada paramedis dan tim rescue untuk tetap bekerja dengan produktif dan efisiensi.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS