Ticker

6/recent/ticker-posts

Kesehatan Mental Anak di Lokasi Pengungsian



Penulis :
a. Ghina Wadhia
b. Adinda Naila Syafitri
c. Rizki Indriana Wulan Savitri
d. Dila Rahmatunnisa 
(Mahasiswa Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas)

(Mahasiswi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Unand)

_________________________________________________________


Bencana merupakan suatu kejadian yang tidak terhindarkan, bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan berdampak pada siapa saja. Setiap hari, sepertinya, kita mendengar bencana baru atau keadaan darurat lingkungan di suatu tempat di dunia. Banjir, angin topan, angin puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan, tanah longsor, gempa bumi, gunung berapi, dan/atau suhu yang terlalu rendah adalah contoh bencana alam. Terorisme, konflik, ketidakstabilan politik, penembakan di sekolah, dan/atau krisis kesehatan adalah contoh peristiwa yang berhubungan dengan manusia. Terlepas dari kenyataan bahwa setiap krisis adalah hal yang berbeda dari keadaan sebelumnya, ada beberapa kesamaan dalam skenario bencana, seperti konsekuensi pada anak-anak dan orang dewasa. Keselamatan dan keamanan anak-anak sering terancam, dan pendidikan mereka terganggu.

Bencana menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 adalah serangkaian peristiwa yang dapat mengganggu dan membahayakan penghidupan dan kehidupan masyarakat sekitar karena faktor alam, non alam, atau manusia, serta dapat mengakibatkan kematian manusia, kerusakan lingkungan, kerusakan, kerugian harta benda, dan efek psikologis. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia. Entah itu bencana alam, bencana buatan manusia, atau kerusakan yang disebabkan manusia. Gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, tanah longsor, banjir bandang, kekeringan, kebakaran, angin topan, badai, dan bencana alam lainnya adalah hal biasa. Bencana alam, menurut Crowards (2000), memiliki dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kerusakan infrastruktur dapat menyebabkan gangguan sosial dan kerusakan lingkungan.

Ketika terjadi bencana alam, berbagai unsur harus diperhitungkan, baik kerugian material (fisik) maupun non-materi (psikologis). Masalah mental dan psikologis yang menimpa korban, terutama anak-anak, memerlukan penanganan khusus untuk mencegah penyakit mental dan psikologis. Teori hierarki kebutuhan Maslow dapat digunakan untuk menyelidiki banyak variabel yang dapat berkontribusi pada ketidakstabilan psikologis. Menurut Maslow (dalam Mashar, 2011), setiap orang yang dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya dengan baik akan tumbuh menjadi pribadi yang sehat. Ketika orang tidak dapat memenuhi kebutuhan mendasar seperti keamanan, cinta, atau harga diri, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan seperti aktualisasi diri dan penyerahan diri kepada Tuhan.

Melihat situasi para korban bencana di kamp-kamp pengungsian dan setelah mereka kembali ke komunitasnya, terlihat jelas bahwa masih terdapat kegagalan dalam memenuhi kebutuhan mendasar dan tuntutan yang terus meningkat dari para korban bencana (Sholihat & Nasrullah, 2017). Prospek kerusakan tanah dan rumah, serta hilangnya mata pencaharian, dapat membuat para korban merasa tidak aman dan cemas ketika mereka mencoba membiasakan diri melakukan kegiatan yang cukup berbeda dari kehidupan sehari-hari mereka sebelum bencana terjadi. Mereka kemudian harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka. Anak-anak, ironisnya, mengalami kondisi yang sama dengan pengungsi dewasa. Jika ketakutan dan kecemasan pada anak terus berlanjut, hal itu akan menghambat pertumbuhan psikologisnya. Akibatnya, jika rasa takut dan rasa tidak aman dibiarkan terus berlanjut, hal itu dapat mengganggu perkembangan psikologis anak. Untuk itu diperlukan pengelolaan yang profesional agar dapat melupakan dan menghapus akibat buruk yang telah terjadi, baik akibat bencana alam maupun karena keadaan barak dan perumahan pengungsi yang ada tidak mencukupi bagi anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.

Berbagai permasalahan umum dapat terjadi kepada anak selama berada di pengungsian, salah satunya adalah menjaga pola hidup sehat. Sitepu dkk (2018) melakukan penelitian mengenai pola hidup sehat pada anak-anak korban erupsi Gunung Sinabung. Mereka menemukan bahwa anak-anak masih memiliki keinginan yang rendah untuk mengonsumsi makanan sehat, serta memiliki kesadaran yang rendah akan kebersihan, sulit mendapatkan pasokan air bersih, dan secara tidak langsung menjadi perokok pasif karena berada di tengah perokok aktif di pengungsian. Selain pola hidup sehat, bencana juga memiliki dampak psikososial pada anak, yaitu ketidaknyamanan di tempat pengungsian, ketakutan bertemu orang baru, kecemasan akan datangnya bencana kembali, serta mengalami mimpi buruk yang berulang (Subratha & Sariyani, 2018). 

Indonesia memiliki wilayah yang luas. Terdapat 120-an gunung merapi yang aktif dan diantaranya ada yang tergolong sangat berbahaya. Selain itu, indonesia juga dikelilingi oleh banyak pulau dan juga rentan terhadap gempa bumi. Meskipun dengan begitu, masih banyak masyarakat yang bermukim disekitar daerah tersebut. Hal ini bisa mengakibatkan ancaman terhadap keselamatan jiwa, kerusakan alam dan bahkan bisa memunculkan  kehancuran terhadap lingkungan sekitar apabila terjadinya bencana alam. Peristiwa bencana alam merupakan kejadian yang sangat sulit untuk dihindari. Hal ini dapat menyebabkan berbagai dampak bencana yang diterima oleh masyarakat. Dampak bencana berupa adanya korban jiwa, hilangnya harta benda, kerusakan infrastruktur, gangguan terhadap kehidupan, serta adanya gangguan kesehatan mental terhadap korban. 

Korban bencana alam menghadapi situasi dan kondisi yang sangat kompleks baik secara fisik, psikis maupun sosial. Permasalahan paling mendasar adalah persoalan fisik seperti gangguan pemenuhan kebutuhan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan (Rusmiyati & Hikmawati, 2012). Keterpurukan lain yang dihadapi berupa masalah psikososial, seperti kekhawatiran akan letusan susulan, rasa kehilangan mendalam dan kesedihan yang berkepanjangan. Kondisi seperti ini dipengungsian yang tidak layak juga akan menambahkan tekanan jiwa yang semakin berat. Dimana semakin lama waktu yang dihabiskan dipengungsian akan berdampak pada jumlah pengungsi yang akan mengalami gangguan psikologis lainnya. Hal yang memperparah kondisi para pengungsi adalah mereka menjadi lebih mudah emosional dengan sesama pengungsi akibat dari kejenuhan yang timbul.  Pengungsi pun akan kehilangan harga diri dan rasa percaya diri, sehingga terkesan pasrah, putus asa, tidak berdaya dalam menghadapi masa depan (Rusmiyati & Hikmawati, 2012).

Bagian masyarakat yang mengalami dampak paling buruk dari bencana adalah anak-anak (Hidaayah, 2014). Dimana mereka belum menyadari apa saja bentuk bahaya yang mereka hadapi, dan tidak tahu cara mencegahnya maupun menanggulangi bencana. Ketidakmampuan anak terhadap beberapa tindakan tersebut yang membuat anak-anak mengalami trauma. Anak-anak yang menjadi korban bencana rentan untuk mengalami PTSD, serta perlu mendapatkan penanganan yang serius agar tidak mengalami dampak yang berkepanjangan dan menghambat perkembangan anak. PTSD atau sering dikenal sebagai post traumatic stress disorder. Secara umum, PTSD dapat diatasi apabila mendapatkan penanganan yang tepat. 

Trauma pada anak ini jika tidak segera ditanggulangi akan menimbulkan kondisi krisis bahkan dapat memunculkan gangguan mental. Bagi mereka, korban bencana terdapat karakteristik yang khas sehinggga memerlukan bentuk-bentuk intervensi yang sesuai dengan karakteristik dan tahap perkembangannya (sholihat & Nasrullah, Oleh karena itu pencegahan maupun penanggulangan dampak dari bencana pada anak itu sangat diperlukan, terutama pada kondisi krisis anak yang dapat dilakukan dengan menurunkan dan menghilangkan trauma pada anak baik secara fisik maupun psikis. Bentuk pertolongan tersebut dapat berupa konseling (trauma, proses berduka, krisis, penyelesaian masalah) serta bimbingan antisipasi di pos pegungsian sebagai bentuk trauma healing, dan dapat juga diberikan dalam bentuk pelajaran sekolah sebagai tindakan promotif dan preventif (Hidaayah, 2014). Trauma healing menjadi sangat penting bagi anak-anak untuk mendapatkan pelayanan pemulihan trauma yang disebabkan oleh rasa kekhawatiran dan ketakutan yang dihadapi oleh anak-anak tersebut (Salamor & Salamor & Ubwarin, 2020). Selain itu juga, bantuan lain dari tenaga kesehatan sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup masa depan anak-anak. 

Pada kelompok usia kanak-kanak dan remaja muda (usia 10-14 tahun) memiliki kerentanan tantangan kondisi darurat tersendiri, diantaranya tantangan kondisi emosional dan perilaku ketika dihadapkan pada kondisi darurat seperti pengungsian akibat adanya suatu bencana (Mccarthy et al., 2016). Sehingga, penting adanya perhatian, penanganan dan pengendalian permasalahan kesehatan mental menyeluruh pada kelompok usia tersebut untuk mengurangis risiko dampak kesehatan mental bagi anak di usia selanjutnya. Penangan terhadap kesehatan mental dapat dilakukan oleh Pemerintah maupun non pemerintah terhadap anak-anak pengungsi yang fokus terhadap tantangan dan hambatan ynag dihadapi oleh pengungsi, diantaranya: 

1) Undang-Undang Pengungsian 

Dengan penetapan Undang-Undang Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak oleh pemerintah dapat melindungi berbagai masalah pada kelompok pengungsian terutama pada kelompok usia rentang kesehatan mental yaitu kanak-kanak. Maka dibutuhkan seorang perawat atau kelompok konselor yang memahami dan mengambil andil dalam mengambil kebijakan, keputusan serta pengaturan hukum dalam perlindungan anak-anak pengungsian. Berpedoman pada pemberian perlindungan sementara dan berpedoman pada layana kesehatan untuk memberi perlindungan, memberi layanan kesehatan, dan prinsip-prinsip pemberian pelayanan. Sehingga aspek kesehatan mental anak-anak pengungsi dapat dirancang dengan baik untuk menjaga kesehatan fisik dan psikologisnya. 

2) Penyediaan Pelayanan

Penting bagi para pengungsi untuk melakukan pemeriksaan, baik fisik, psikososial, serta sosial budaya untuk meningkatkan pengetahuan dalam perawatan dalam kondisi pengungsian (Yayan et al., 2020). Terkhusus pada kelompok usia kanak-kanak yang rentan terhadap gangguan kesehatan mental, dikarenakan mereka memiliki kebutuhan khusus dalam fase perkembangan diri yang secara khusus cenderung menimbulkan pengalaman traumatis. Ziaian et al., (2011) meyatakan dalam penelitiannya bahwa hanya terdapat seperlima dari anak-anak pengsungsian dengan gejala depresi yang diakses ke layanan kesehatan mental. Meningkatkan beberapa akses dan kesetaraan dalam penyediaan pelayanan program kesehatan mental kepada pengungsi. Untuk meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan mental untuk anak-anak pengungsi memerlukan dua akses, a) strategi kebijakan dengan adanya pengesahan secara resmi pelayanana kesehatan mental seperti perancangan Undang-Undang dan adanya komitmen keuangan untuk melaksanakan National Multicultural Mental Health Framework (Commonwealth of Australia, 2004; dalam Ziaian et al., 2011) yang difokuskan dalam meningkatkan akses dan kesetaraan dalam menyediakan pelayanan budaya dan poplasi yang beragam. Dan b) tingkat penyampaian layanan, difokuskan pada peningkatan pengembangan layanan dan promosi sesuai musyawarah kelompok masyarakat dengan tokoh masyarakat, seperti kampanye pendidikan masyarakat dalam meningkatkan kesadaran individu akan masalah kesehatan mental dan kejahatan pada anak-anak pengsungsian. 

Selanjutkan akan diambil langkah pelayanan dengan menyediakan kamp -kamp pengungsi yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas pemeriksaan fisik, seperti perawat maupun psikologis, seperti konselor. Penting peran seorang konselor maupun perawat dalam kondisi pengungsian dengan membantu meningkatkan kesehatan mental anak-anak salah satunya memberikan peran perawatan dan memberikan advokasi terhadap anak. Mereka dituntut untuk memberi dan mengembangkan praktik perawatan dalam kesehtaan mental yang dihadapi anak-anak. Adapun pemberian pelayanan atau pendekatan konseling untuk meningkatkan kesehatan mental anak-anak pengusngi seperti depresi, stress, kegelisahan, dan PTSD, diantaranya bahaviour therapy, cognitive theraphy, art therapy, group support therapy, defusing, debrifing, coping strategis terhadap stress, relaksasi, expressive therapy, play therapy, dan reality therapy (Sunardi, 2007). Pemilihan metode pelayanan ini dapat dilakukan dengan menerapkan program intervensi sesuai gangguan kesehatan mental anak untuk mengurangi efek stress di kamp dan rumah sakit.

3) Gaya pengasuhan

Orang tua, anak-anak dan remaja akan dihadapkan pada pengalaman yang traumatis dengan berbagai paparan yang dapat menggangu kesehatan mental (Sahin et al., 2021). Sehingga penting pelayanan untuk membantu mengontrol paparan tersebut bagi kesehatan mental anak kedepannya. Salah satu strategi untuk meningkatkan kesehatan mental anak-anak pengungsi dengan pemberian pola asuh yang hangat dapat mengurangi risiko gangguan kesehatan mental anak. Karena mereka mendapatkan pengasuhan masalah emosional dan perilaku yang tepat terhadap konflik. Hal tersebut disampaikan oleh Sahin et al. (2021) dalam penelitiannya yang melaporkan bahwa terdapat hubungan atara gaya pengasuhan, gaya keterikatan dan kesehatan mental pada anak-anak pengungsi. 

4) Komunitas Dukungan sosial

Salami et al., (2017) melaporkan bahwa penting adanya komunitas dan memiliki kelompok dukungan sosial yang baik dan kuat ditetapkan sebagai kontribusi kesehatan mental imigran di Kanada. Metode yang dapat dilakukan yaitu dengan adanya group support therapy. Dengan memiliki komunitas sosial yang saling mendukung dapat dengan secara kuat mempengaruhi secara langsung terhadap kesehatan mental anak -anak pengungsian dan telah dilaporkan berpengearuh terhadap gangguan mood. Dengan memiliki dukungan sosial yang positif dan kuat, maka dapat memungkinkan kesehatan mental yang baik, persepsi diri yang baik daripada yang memiliki komunitas rendah. Hal tersebut karena mereka memiliki tempat untuk berlindung yang memiliki efek perlindungan dari keterpaduan sosial. Dengan komunitas dukungan sosial dapat membantu anak-anak pengungsian meningkatkan kemampuan untuk mengatasi tantangan dalam masa pemungkiman. Salami et al., (2017) melaporkan bahwa dukungan lebih positif dengan kehangatan dan kestabilan dapat dikaitkan dengan tingkat kecemasan rendah. Hubungan yang lebih tinggi yaitu tentang pemahaman, perhatian dan rasa hormat oleh dukungan sosial akan membantu menjaga kesehatan mental pada anak-anak dengan memberikan lingkungan yang mendorong anak-anak untuk mengeksresikan emosi secara langsung yang berhubungan untuk menurunkan risiko gangguan kesehatan mental pada anak

Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan diatas, dapat kita simpulkan bahwa Indonesia sebagai negara yang rawan akan bencana, memang sangat perlu memperhatikan segala bentuk kemungkinan terjadinya bencana alam maupun social, dampak dan Teknik pencegahan yang dapat dilakukan. Bencana sebagai suatu peristiwa yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat, dapat terjadi kapan saja dan menghampiri siapa saja. Akibatnya dapat mengancam keselamatan masyarakat termasuk anak-anak. Selain mengancam keselamatan, kerugian berupa material dan psikologis pun juga turut menjadi bagian dampak dari bencana itu sendiri. Sehingga, diperlukan penanganan khusus untuk mengatasi hal tersebut. Seperti adanya penanganan yang berifat professional, yang sekiranya dapat membantu dalam proses penyembuhan fisik dan psikologis korban. Selain itu, masyarakat yang terkena dampak bencana juga perlu dituntut untuk dapat Kembali memenuhi kebutuhan mendasar mereka. Namun, jika dilihat dari segi realitanya, masih banyak para korban bencana alam yang belum dapat memenuhi kebutuhan mendasarnya, dan perlu melakukan penyesuaian yang lebih mendalam lagi agar dapat merasa aman. 

Pada anak-anak yang tidak dapat melakukan penyesuaian, akan menimbulkan perasaan cemas dan takut yang terus - menerus. Selain timbulnya rasa cemas, kekhawatiran, stress dan depresi juga turut menjadi dampak secara psikologis pada anak. Jika tidak dilakukan penyembuhan lebih awal, maka dapat memberikan dampak yang lebih parah berupa PTSD (post traumatic syndrome disorder) pada anak akibat adanya pengalaman traumatis bencana tersebut. Kehidupan anak – anak yang berada di lokasi pengungsian yang buruk, juga turut menjadi pemicu permasalahan fisik dan mental seperti ketidakpahaman akan pola hidup sehat, adanya rasa ketidaknyamanan saat berada dilokasi pengungsian, rasa takut akan terkena bencana kembali, kesulitan dalam menemukan air bersih dan kejenuhan yang dialami selama bertempat tinggal dipengungsian.

Maka dari itu, diperlukannya penanganan dari factor eksternal terkait dengan kondisi psikologis anak yang berada di lingkungan pengungsian. Adanya kebijakan pemerintah yang mengeluarkan undang-undang pengungsian yang berisikan tentang pemberian perlingdungan pada permasalahan kesehatan mental anak, dapat menjadi salah satu jalan keluar dari permasalahan ini. Selain itu, diperlukannya tenaga ahli medis seperti perawat atau dokter yang ahli dibidang fisik dan psikolog sebagai ahli psikologis untuk dapat melakukan pen – cekan berkala pada korban terutama anak – anak sebagai orang yang sangat rentan terkena gangguan psikologisnya. Seorang psikolog, dapat melakukan konseling bagi korban yang merasa membutuhkan bantuan penyembuhan dan dapat melakukan bahaviour therapy, cognitive theraphy, art therapy, group support therapy, defusing, debrifing, coping strategis terhadap stress, relaksasi, expressive therapy, play therapy, dan reality therapy untuk mengurasi stress anak dan memperbaiki keadaan psikologisnya. 

Seorang psikolog juga perlu memberikan edukasi kepada orangtua terkait cara pengelolaan stress dan pemberian parenting yang baik selama di masa pengungsian. Tak jarang orang tua juga memiliki gangguan psikologis dan emosional selama berada di lingkungan pengungsian. Keadaan emosional yang tidak stabil dapat berpengaruh pada pola asuh orang tua terhadap anak, sehingga semakin membuat Kesehatan mental dan perkembangan anak semakin memburuk. dan yang terakhir, sangat amat diperbolehkan didatangkannya komunitas dukungan social sebagai salah satu bentuk dukungan tambahan selama menjalani kehidupan pascabencana di pengungsian. Dengan adanya dukungan social tambahan, maka para korban dapat menjadi lebih yakin agar bisa melewati fase – fase ini. Komunitas dukungan social nantinya dapat memberikan dukungan berupa penggalangan dana, pembuatan acara yang meningkatkan semangat korban bencana, bermain bersama anak – anak, memberikan pelajaran sekolah, sehingga dapat mengurangi efek jenuh yang dirasakan para korban selama tinggal di kamp. pengungsian mereka  





     Daftar Pustaka


Crowards, Tom. (2000). Comparative Vulnerability to Natural Disasters in the Caribbean. Paper workshop on Vulnerability Assessment Techniques Charleston, South Carolina.


Hidaayah, N. (2014). Tanggap Bencana, Solusi Penanggulangan Krisis Pada Anak. Journal of Health Sciences, 7(1)

Mashar, Riana. (2011). Konseling Pada Anak Yang Mengalami Stress Pasca Trauma Bencana Merapi Melalui Play Therapy. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. McCarthy, K., Brady, M., & Hallman, K. (2016). Investing when it counts: Reviewing the evidence and charting a course of research and action for very young adolescents. New York: Population Council.

Rusmiyati, C., & Hikmawati, E. (2012). Penanganan dampak sosial psikologis korban bencana Merapi. Sosio Informa, 17(2).

Sahin, E., Dagli, T. E., Acarturk, C., & Dagli, F. S. (2021). Vulnerabilities of Syrian refugee children in Turkey and actions taken for prevention and management in terms of health and wellbeing. Child Abuse & Neglect, 119, 104628.

Sholihat, I., & Nasrullah, D. D. (2018, October). Konseling pada anak korban bencana alam: play therapy perspektif. In Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Jambore Konseling 3. Ikatan Konselor Indonesia (IKI).

Salami, B., Yaskina, M., Hegadoren, K., Diaz, E., Meherali, S., Rammohan, A., & Ben-Shlomo, Y. (2017). Migration and social determinants of mental health: Results from the Canadian Health Measures Survey. Canadian Journal of Public Health, 108(4), 362-367.

Salamor, A. M., Salamor, Y. B., & Ubwarin, E. (2020). Trauma Healing Dan Edukasi Perlindungan Anak Pasca Gempa Bagi Anak-Anak Di Desa Waai. Community Development Journal: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 1(3), 317-321. 

Sitepu, D. N., Simatupang, N., & Bangun, S. Y. (2019). Pola Hidup Sehat Anak Pengungsian Pasca Erupsi Gunung Sinabung. Jurnal Pedagogik Olahraga, 4(2), 32-43.


Sunardi. (2007). Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder) dalam Perspektif Konseling. PLB FIP Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Subratha, H. F. A., & Sariyani, N. M. D. (2018, August). Perkembangan dan Psikososial Balita Yang Berada Di Tempat Pengungsian Kabupaten Karangasem. In Prosiding Seminar Nasional dan Call For Paper Peranan Psikologi Bencana Dalam Mengurangi Risiko Bencana (pp. 81-90).


Yayan, E. H., Düken, M. E., Özdemir, A. A., & Çelebioğlu, A. (2020). Mental health problems of Syrian refugee children: post-traumatic stress, depression and anxiety. Journal of pediatric nursing, 51, e27-e32.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS