Ticker

6/recent/ticker-posts

"Bagaimanakah Narasi Media yang Tepat Terkait Kebencanaan? "

Foto dokumen 

Penulis

Resti Yuliani 1810321013

Della Ria Stefani R 1810322040

Almassyifa Khairani 1810323002

Rizki Fajrianti 1910322010

Mahasiswa Kedokteran Program Studi Psikologi Universitas Andalas


Bencana merupakan hal yang tidak pernah diharapkan bagi siapapun, penyebabnya bisa terjadi karena faktor alam (natural disaster) dan juga faktor yang disebabkan oleh manusia (human caused). Dalam mitigasi bencana, salah satu hal yang berperan penting adalah narasi bencana atau informasi media terkait bencana yang sedang terjadi. Menurut Houston dkk. (2019), media menjadi komponen penting dalam mitigasi bencana karena melalui media masyarakat mendapatkan informasi lebih cepat, sehingga hal ini memungkinkan timbulnya kesiapsiagaan dari masyarakat demi mengurangi risiko bencana. Sreedharan, dkk (2019) mengungkapkan bahwa dengan adanya media yang menyiarkan darurat bencana atau waspada terhadap bencana bisa meningkatkan awareness masyarakat terhadap diri mereka maupun lingkungan sekitar yang berharga. Selain itu, media juga dapat mempromosikan metode penyelamatan diri, pertolongan pertama, serta mitigasi bencana yang mudah diterapkan oleh masyarakat ketika terjadi bencana. Mitigasi bencana seperti ini kerap dilakukan di daerah yang seringkali terjadi bencana, jadi melalui edukasi dari media diharapkan dapat meredam kepanikan masyarakat dan setidaknya masyarakat mampu menyelamatkan diri mereka masing-masing ketika terjadi bencana. Dengan kata lain, dengan adanya berita waspada bencana yang diudarakan oleh media, maka setidaknya satu nyawa masyarakat akan terlindungi.

Media massa merupakan media penyedia informasi tentunya harus memperhatikan segala aspek dalam penyajian berita yang akan disampaikan kepada masyarakat luas mulai dari pemilihan kata hingga poin atau konten yang ditekankan dalam berita itu sendiri karena media massa dapat membangun dan membentuk opini publik (Raharjo, 2016). Media massa yang terdiri dari media cetak dan media penyiaran sebagai lembaga sosial memang memiliki bermacam-macam fungsi. Fungsi media selain untuk memberikan informasi, juga memiliki fungsi agenda, penghubung orang lain, pendidikan, hiburan, membujuk orang lain hingga fungsi pengawasan (Makhshun & Khalilurrahman, 2018; Arrifuddin & Kartika 2016). Fungsi yang kompleks ini jugalah yang sebenarnya harus membuat media lebih berhati-hati dalam menyajikan setiap berita. 

Media dapat bermanfaat untuk fase pra-bencana dan juga dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat ketika fase bencana dan pasca-bencana. Ketika fase bencana, media biasanya akan menginformasikan terkait lokasi evakuasi yang dapat didatangi para korban bencana sehingga mereka bisa memperoleh keamanan dan makanan yang memadai, dan juga media berperan sebagai penyambung komunikasi antara keluarga yang terputus komunikasinya atau informasi jumlah korban dan kerusakan infrastruktur. Contoh, seorang ibu kehilangan komunikasi dengan anaknya yang berada di kawasan bencana, dengan melihat informasi dari media setidaknya Ia tahu apakah anaknya selamat atau justru mengalami hal yang tidak diinginkan seperti terluka atau meninggal dunia, sehingga tidak terjadi keresahan yang melibatkan banyak pihak. 

Media juga berperan pada fase bencana dengan memberikan pilihan bagi warga yang tidak terdampak namun berisiko jika terjadi bencana susulan, pilihan antara lain adalah untuk mengungsi lebih awal atau untuk menjauhi daerah darurat bencana untuk sementara (Sreedharan, dkk., 2019). Selain itu, pada fase pasca-bencana media juga berperan sebagai penyedia informasi terkait support sistem pasca trauma bagi korban bencana, hal ini biasanya dengan mendatangkan psikolog dan ahli kesehatan mental ke lokasi evakuasi. Kemudian dalam tugas lanjutan seperti penggalangan dana untuk menutupi kerugian harta benda bagi para korban.

Namun, dibalik manfaat yang ditimbulkan media dalam bencana ini terkadang kita juga harus selektif dalam mengonsumsi berita yang disajikan oleh media. Seiring berkembangnya kemajuan teknologi perkembangan dalam media massa juga semakin maju, semakin bebas dalam berpikir dan mengemukakan pendapat (Arrifuddin & Kartika 2016), diikuti dengan fungsi untuk memberikan hiburan bisa saja media massa lebih mementingkan kuantitas penonton tanpa memikirkan kualitas berita. Mawalia (2018), mengungkapkan bahwa media memang memberi informasi terkait beri aktual, tapi dibalik itu berita yang disajikan media tidak dapat dijadikan pegangan, karena banyaknya media yang berambisi untuk menjual berita, sehingga tak jarang mereka melupakan esensi dari ‘berita aktual’ itu sendiri. Kebanyakan dari mereka hanya menginfokan sesuatu yang dramatis, tragis, dan emosional. Hal ini tentu saja akan memberikan dampak yang tidak baik bagi kesehatan mental konsumen, terutama jika terlalu sering mengonsumsi informasi sejenis ini. 

Sebagaimana media merupakan sarana berita dan konsumsi publik, penyampaian berita dengan narasi yang menarik menjadi salah satu hal yang diutamakan dalam jurnalisme. Liputan media seringkali tidak komprehensif, dan lebih selektif untuk memunculkan sebuah momentum bagaimana suatu bencana itu terjadi –apa penyebabnya, bagaimana tragedinya, siapa yang harus disalahkan– yang akhirnya membuat publik tertarik. Tekanan untuk bisa survive ditengah kompetisi dunia jurnalisme, membuat banyak pihak media yang berlomba-lomba menjual “cerita” dibalik berita yang diliput bahkan hingga mengenyampingkan etika jurnalistik. Di mata publik, berita-berita yang memiliki kisahnya tersendiri –yang mengincar sensasi dan spekulasi masyarakat– akan lebih laku dibandingkan hanya sekedar informasi belaka. Sederhananya, begitu sebuah topik atau perspektif suatu liputan mendapat perhatian, hal itu akan menarik lebih banyak perhatian, yang juga mengindikasikan berita tersebut menjadi layak untuk diberitakan dan menciptakan sebuah gelombang berita (UNDRR, 2021).

Zaman modern ini, banyak sekali media yang sudah mulai menggeser kualitas berita hanya demi mencari keuntungan belaka. Pihak yang tidak bertanggung jawab, para jurnalis yang harus memenuhi keinginan dari “atasannya” terkadang mulai mengeskplotasi berita agar tidak kalah saing dengan program atau media cetak yang lain.  Perkembangan media massa saat ini mulai memikirkan bagaimana cara mencari laba sebesar-sebesarnya, dalam kata lain terdapat kepentingan ekonomi (Arnus, 2014). Media massa akan lebih mementingkan apa yang kira-kira akan menarik banyak penonton dan hal yang membuat rating berita menjadi tinggi. Hal ini sangat fatal karena akan meninggalkan atau mengesampingkan informasi penting yang sebenarnya harus dikaji lebih mendalam. Pada kasus kebencanaan hal ini sering terjadi, selain dari kasus Covid-19 yang dipaparkan di atas, contoh lain ialah ketika terjadi bencana tsunami di Palu. Media massa cenderung menyoroti korban yang berjatuhan secara dramatis demi dan hingga menyoroti penyebab bencana dari sudut pandang magis (Mawalia, 2018). Tentunya ini akan memberikan ketakutan tersendiri bagi masyarakat.

Bukan hanya untuk kepentingan ekonomi, dewasa ini pemilik grup media bahkan terjun dalam bidang politik dan menjadikan media massa sebagai kekuatan baru. Beberapa contoh diantaranya ialah Harry Tanoesudibyo pemilik MNC Group, Abu Rizal Bakri pemiliki Group Viva News, dan Surya Paloh dengan Media Group. Hal seperti ini biasa membuat media massa tidak objektif dalam menyampaikan berita dan bediri disatu pihak yang ingin mereka dukung, misalnya seperti media TV One dan Metro TV yang saling beratarung dalam mendukung calon presiden pada masa itu (Arnus, 2014). 

Daripada menyajikan berita yang dramatis dan emosional, akan lebih baik jika media mengubah redaksi berita itu sendiri. Disamping mengemukakan fakta, hendaknya media mengimbangi informasi dengan berita yang berdampak positif, seperti metode rescue, pertolongan pertama, korban selamat, kisah inspiratif, dan perjuangan heroic masyarakat di tengah bencana, serta informasi-informasi terkait yang mungkin bisa lebih menenangkan dari pada selalu tentang korban yang memilukan. (Song, 2020; Al Hinai, 2020). Dengan demikian berita yang seperti ini bisa lebih meningkatkan resiliensi masyarakat, mereka akan termotivasi untuk bertahan hidup di tengah keharuan situasi bencana. 

Selain itu, headline atau judul berita khususnya media cetak sering kali menggunakan pilihan kata atau kalimat yang sebenarnya berbeda dengan isi berita itu sendiri. Hal ini dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Berbagai strategi dilakukan untuk membuat media cetak atau media online tetap diminati masyarakat, mereka membuat rasa penasaran pembaca lebih tinggi, bahkan membingungkan agar para calon membaca membuka tautan dan membeli koran atau majalah. Judul-judul yang dapat dikatakan provokatif, memanipulasi emosi dan menggiring opini ini sering disebut dengan clickbait (Hadiyat, 2019). Hal ini biasanya dilakukan oleh penulis atau editor untuk mendapatkan keuntungkan semata, bahkan berita hoax. 

Berita hoax yang diterima masyarakat dapat berupa fake news, clickbait, confirmation bias, misinformation, satire, post-truth, dan propaganda (Ferdiawan et al., 2019). Jenis-jenis informasi hoax yang diterima oleh masyarakat tersebut dapat terjadi karena adanya unsur kesenangan bagi penyebar, untuk mendapatkan uang dari pihak tertentu yang memerintahkan, untuk menimbulkan kepanikan bagi masyarkat, mengadu domba kedua pihak, mendukung pihak tertentu bahkan ada yang hanya ingin viral (Ferdiawan et al., 2019). 

Berita hoax tersebut sering muncul di grup WhatsApp yang kemudian terus menyebar (Hendiastutjik et al., 2019). Seperti yang terjadi pada tahun 2018, tercatat sebanyak 12 warga ditangkap atas penyebaran informasi hoax terkait bencana gempa bumi di Jawa dengan kekuatan 6,1 SR yang menimbulkan kepanikan luar biasa bagi masyarakat (Hendiastutjik et al., 2019). Dengan demikian, Medkom Bencana yang dibentuk oleh Sutopo menjadi suatu strategi yang efektif dan inovatif dalam menanggulangi permasalahan berita hoax terkait bencana yang menyebar di masyarakat (Hendiastutjik et al., 2019).

Salah satu jenis berita hoax seperti clickbait menimbulkan sensasi yang bisa menyebabkan timbulnya kesenjangan informasi, hingga pembaca merasa tertipu. Hal ini tentunya sangat berisiko pada masyarakat atau mereka yang memiliki minat baca yang rendah. Mereka tentunya bisa saja langsung mengambil kesimpulan yang kurang tepat dari judul berita tersebut (Kertanegara, 2018). Fenomena inilah yang membuat pembaca zaman sekarang harus lebih kritis terhadap informasi berita yang disajikan. Masyarakat perlu untuk kembali meninjau, bahkan mencari kebenaran dari berita yang sudah mereka dapat. Selain itu, para jurnalis juga tentunya harus tetap menjunjung tinggi kode etik dalam menjalankan tugas mereka.

Contohnya saja ketika awal 2019 lalu ketika dunia dikejutkan dengan bencana non-alam covid-19, media beramai-ramai menginfokan betapa parahnya jenis wabah yang satu ini, tidak lupa media juga menyertakan jumlah korban jiwa yang selalu meningkat setiap harinya, pada akhirnya masyarakat menjadi overreacting, widrawal, serangan panik, anxiety, bahkan pada tingkat yang parah, masyarakat akan berujung depresi (Song, 2020). Jika dikatakan salah, hal ini tidak sepenuhnya demikian, karena memang ada hak media untuk menyampaikan berita fakta, namun tidak dalam kapasitas yang berlebihan seperti yang terjadi sekarang. 

Untuk mengantisipasi penerimaan informasi hoax tersebut, hendaknya masyarakat menyadari kiat-kiat dalam mengkonsumsi informasi dan menguji kebenarannya. Hal ini dapat dilakukan masyarakat dengan cara mencari tahu sumber asal berita tersebut apakah dari website resmi seperti BNPB, Kominfo atau website resmi lainnya. Masyarakat juga bisa teliti dalam melihat tanggal kejadian yang diberitakan, melakukan pengecekan dengan melihat apakah ada unsur SARA dalam informasi tersebut, berpihak pada suatu kelompok dan memastikan bahwa berita tersebut hanya sebuah kabar yang diberitakan melalui pesan terusan yang tidak jelas asalnya (Ferdiawan et al., 2019).  

BNPB sebagai pusat penanggulangan bencana telah berusaha untuk menjadi pusat komunikasi yang efektif dan efisien bagi masyarakat. Dengan demikian, BNPB berupaya untuk membentuk Pos Komando yang dipelopori oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Bapak Sutopo Nugroho untuk menjadikan media sosial sebagai sarana komunikasi dalam menyampaikan informasi terkait bencana kepada masyarakat. Sutopo membentuk tim yang berisikan wartawan dari domestik dan wartawan dari luar negeri untuk meliput informasi terkini, terbaru, dan pernyataan resmi dari BNPB terkait bencana yang terjadi di Indonesia (Hendiastutjik et al., 2019).

Melalui Medkom Bencana, BNPB berupaya dalam mengkomunikasikan pesan terkait bencana kepada masyarakat dan pemerintah untuk mengurangi resiko bencana. Melalui ini, BNPB juga berupaya dalam menyelamatkan nyawa serta dampak dari bencana tersebut (Hendiastutjik et al., 2019). BNPB menggunakan strategi costumer focus untuk memahami informasi yang dibutuhkan oleh pembaca serta menyampaikan informasi secara tepat waktu dan akurat (Hendiastutjik et al., 2019). Semua perencanaan dalam komunikasi bencana di media sosial juga harus menggunakan komunikasi yang efektif dengan melakukan pengumpulan data dan analisis yang tepat waktu dari daerah terjadinya bencana dengan prinsip komunikasi yang efektif, transparansi dan mengandung prinsip kebenaran (Hendiastutjik et al., 2019).

Untuk jurnalis, hendaknya dalam melakukan sebuah tulisan yang berkaitan dengan hal sensitif seperti bencana dapat dilakukan dengan beberapa etika penulisan. Hal ini diantaranya ialah dengan tidak memasukkan informasi yang bersifat sensasional hanya untuk menarik banyak pembaca tanpa mempertimbangkan dampak psikologisnya (Panuju, 2018). Jurnalis seharusnya juga tidak memasukkan unsur politik dalam penulisan informasi berkaitan dengan bencana, apalagi hal terebut dilakukan dengan tujuan pencitraan bagi pihak tertentu (Panuju, 2018). Penulisan mereka juga tidak boleh memasukkan unsur bisnis pihak tertentu sebagai salah satu tujuan promosi. Kurangnya integritas jurnalis dalam menuliskan informasi terkait bencana juga dianggap sebagai suatu hal yang kurang etis dalam menuliskan berita bencana (Panuju, 2018).

Etika jurnalisme dalam meliput sebuah berita terkait bencana sejatinya merupakan hal wajib yang harus diperhatikan oleh media. Narasi media yang menyajikan sebuah cerita dan drama –semakin dramatis dan tragis para korban, ataupun pihak tertentu yang ditunjuk sebagai biang kerok yang harus bertanggung jawab– yang mungkin lebih menarik perhatian publik secara etika tidaklah netral. Perlu diingat bahwa tanggung jawab jurnalis dalam pemberitaan bencana adalah sebuah tim, yang mengacu pada reporter, foto-videografer, serta seluruh staf di belakang layar seperti editor, produser, dan lainnya. Tim jurnalis ini bertanggung jawab secara naratif dalam masyarakat yang secara independen menilai peristiwa penting dan memastikan akuntabilitas terkait penyebab dan tanggapan akan suatu bencana yang diliput (Neria et al., 2009). 

Etika menerbitkan sebuah narasi berita sebuah bencana juga mengacu pada beberapa fungsi jurnalisme bencana. Pada sistem perundang-undangan Indonesia, fungsi pers diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999, khususnya dalam pasal 3 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, serta lembaga ekonomi (Mawalia, 2018). Selain itu, keberfungsian sebuah media dalam melaporkan suatu bencana berkaitan dengan tiga hal (Asteria, 2016). Pertama, media juga berfungsi sebagai sarana pendidikan masyarakat terkait kejadian bencana dan meliput fakta-fakta yang dapat menjadi pembelajaran di masa depan. Kedua, nilai humanisme sosial harus dikedepankan dengan data dan fakta yang akurat sehingga hikmah atas bencana masih dapat tersampaikan kepada masyarakat. Ketiga, berita yang diliput tidak boleh menyakiti perasaan korban bencana yang dapat berdampak buruk pada semangatnya. Dari keberfungsian media ini, jelas bahwa sebuah berita harus menyajikan narasi yang tepat, akurat, dan tidak mengancam atau menyakiti korban maupun pihak yang mungkin dirugikan.

Untuk mencegah kontroversi terkait etika dalam narasi media terkait bencana, para jurnalis perlu memperhatikan dan melakukan double-checking apakah narasi tersebut layak untuk diliput atau tidak. United Nation for Disaster Risk Reduction (UNDRR, 2021) merangkum beberapa panduan etik terkait narasi media. Pertama, hindari liputan yang cenderung lebih sensasional dan menyebarkan kepanikan di tengah masyarakat. Terkait hal ini, pertimbangan terkait public interest versus public’s right to know (minat publik versus hak publik untuk tahu) perlu dilakukan matang-matang. Sebuah narasi yang mungkin lebih menarik perhatian masyarakat sebetulnya harus berada dibawah hak publik untuk tahu apa yang terjadi sebenarnya. Narasi berita yang menyajikan data-data dan fakta dengan kata-kata yang tepat merupakan salah satu etika dalam meliput berita.

Kedua, tim jurnalis harus peka terhadap trauma dan rasa sakit para korban dan penyintas. Jurnalis tidak boleh memaksa untuk melakukan wawancara kepada orang-orang yang dinilai rentan tanpa adanya persetujuan. Media juga tidak boleh sembarang mengungkap nama dan identitas para korban maupun narasumber, demi melindungi privasinya. Menghormati orang-orang yang terdampak bencana merupakan salah satu hal yang perlu dijaga dalam etika jurnalisme. Jika terdapat kesalahan pada informasi yang misleading maupun narasi media yang dinilai tidak tepat, tim jurnalis harus memahami kondisi dan bersedia untuk meminta maaf jika diperlukan. 

Terakhir, interpretasi tim jurnalisme yang sangat berpengaruh pada narasi media juga perlu menjadi perhatian khusus. Jurnalis harus tetap netral dan tidak boleh terburu-buru berasumsi dan merangkai kisah terkait “heroes and villains” dalam suatu peristiwa bencana, terutama yang mungkin berkaitan dengan konflik politik. Meskipun membutuhkan waktu dan usaha lebih, tim jurnalisme perlu memverifikasi informasi yang didapat di tempat kejadian langsung maupun konten-konten di sosial media yang mungkin sudah tersebar lebih dahulu. Data yang dikumpulkan secara akurat akan menyajikan berita yang informatif dan netral secara etik.

Dengan demikian, dalam menuliskan informasi dalam berita yang berkaitan dengan bencana harus memperhatikan etika dalam penulisan, terutama di media sosial. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya bias information ataupun dampak psikologis yang dapat ditimbulkan dari berita tersebut. Etika penelitian tersebut harus menjadi perhatian khusus bagi jurnalis agar tidak semata-mata menjual berita demi menarik jumlah pembaca. Dan untuk pembaca diharapkan menjadi lebih bijak dalam memilih informasi berita dan tidak mudah mengkonsumsi informasi tanpa adanya sumber yang akurat dan resmi.

Daftar Pustaka

Al Hinai, Y. S. (2020). Disaster management digitally transformed: exploring the impact and key determinants from the UK national disaster management experience. International Journal of Disaster Risk Reduction, 101851. doi:10.1016/j.ijdrr.2020.101851 

Arifuddin, A. A., & Kartika, N. S. (2016). Efek Eksploitasi Media Massa terhadap Popularitas Presiden Barrack Obama di Kalangan Aktivis Mahasiswa Kotamakassar. Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi, 1(1), 1-22.

Arnus, S. H. (2014). Industrialisasi media massa dan etika jurnalistik. Al-Munzir, 7(2), 101-114.

Asteria, D. (2016). Optimalisasi Komunikasi Bencana di Media Massa Sebagai Pendukung Manajemen Bencana. Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, 1(1), 1-11. http://dx.doi.org/10.25008/jkiski.v1i1.30 

Ferdiawan, Y. I., Nurjanah, P. A. D., Krisdyan, E. P., Hidayatullah, A., Sirait, H. J. M., & Rakhmawati, N. A. (2019). HOAX Impact to Community Through Social Media Indonesia. Cakrawala - Jurnal Humaniora, 19(1), 121–124. http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/cakrawala/article/view/4452/3113

Hadiyat, Y. D. (2019). Clickbait di Media Online Indonesia Clickbait on Indonesia Online Media. Jurnal Pekommas, 4(1), 1-10.

Hendiastutjik, H. K., Pd, S., Rusfian, E. Z., & Si, M. (2019). Medkom Bencana : A “ Single Door ” Model of Natural Disaster Information to Protect from Hoax Issues of Disaster in Indonesia. The 5th Conference on Communication, Culture and Media Studies, 2018(April 2019), 15–16.

Houston, J. B., Schraedley, M. K., Worley, M. E., Reed, K., & Saidi, J. (2019). Disaster journalism: fostering citizen and community disaster mitigation, preparedness, response, recovery, and resilience across the disaster cycle. Disasters, 1-22. doi:10.1111/disa.12352

Kertanegara, M. R. (2018). Penggunaan Clickbait Headline pada Situs Berita dan Gaya Hidup Muslim Dream. co. id. MediaTor: Jurnal Komunikasi, 11(1), 31-43.

Makhshun, T., & Khalilurrahman, K. (2018). Pengaruh Media Massa dalam Kebijakan Pendidikan. TA'DIBUNA: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 1(1), 57-68.

Mawalia, K., A. (2018). Menyoal Etika Jurnalisme Bencana dan Jurnalisme Mistis. Unair News. Dikutip dari http://news.unair.ac.id/2018/12/13/menyoal-etika-jurnalisme-bencana-dan-jurnalisme-mistis/Neria, Y., Galea, S., & Norris, F. H. (2009). Mental Health and Disaster. Cambridge University Press.

Panuju, R. (2018). Etika Jurnalistik dan Jurnalisme Bencana pada Pemberitaan Gunung Agung di Portal Berita Balipost.com. Jurnal ILMU KOMUNIKASI, 15(2), 219. https://doi.org/10.24002/jik.v15i2.1455

Raharjo, R. S. (2016). Media Relations di Media Massa (Analisis Deskriptif Kualitatif Terhadap Kegiatan Media Relations TVRI Yogyakarta dan Jogja TV). Profetik: Jurnal Komunikasi, 8(2).5-14

Song, M. (2020). Psychological stress responses to COVID-19 and adaptive strategies in China. World Development, 136, 105107. doi:10.1016/j.worlddev.2020.105107

Sreedharan, C., Thorsen, E., & Sharma, N. (2019). Disaster Journalism: Building Media Resilience In Nepal. Bournemouth University in association with UNESCO Kathmandu

United Nation for Disaster Risk Reduction. (2021). Issues and Ethics. Disaster Risk Reduction Media Hub. https://drrhub.org/essential-issues.php



Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS