Ticker

6/recent/ticker-posts

Perempuan Sebagai Simbolik Minangkabau

Suci Rahmadania Putri
Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
     
Masyarakat Indonesia terdiri dari aneka ragam kebudayaan daerah yang sedang terlibat dalam proses pembangunan. Pada hakikatnya merupakan proses pembangunan di segala sektor kehidupan masyarakat akan keluhan nilai dan gagasan vital yang ada dan berlaku didalam masyarakat. Keanekaragaman pada hakikatnya dijalin oleh benang emas yang mewujudkan kesatuan tercermin didalam azas Bhineka Tunggal Ika. Keaneka ragaman dalam kesatuan berguna untuk pembangunan bangsa. Corak ragam budaya di indonesia dengan unsur-unsurnya adalah kebudayaan di setiap daerah-daerah di Indonesa. Karena pada kenyataannya pada kebudayaan tersebut terwujud nilai-nilai norma dan aturan yang menjadi panutan didalam penyusunan  sistem-sistem sosial didalam anggota masyarakatnya.
      Budaya minangkabau adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau dan berkembang di seluruh kawasan daerah perantauan Minangkabau. Budaya ini merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Budaya ini memiliki sifat egaliter, dekokratis, dan sintetik, yang menjadi anti-tesis bagi kebudayaan besar lainnya, yakni budaya Jawa yang bersifat feodal dan sinkretik.
         Orang Minagkabau merupakan salah satu di antara kelompok suku bangsa yang menempati bagian tengah pulau Sumatera sebagai kampung halamannya. Orang Minangkabau sekarang merupakan 3% dari seluruh penduduk Indonesia yakni mereka yang menempati Sumatera Barat dan salah satu kelompok suku bangsa terbesar keempat sesudah Jawa, Sunda, dan Madura. Karena pada hakikatnya banyak masyarakat Minangkabau yang pergi merantau untuk mencari kehidupan dan melatih diri agar selalu kuat hidup jauh dari kampung halaman, dan juga merantau telah menjadi tradisi bagi masyarakat minagkabau sejak dulunya baik yang laki-laki maupun perempuan. Tradisi menyatakan bahwa orang Minagkabau menamai negeri mereka “Alam Minangkabau”. Mereka memahaminya jauh lebih luas dari batas-batas Sumatera Barat dewasa ini, secara kultural alam Minagkabau meliputi Sumatera bagian tengah, pesisir barat, dan timur pulau Sumatera.
           Sistem sosial pada suku bangsa Minangkabau sebenarnya dapat dibagi berdasarkan umur, pendidikan, pelapisan sosial, jenis kelamin dan lain-lainnya. Selain itu ada lagi yang dikategorikan berdasarkan lokasi, yakni daerah inti di dataran tinggi pegunungan disebut “darek”, daerah “pesisir”. Pada masyarakat Minagkabau keragamannya terletak pada “nagari”, yang pada dasarnya berdiri sendiri. Didaerah Minangkabau asli, masyarakatnya diikat oleh tali darah dan kekerabatan serta daerah  (ulayat).  Sistem sosial berdasarkan jenis kelamin terbagi atas kategori pria dan wanita, yang dalam kebudayaan suku bangsa Minagkabau mempunyai kedudukan dan peranan tertentu. Wanita dalam aturan adatnya disebut “Limpapeh rumah nan gadang” maksudnya mempunyai peran dalam menentukan garis keturunan dan pewarisan melalu garis keturunan ibu atau disebut dengan “Sistem Matrilineal”, Dimana di  Minagkabau seorang anak akan mengikuti suku dari sang ibu  dan bukan dari suku ayahnya.  Menurut Rogers, 1978 ia menyatakan bahwa untuk mengerti sebaik-baiknya kedudukan wanita dalam suatu kebudayaan tentu adalah dengan mempelajari hubungan antara kedua kelompok kelamin yang berbeda yaitu pria dan wanita.
           Secara kodrati perempuan dan laki-laki disisi adat Minagkabau tidak bisa disamakan, sebab bila disamakan kedudukannya akan bertentangan dengan ajaran “Adat  basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Dalam adat Minang, kedudukan dan peran  perempuan itu sangat besar dan sangat diharapkan keberadaannya. Menurut ajaran adat Miangkabau tercermin dalam perlambangan “Alam takambang jadi guru”  bundo kanduang termasuk orang berjinih dalam nagari Minangkabau. Peranan wanita yang disebut “bundo kanduang” mempunyai tumpuan harapan generasinya terhadap wanita. Bundo kandung berarti ibu sejati atau ibu kandung akan tetapi secara makna bundo kandung adalah pemimpin perempuan di Minangkabau yang menggambarkan seorang perempuan bijaksana yang membuat adat Minangkabau lestari semenjak zaman sejarah “Minanga Tamwan hingga zaman Minagkabau”. Gelar bundo kanduang diwariskan secara turun temurun di Minagkabau sebagaiman pepatah “Bundo kandung limpapeh rumah nan gadang. Amban puruak pegangan kunci.amban puruak aluang bunian. Pusek jalo kumpalan tali. Hiasan dalam nagari” yang artinya seorang perempuan Minangkabau berfungsi sebagai penyangga rumah gadang, penjaga harta pusaka,kunci penyelesaian masalah, pemersatu perbedaan dan lambang moralitas masyarakat Minangkabau. Dahulunya perempuan atau bundo kanduang dianggap sebagai ratu atau hiasan didalam rumah gadang oleh laki-laki atau para mamak di kaumnya.
         Kedudukan dan peran wanita Minangkabau diatur dan ditata oleh “adat”. Adat menata tingkah lakunya dalam sistem sosial, sistem kekerabatan, garis keturunan, batas lingkungan pergaulan antar kerabat dan prinsip hubungan keturunan dan kedudukan harta pusaka dan pewarisannya melibatkan kaum wanita. Khususnya wanita Minagkabau dikenal sebagai penentu garis keturunan dan pewarisannya, suami yang datang menetap kerumah istrinya. Karena adanya perkawinan dan wanita dikenal sebagai pemegang kunci utama dirumah (gadang) nya. Besarnya peranan wanita dalam pekerjaan rumah tangga, keluarga, saparuik, suku, dan nagari dengan memperhatikan wewenang kelusrga terhadap rumah tangga dan sebaliknya serta sumbangannya terhadap kehidupan masyarakat desa atau kampungnya. Namun pada saat sekarang tidak sedikit dapat dilihat bahwa telah banyak wanita di ranah Minagkabau telah  banyak memasuki dunia pekerjaan untuk menambah penghasilan dari rumah tangganya. Tidak sesuai dengan zaman dahulunya dimana seorang wanita harus berada dirumah untuk mengurus rumah (gadang) nya dan juga mengurus anak-anaknya.
         Tidak mengherankan mengapa perempuan di Minangkabau di satu sisi disanjung-sanjung keberadaanya sebagai bundo kanduang. Tetapi disisi lain perempuan di Minangkabau kehidupannya kian terpuruk dan terdesak oleh himpitan ekonomi, dieksploitasi untuk tujuan ‘seksualitas’, estetika pertunjukan seni, korban kekerasan, dan psikotropika atau zat auditif lainnya. Perempuan berkonflik dengan suami dan hukum, dan bekerja malam untuk menambah penghasilan rumah tangga “atas desakan ekonomi rumah tangga”. Hal ini merupakan alasan mengapa kasus erotisme perempuan memperoleh penanganan estetika yang layak, solutif, dan kondusif dalam teori sistem adat dan estetika di Minangkabau.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS