Ticker

6/recent/ticker-posts

Resiliensi Perempuan Pada Saat Bencana Terjadi

Foto dokumen


Artikel ini ditulis oleh 

Khori Aniza (1810321027)

Sri Rahayu (1810321029)

Aulia Rahmatika (1810322001)

Intan Putri Juhasril (1810323009)




Setiap tempat di seluruh bagian dunia memiliki risiko bencana tersendiri, termasuk Indonesia. Bencana yang pada saat sekarang lagi dihadapi oleh seluruh manusia diberbagai belahan dunia adalah bencana covid-19. Bencana ini telah menyebabkan dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental, banyak di antara individu merasakan kesepian disertai tingkat toleransi yang rendah dikaitkan dengan stress, kecemasan dan gejala PTSD yang tinggi (Liu et al., 2020). Dampak bencana ini dirasakan oleh semua orang. Namun, perempuan, anak-anak dan orang yang lebih tua memiliki risiko lebih besar terhadap dampak  bencana dari pada yang lain. Banyak negara berkembang yang mengalami malnutrisi khususnya perempuan dan anak akibat dari bencana ini (Cutter, 2017). Sehingga, ketahanan terhadap bencana pada setiap diri individu perlu ditingkatkan dan dipertahankan.

Ketahanan pada diri individu perlu dikembangkan karna berguna untuk mengurangi resiko bencana yang akan terjadi selanjutnya (Saja et al., 2020). Ketahanan diri individu dapat dibangun dengan memperbanyak informasi seperti memberikan informasi terkait akses dan mobilitas sewaktu terjadinya bencana, membangun kepercayaan sosial saat sebelum dan sesudah terjadinya bencana, mempelajari detail-detail penting dari bencana sebelumnya. Setiap individu perlu mengembangkan ketahanan bencana khususnya perempuan. Perempuan merupakan salah satu kelompok masyarakat yang rentan dalam menghadapi bencana.

Bencana sendiri merupakan suatu gangguan keberfungsian masyarakat yang menyebabkan kerugian baik dalam bentuk manusia, material, ekonomi atau lingkungan yang membuat masyarakat tidak mampu mengatasinya dengan menggunakan sumber daya sendiri (Barton, 2009). Sejalan dengan pendapat Barton, Widjianarko, m. & Minnafiah, u. (2018) menambahkan bahwa bencana tidak hanya peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia tetapi juga membuat manusia itu sendiri tidak berdaya. BNBP (2021) juga mengungkapkan bahwa bencana merupakan suatu gangguan terhadap keberfungsian sebuah masyarakat yang mampu mengakibatkan kerugian dan dampak. Sehingga, berdasarkan pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa bencana merupakan gangguan terhadap keberfungsian masyarakat yang menyebabkan berbagai macam kerugian dan dampak sehingga masyarakat menjadi tidak berdaya.

Bencana memiliki beragam faktor yang mempengaruhi timbulnya bencana itu sendiri. UU No 24 Tahun 2007 Bab 1 pasal 1 tentang penanggulangan bencana mengungkapkan bahwa bencana dapat diakibatkan oleh faktor non alam, alam, dan manusia atau sosial. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain seperti gempa bumi, tsunami, banjir, 


tanah longsor dan gunung meletus. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa non alam antara lain seperti gagal teknologi, gagal modernisasai dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa yang diakibatkan oleh manusia antara lain seperti konflik antar kelompok atau antar masyarakat.

Masyarakat Indonesia telah mengalami beragam bentuk bencana dan faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan data BNBP (2021) Indonesia telah mengalami berbagai macam bentuk bencana, baik bencana alam, non alam maupun sosial. Menurut United Nations Internasional Strategi for Disaster Reduction (UN-ISDR) mengungkapkan bahwa bencana baik alam, non alam atau sosial dapat di kelompokkan menjadi bencana dengan bahaya geologi, bencana dengan bahaya hidmoteorologi, bencana dengan bahaya teknologi dan penurunan kualitas lingkungan. Secara geografis indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, lempeng Benua Australia, lempeng Benua Samudera Hindia Dan lempeng Benua Samudera Pasifik. Kondisi ini sangatlah berpotensi sekaligus rawan akan bencana seperti gunung meletus, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki tingkat gempa tertinggi di dunia (BNBP, 2021).

Wilayah indonesia sendiri berada di daerah yang memiliki iklam tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan. Kondisi iklim ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam menghasilkan kondisi tanah yang subur. Namun, kondisi ini dapat menimbulkan bencana bagi manusia seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Dan juga karena kurangnya kebijakan penerapan teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat fatal seperti kecelakaan transportasi, industri dan wabah penyakit (BNBP, 2021). 

Banyaknya bahaya yang mengancam masyarakat Indonesia, banyak pula bencana yang akan terjadi. Berdasarkan data BNBP (2021) terlihat bahwa Indonesia telah mengalami peningkatan dalam jumlah bencana selama lima tahun terakhir semenjak tahun 2015 hingga 2020. Pada tahun 2015 Indonesia mengalami bencana sebanyak 1.703, tahun 2016 sebanyak 2.313, tahun 2017 sebanyak 2.898, tahun 2018 sebanyak 3.522, tahun 2019 sebanyak 2.875 dan di tahun 2020 sebanyak 4.887. Pada tahun 2021 Indonesia mengalami penurunan jumlah bencana dengan jumlah bencana sebanyak 2.695, dengan korban jiwa sebanyak 583 dan kerugian sebesar Rp. 2.264.034.144,00. Namun, walaupun pada tahun 2021 terjadinya penurunan jumlah bencana, jumlah kerugian dan korban jiwa yang dihasilkan masihlah besar.

Sumatera Barat menjadi salah satu provinsi yang memiliki potensi terjadinya bencana, baik bencana alam, non alam maupun sosial. 


Berdasarkan BPBD Sumatera Barat (2021) mengungkapkan bahwa Sumatera Barat merupakan daerah rawan bencana menginat iklim sekarang yang cendrung rawan hujan. Selain itu, secara geografis Sumatera Barat juga berpotensi untuk terjadinya bencana alam seperti tsunami. Sedangkan berdasarkan data BNBP (2021) mengungkapkan bahwa Provinsi Sumatera Barat berada di urutan ke 10 dari 34 Provinsi di Indonesia dengan jumlah bencana sebanyak 52. Sehingga, hal ini mengungkapkan bahwa provinsi Sumatera Barat menjadi provinsi yang berpotensi dalam bencana. 

Besarnya potensi bencana di Indonesia khususnya Provinsi Sumatera Barat maka, hal ini juga meningkatkan risiko bagi perempuan. Untuk mengantisipasi dampak bencana yang dirasakan dan mengurangi risiko bencana perlunya persiapan dalam menghadapi bencana, salah satunya membangun ketahanan atau resiliensi pada tiap diri individu. Perlunya membangun resiliensi atau ketahanan dapat membantu keberlangsungan hidup pasca terjadinya bencana, dengan adannya bantuan organisasi ataupun pemerintah bisa membantu meningkatkan resiliensi yang lebih baik di tengah masyarakat, contohnya di Desa Jelok dengan membangun suatu organisasi yaitu JEGANA (Jelok Siaga Bencana) membuat masyarakatnya mampu bangkit kembali dan memiliki resiliensi yang baik pasca terjadinya bencana (Puspitasari et al., 2019). Pada 

perempuan sebagai kelompok rentan dalam bencana perlunya untuk membangun resiliensi.

Resiliensi merupakan kapasitas untuk berhasil dalam beradaptasi, berfungsi secara positif atau kompeten, khususnya ketika seseorang berhadapan dengan suatu situasi atau kondisi yang beresiko tinggi, stress kronis, dan juga merasakan trauma (Egeland, dkk. 1993). Sedangkan menurut Grotbeng (1996), resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi serta kapasitas seseorang untuk bisa menghadapi dan memecahkan masalah setelah ia mengalami kesengsaraan dalam konteks bencana, bahwa resiliensi berarti sebuah kapasitas atau kemampuan seseorang dalam menghadapi serta bangkit dari bencana yang menimpa. Dengan demikian resiliensi adalah kemampuan untuk mengadaptasi dan bangkit dari bencana, khususnya bencana alam yang sering terjadi dengan tidak terduga. Sedangkan resiliensi perempuan merupakan kemampuan untuk mengadaptasi dan bangkit dari bencana pada perempuan.

Resiliensi perempuan dapat terbentuk dengan dibangun oleh beberapa faktor seperti mata pencaharian, kepemilikan rumah, tanah, hubungan antar anggota keluarga, perawatan, religiusitas, peran gender mereka, serta norma-norma yang berlaku, beberapa faktor di atas dapat mengurangi dampak dari bencana yang dirasakan oleh perempuan karena bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan kesehatan bagi perempuan dan perempuan yang lebih tua (Kwan, 2020). Sedangkan, menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi memiliki tujuh faktor yang menjadi komponen atau domain utama dari resiliensi yaitu : 1) Emotion Regulation (Regulasi Emosi), merupakan kemampuan untuk bisa tetap tenang dibawah kondisi yang menekan; 2) Impluse Control (Pengendalian Impuls), merupakan kemampuan individu untuk mengandalikan keinginan, dorongan, kesukaan serta tekanan yang muncul dari dalam diri; 3) Optimism (Optimisme), merupakan individu yang resilien yaitu individu yang optimis. Seseorang yang memiliki optimisme menandakan bahwa ia percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan; 4) Casual Analysis (Analisis Kausal), merupakan kemampuan individu untuk mengidentifikasi secara akurat pada penyebab dari permasalahan yang sedang dihadapi; 5) Empathy (Empati), merupakan kaitan erat dengan kemampuan individu untuk memecah tanda-tanda kondisi emosional psikologis orang lain. Pada individu yang mempunyai kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa non verbal yang ditunjukkan oleh orang lain seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh, serta ia mampu menangkap apa yang difikirkan dan di rasakan orang lain; 6) Self Efficacy (Efikasi Diri), merupakan sebuah keyakinan bahwa individu mampu dalam memecahkan masalah yang dialami dan mencapai 

sebuah kesuksesan; 7) Reaching Out, merupakan kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan. 

Resiliensi memiliki tingkatan yang berbeda pada setiap individu atau kelompok masyarakat. Kelompok perempuan merupakan kelompok yang memiliki resiliensi yang rendah. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Rahiem et al. (2021) yang mengungkapkan bahwa kelompok perempuan merupakan kelompok yang memakan banyak korban pada saat bencana terjadi, hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi mengenai bencana pada wanita. Sehingga, untuk menghadapi bencana salah satu persiapannya adalah memperbanyak informasi tentang bencana. Hal ini, merupakan bagian dari resiliensi perempuan.

Brémault-Phillips (2020) mengungkapkan dalam mengembangkan serta meningkatankan resiliensi pada perempuan juga diperlukannya dengan membangun hubungan antara suami istri, membangun relasi dan menciptakan perubahan hidup kepada yang lebih positif. Selain itu dalam pergerakan pasca bencana perempuan juga bisa sebagai penggerak dari pemulihan untuk menigkatkan ketahanannya pasca bencana dengan mereka mendukung berbagai proses inklusif melalui berbagai sumber daya yang ada mereka juga bisa membangun jaringan formal, membangun mata pencaharian yang bisa dimanfaatkan dengan baik perempuan juga bisa bekerja sama dengan laki-laki dalma hal membangun ketahanan dalam menghadapi 


bencana dan bersama-sama mengurangi risiko bencana yang akan datang (Clissold et al, 2020).   

 Seseorang atau komunitas yang memiliki resilient tinggi terhadap bahaya bencana lebih berpotensi untuk menangkis bahaya tersebut menjadi lebih ringan, dan sekalipun terjadi bencana mereka dengan mudah dapat bangkit dari bencana tersebut, sehingga bahaya bencana tidak mesti menjadi ancaman yang cukup berarti bagi seseorang. Resiliensi pada prinsipnya tidak hanya bersangkut paut dengan individu atau kelompok yang telah tertimpa bencana. Karena resiliensi juga melingkupi sebelum bencana terjadi. Jika resiliensi berada setelah peristiwa bencana berarti hal tersebut termasuk pada bagian recovery dan respon sementara yang diberikan sebelum bencana mengcover bagian pada mitigasi dan preperdensi. Tingkat resiliensi seseorang yang tinggi akan memberikan tingkat kesiapsiagaan yang tinggi bagi seseorang dalam menghadapi bencana yang akan terjadi. Dan juga tingkat resiliensi pada individu atau kelompok bisa menentukan bagaimana cara mereka melakukan perlawanan atau bangkit dalam merespon pada bencana yang terjadi. Maka dengan itulah individu atau kelompok yang tingkat resiliensinya rendah maka individu atau kelompok tersebut tidak hanya rentan akan terkenanya bencana, tetapi mereka juga mengalami kesulitan-kesulitan untuk bisa melakukan perlawanan dan juga susahnya untuk bangkit setelah peristiwa bancana yang menimpa. 


Resiliensi memiliki tingkatan pada individu atau kelompok ditentukan oleh berbagai faktor. Menurut Cutter (2008) ia mengemukakan keterkaitan yang cukup erat antara tingkat resiliensi seseorang dengan tempat dan kondisi ekologis, dimana kondisi yang rentan terhadap bencana seperti bencana alam yang melanda merupakan faktor yang memperendah tingkat resiliensi seseorang ataupun komunitas. Hal ini berbeda dengan seseorang yang tinggal pada daerah yang jauh akan terjadinya peristiwa bencana. Di indonesia tempat atau kondisi ekologis yang memang benar-benar aman dari bencana alam dapat dilihat secara georafis, dikarenakan indonesia banyak memiliki dataran rendah dan dataran tinggi. Pada tingkatan kerentanan dan juga resiliensi dapat ditentukan oleh jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan sangat berkontribusi terhadap resiliensi dan kerentanan pada seseorang. Meskipun perempuan cenderung lebih rentan dan diabaikan dalam penanganan bencana seperti yang kita lihat terjadi di Aceh dimana yang terekam dalam jurnal perempuan (No. 40 tahun 2005) banyak perempuan yang menjadi korban tetapi pada sisi lain perempuan memiliki daya tahan yang luar biasa dalam masa-masa sulit seperti gempa, stunami, banjir, dan bencana alam lainnya. Perempuan memiliki daya tahan diantaranya, yang pertama perempuan berusaha menyembuhkan dirinya dan sekaligus menolong sesama dimasa-masa kritis mereka. Kedua terbentuknya sifat keperempuanan dan karakter yang tekun, sabar, rajin, melayani, dan mampu dalam memberikan pelayanan yang baik pada sektor keluarga dan sektor publik. Dalam menghadapi bencana cara terbaik untuk menghadapi bencana alam tersebut tentu saja adalah meningkatkan kapasitas seseorang atau komunitas yang rentan untuk meningkatkan bencana.

Perempuan yang siap dalam meningkatkan resiliensi ialah pola respon positif terhadap sesuatu yang dirasa dapat merugikan seperti saat terjadinya bencana, sehingga perempuan dapat secara optimal meningkatkan potensi yang dimiliki dan akhirnya dapat lebih kuat dalam menghadapi bencana tersebut (Herdman dkk, dalam Salami, Azizah & Hermawan, 2020). Dalam meningkatkannya kita sebagai individu bisa melakukan dengan mengembangkan keterampilan kita dalam hidup seperti mampu berkomunikasi dengan orang lain, mampu secara realistik merancang bagaimana mengambil langkah yang tepat. 

Hal yang dapat meningkatkan resiliensi seseorang ialah dengan adanya dukungan sosial. Dukungan sosial dilakukan dengan memberikan bantuan kepada orang lain, dimana bantuan tersebut diberikan oleh orang yang berarti bagi individu bersangkutan (Effendi & Tjahjono dalam Nurhidayah dkk, 2021). Pemberian dukungan ini bisa diberikan dalam berbagai hal seperti pemberian informasi, pemberian bantuan dalam tingkah laku dan materi yang bisa di 

sifat keperempuanan dan karakter yang tekun, sabar, rajin, melayani, dan mampu dalam memberikan pelayanan yang baik pada sektor keluarga dan sektor publik. Dalam menghadapi bencana cara terbaik untuk menghadapi bencana alam tersebut tentu saja adalah meningkatkan kapasitas seseorang atau komunitas yang rentan untuk meningkatkan bencana.

Perempuan yang siap dalam meningkatkan resiliensi ialah pola respon positif terhadap sesuatu yang dirasa dapat merugikan seperti saat terjadinya bencana, sehingga perempuan dapat secara optimal meningkatkan potensi yang dimiliki dan akhirnya dapat lebih kuat dalam menghadapi bencana tersebut (Herdman dkk, dalam Salami, Azizah & Hermawan, 2020). Dalam meningkatkannya kita sebagai individu bisa melakukan dengan mengembangkan keterampilan kita dalam hidup seperti mampu berkomunikasi dengan orang lain, mampu secara realistik merancang bagaimana mengambil langkah yang tepat. 

Hal yang dapat meningkatkan resiliensi seseorang ialah dengan adanya dukungan sosial. Dukungan sosial dilakukan dengan memberikan bantuan kepada orang lain, dimana bantuan tersebut diberikan oleh orang yang berarti bagi individu bersangkutan (Effendi & Tjahjono dalam Nurhidayah dkk, 2021). Pemberian dukungan ini bisa diberikan dalam berbagai hal seperti pemberian informasi, pemberian bantuan dalam tingkah laku dan materi yang bisa di 


dapatkan dari hubungan sosial, atau bisa disimpulkan berarti dari kehadiran orang tersebut bisa membuat perempuan merasa diperhatikan, bernilai dan dicintai. Dukungan sosial ini dapat memberikan kenyamanan kepada perempuan yang sedang mengalami bencana sehingga ia merasa dihargai dan dihormati yang ia dapatkan dari lingkungan sosial (Sarafino & Smith dalam Anggraini, Yaslina dkk, 2018). 

Hal yang bisa perempuan lakukan untuk bisa memperoleh dukungan sosial saat terjadinya bencana dengan menjalin hubungan sosial yang banyak kepada orang lain. Hubungan sosial dilakukan dengan banyak berkomunikasi bersama orang lain dan mau berperan sebagai pendengar yang baik dalam keseharian seperti memberikan saran dan nasihat. Saat perempuan di kelompok yang disertai dukungan sosial dari lingkungan biasanya ia akan lebih bisa bertahan ketika menghadapi masa-masa yang sulit seperti saat terjadinya bencana.

Hal yang bisa perempuan lakukan selanjutnya dalam meningkakan resiliensi ialah bagaimana coping diri perempuan. Ada banyak coping salah satunya ialah coping religius yang sering kali digunakan oleh individu untuk bisa bangkit dalam menghadapi bencana. Seperti yang diungkapkan oleh Peres dkk dalam Octarina & Afiatin (2013) bahwa saat seseorang sedang mengalami peristiwa yang merugikan atau yang menekan biasanya ia akan menggunakan coping yang didasari berdasarkan agamanya. Coping religius merupakan suatu hal yang bisa dilakukan oleh perempuan untuk bisa mengurangi dan mengatasi tekanan yang dirasakan dengan cara yang suci dan bersih (Pargament dkk dalam Octarina & Afiatin 2013). 

Hal yang bisa dilakukan oleh perempuan saat terjadi bencana dengan coping religius ialah dengan merubah pola pikiran untuk bisa melihat peristiwa bencana ini menjadi sesuatu hal yang lebih positif. Penilaian yang positif terhadap bencana yang terjadi ini pastinya dapat menumbuhkan harapan dan yakin bahwa diri ini memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menghadapinya. Serta dengan adanya coping religius ini perempuan bisa mengendalikan emosinya sehingga dapat memberikan rasa nyaman dan tentram saat terjadinya bencana. Dan juga coping religius ini dapat membantu perempuan dalam menjalani pemulihan setelah terjadinya bencana, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Ai, Dunkle dkk dalam Octarina & Afiatin (2013) dimana berdoa ternyata membantu pasien dalam pemulihan setelah ia menjalani operasi jantung, karena pasien menunjukkan kondisi psikologis yang baik karena ia merasa dengan berdoa dapat mengurangi pikiran-pikiran negatif dan mengendalikan emosinya. 

Besarnya potensi bencana di sumatera barat dapat memberikan dampak kepada masyarakat khususnya perempuan dikarenakan perempuan memiliki kerentanan resiko yang lebih tinggi daripada 


laki-laki. Untuk dapat mengurangi kerentanan tersebut maka perempuan perlu membangun resiliensi atau ketahanan untuk membantu keberlangsungan hidupnya pasca terjadinya bencana. Walaupun perempuan rentan dalam menghadapi bencana namun ternyata perempuan juga memiliki daya tahan untuk mampu menyembuhkan diri sekaligus menolong orang lain ditengah bencana. Agar perempuan semakin siap dalam menghadapi bencana dengan  meningkatkan resiliensi, maka yang bisa dilakukan ialah dengan adanya dukungan sosial, dukungan sosial saat terjadinya bencana bisa didapatkan jika perempuan menjalin hubungan sosial yang banyak dengan orang lain sehingga nanti orang tersebut akan saling membantu. Yang bisa dilakukan selanjutnya ialah coping religius yang merupakan penilaian secara positif terhadap bencana sehingga menumbuhkan harapan dan keyakinan perempuan untuk mampu dan kuat dalam menghadapi bencana. Oleh karena itu peningkatan resiliensi ini sangat penting agar perempuan lebih siap dalam menghadapi bencana.

#Mahasiswa PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2021

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS