Ticker

6/recent/ticker-posts

Kemerdekaan Perempuan dalam Perspektif Islam


Oleh :Prof. Dr. H. Asasriwarni, MH

1

Pendahuluan

Islam adalah agama bagi kemerdekaan kaum perempuan dan memandangnya sejajar dengan kaum laki-laki, Islam memberikan hakhak yang penuh dalam semua aspek kehidupan bagi kaum perempuan. Kaum wanita (perempuan) dengan rahmat Allah SWT dan dibawah risalah Islam dikembalikan pada kedudukannya yang mulia sebagai panglima keadilan dan pelindung Islam.


Sebelum hadirnya ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW telah banyak peradaban-peradaban besar yang lahir dan berkembang di dunia, seperti Yunani, Romawi, India, Cina Mesir dan lain-lain. Disamping itu juga dikenal adanya agama-agama besar seperti Yahudi, Nasrani, Budha, Zoroaster dan lain-lain. Akan tetapi pada semua peradaban dan agama tersebut tidak terlihat adanya perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kaum perempuan. Hak-hak perempuan jarang dibicarakan dan cenderung diabaikan, kehidupan kaum perempuan di berbagai peradaban besar tersebut sungguh sangat menyedihkan.


Kedudukan Perempuan Sebelum Datangnya Islam

Masa Yunani Kuno

         Pada masyarakat Yunani yang banyak melahirkan para pemikir, terutama para filosof, hak dan kewajiban perempuan tidak banyak disinggung. Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Sedangkan di kalangan bawah, mereka menjadi komditi yang diperjual belikan. Mereka yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak warispun tidak ada. (Sayyd Muhammad Husain: 2000 :xi)

         Di masa Yunani kuno ini wanita dipaksa memikul dengan tanpa persetujuannya, karena memang persetujuan dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu. Wanita-wanita Yunani harus tetap selalu mentaati segala sesuatu yang datang dari laki-laki, apakah dia itu ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya bahkan paman-pamannya.

Wanita-wanita Yunani mengenakan sejenis cadar, mereka ditempatkan di asrama khusus wanita Wanita di Yunani terklasifikasi menjadi 3 macam :

a.Para pelacur yang semata bertugas sebagai pemuas nafsu laki-laki

b.Selir-selir yang tugasnya adalah merawat tubuh dan kesehatan tuannya, memijat.

c.Para isteri yang bertugas merawat dan mendidik anak-anak sama seperti apa yang dilakukan oleh para pengasuh anak atau baby sitter dewasa ini.

          Kedudukan wanita tidak lebih hanya berputar di sekitar itu. Pada akhirnya rumah-rumah pelacuran (bordil) menjadi pusat perhatian semua kelas dalam masyarakat Yunani. Dan segala keputusan yang datang dari pusat (b Masa Romawi

      Masyarakat Romawi terbiasa memandang isteri seperti balita, atau anak remaja yang harus selalu diawasi. Wanita selalu di bawah perlindungan dan pengawasan suaminya. Selama masa itu bila seorang wanita menikah, maka dia dan segala miliknya berada di bawah kekuasaan suami. Tidak hanya itu, suami juga mengambil alih hak-hak sang isteri. Apabila seorang isteri melakukan suatu kesalahan, maka adalah hak suami untuk menjatuhkan hukuman baginya. Seorang suami bahkan berhak memvonis mati terhadap isterinya. Seorang isteri di Romah tidak lebih sekedar barang koleksi (perabot) milik suami. Jadi kedudukannya sebanding dengan seorang budak yang semata-mata tugasnya menyenangkan dan menguntungkan tuannya.

         Dia tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam segala persoalan, baik yang bersifat pribadi maupun kemasyarakatan. Dengan kata lain, dia tidak berhak menerima surat kuasa atau kekuasaan, saksi, menjadi penjamin orang lain dan bahkan menjadi wali. Isteri tidak lebih sebagai sekedar barang pajangan dalam rumah tangganya. Apabila suaminya meninggal, maka semua anak laki-lakinya (baik kandung maupun tiri), terutama saudara laki-lakinya berhak atas dirinya. (Said Abdullah, 1994 : 6).


Masa India

      Di India, peraturan yang berhubungan dengan masalah faraid (pembagian hakw aris) hanya diturunkan melalui garis laki-laki saja dan tidak kepada wanita. Wanita dipandang sebagai sumber dosa dan sumber dari kerusakan akhlak dan agama.

   Seorang wanita India dijadikan permainan nafsu kebinatangan belaka, masyarakat India memandang hubungan seks antara seorang laki-laki dan wanita sebagai sesuatu yang menjijikkan dan zalim dengan tidak memandang sah atau tidaknya hubungan tersebut.


Masyarakat Yahudi

      Beberapa kepercayaan Yahudi memandang wanita sebagai mahluk yang lebih rendah dibandingkan laki-laki yang lainnya bahkan menganggap wanita lebih rendah kedudukannya daripada khadam (pembantu) laki-laki. Wanita tidak mendapatkan warisan apapun dari orang tuanya, bila ia masih memiliki saudara laki-laki. Ayahnya berhak untuk menjual dirinya jika telah menginjak dewasa. Apabila seorang wanita memutuskan untuk menikah, maka semua miliknya menjadi milik suaminya. Seorang suami memiliki hak penuh atas milik istri selama mereka terikat dalam ikatan pernikahan. Jika ia menemukan suaminya di tempat tidur bersama wanita lain, maka dia harus tetap diam dan tidak boleh mengeluh. Hal ini disebabkan suami mempunyai hak penuh atas dirinya, suami dapat berbuat sesuka hatinya.

       Seorang istri mengadu, bahwa suaminya menyetubuhi dirinya dengan cara yang kurang wajar dan tidak bermoral, jawaban yang diterimanya adalah ”Kita tidak dapat berbuat apa-apa sebab kamu adalah milik suamimu”. Dalam mengerjakan ibadat ritual bersama, harus dihadiri minimal sepuluh orang laki-laki. Bila yang hadir hanya sembilan laki-laki dan jama’ah wanita jumlahnya lebih banyak, maka ibadat itu dibatalkan, sebab para wanita tidak pernah masuk dalam hitungan dan dianggap tidak ada. Taklif (beban) terbesar untuk memelihara pelaksanaan dari syari’at-syari’at yang dibawa oleh Nabi Musa As. Tiap hari terletak di seputar problema wanita, karena dia lebih rendah daripada laki-laki. Wanita harus memeriksa apakah daging dan makanan 


sehari-hari tidak tercampur dengan barang yang terlarang. Wanita tidak boleh menyentuh cuka, anggura atau sup panas apabila dia tidak bersih secara agama.


Masyarakat Kristen

      Pandangan Kristen tentang wanita hasil dari konferensi agama Kristen pada abad ke-5 merumuskan bahwa wanita itu tidaklah mempunyai jiwa dan kediamannya adalah di neraka. Hanya ada satu kekecualian yaitu terhadap Maryam; ibunda Isa Almasih. Seabad kemudian, konferensi yang lain digelar dengan mengambil topic bahasan hakikat wanita, apakah dia itu manusia atau bukan. Mereka akhirnya sampai pada satu titik kesimpulan bahwa wanita adalah manusia. Wanita diciptakan sebagai pelayan dan untuk keuntungan kaum laki-laki.


Masyarakat Arab

       Melihat ke kawasan Arabia atau tepatnya di Kota Makkah tempat lahirnya ajaran Islam, kita akan menjumpai fenomena cukup memperihatinkan di zaman pra-Islam, dimana anak-anak wanita mereka tanam hidup-hidup. Pada masa Jahiliyah (sebelum Islam), masyarakat Arab memandang wanita sebagai mahluk yang berkedudukan sangat rendah. Bangsa Arab jahiliyah menerima kehadiran wanita dengan dua cara yang berbeda. Mayoritas mereka menguburkan anak wanitanya hidup-hidup sebab seiring dengan itu mereka beranggapan terkubur jugalah segala aib yang menimpa dirinya. Tradisi lainnya, yaitu dengan tetap memelihara anak itu, namun dilakukannya secara tidak adil dan jauh dari nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan).

       Nasib para isteri pada masa Arab jahiliyah tidak ubahnya seperti harta benda, yang juga dapat diwariskan. Al-Bukhari menceritakan bahwa bila seorang laki-laki (suami) meninggal dunia, maka anak laki-lakinya mempunyai hak penuh atas ibu mereka (isteri laki-laki yang meninggal). Salah seorang anaknya mungkin justru menikahinya, bila dia (wanita itu) mau. Atau dapat juga mereka menikahkannya dengan laki-laki yang mereka sukai. Mereka bahkan mungkin mencegahnya untuk menikah lagi. Apabil ia hendak menikah lagi, maka harus membayar sejumlah uang kepada mereka.(Said Abdullah, 1994 : 16).

         Perempuan pada masa jahiliyah tersebut berada pada tingkat kehinaan dan kerendahan. Mereka menjadi symbol keterbelakangan dan kehinaan. Mereka hidup sebagai sampah dan kotoran masyarakat, dapat diwariskan sebagai sisa harta warisan dan tidak memiliki hak untuk menerima warisan kerabatnya. Seorang suami memiliki hak untuk menikahi perempuan manapun tanpa batasan dan keterikatan apapun, sedangkan si perempuan dihalang-halangi dan dilarang untuk menikah, apabila sang suami telah meninggal dunia atau dia diceraikan, sehingga dia takkan pernah menikah lagi selamanya.


Kedudukan Perempuan Setelah Datangnya Islam


        Islam datang dengan keadilan dan persamaan antara lelaki dan perempuan serta menghormati harkat dan martabatnya. Dengan itu, Islam memperluas ruang peran dan memenuhi hak-hak perempuan secara sempurna, menghargai kemanusiaan, kemuliaan dan derajatnya, mengakui keterlibatannya bersama lelaki di segala bidang pekerjaan dan tugas-tugasnya, kecuali pekerjaan dan tugas-tugas yang tidak sesuai dengan harkat dan kodratnya sebagai perempuan.


Dari ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah SAW, tidak sulit kita membuktikan betapa ajaran Islam benar-benar memperhatikan persoalan perempuan dan menempatkan mereka pada tempat yang terhormat. Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan nilai kemanusiaan antara lelaki dan perempuan.

       

Berikut ini ungkapan sebagian kecil dari ajaran Islam yang berkaitan dengan posisi atau kedudukan perempuan menurut ajaran Islam :

Perempuan dan Hakikat Kemanusiaan

Hak- Hak Asasi Perempuan Dalam Islam

Kedudukan Perempuan Dalam Rumah Tangga

Kedudukan Perempuan Di Bidang Pendidikan dan Politik


D. Penutup


Malah dalam Al-Qur’an ada surat An-nisa’ (perempuan) tidak ada surat Ar-Rijal (Laki-laki), kita mengenal Ummul Qur’an, Ummul Fatihah, Ibu Kota tidak ada bapak kota, Ibu jari tidak ada bapak jari. Kita di Indonesia malah untuk calon DPR RI, DPRD, Kabupaten dan Kota harus ada 10% dari kaum perempuan.


Tokoh-tokoh Perempuan :

Banyak tokoh-tokoh perempuan ada :

-Aden Rajeng Kartini

-Cut Nyak Dien

-Rasuna Said

-Rahma El Yunusiah

-Dll..


E. Kesimpulan

Bahwa Kemerdekaan Perempuan dalam Prespektif Islam sangat penting dari segala aspek yang telah diuraikan diatas.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS