Gerakan Global Climate Strike pertama kali yang dipelopori oleh Greta Thunberg pada tahun 2019 dan telah dilakukan oleh jutaan orang di 150 negara. Di Indonesia, khususnya di Jakarta, aksi ini menandai pentingnya penanganan serius krisis iklim dengan dukungan lebih dari 50 komunitas. Secara nasional, gerakan Global Climate Strike diselenggarakan di 18 kota. Aksi yang di awali pada tahun 2019 ini menandakan bahwa krisis iklim telah menjadi perhatian bagi generasi muda Indonesia dan menjadi titik awal perjuangan mereka dalam menuntut tanggapan konkret dari pemerintah.
Pada tahun-tahun berikutnya, gerakan iklim ini semakin menguat. Menurut Greenpeace Indonesia, kaum muda yang tergabung dalam komunitas Bumi Butuh Aksi (BBA), menggelar unjuk rasa besar pada 23 September 2022, dengan ribuan orang dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul di Jakarta untuk menyuarakan keresahan terhadap ancaman krisis iklim. Aksi ini dikatakan sebagai bentuk ekspresi kekecewaan publik terhadap sikap pemerintah yang abai dan bahkan mengadopsi solusi-solusi palsu menghadapi krisis. Dalam orasinya, musisi Oscar Lolang menggambarkan polusi udara Jakarta sebagai simbol kegagalan kebijakan (Something must be done). Gerakan GCS 2022 diikuti lebih dari 80 organisasi anak muda dan kelompok anak muda dari berbagai wilayah di Indonesia, menuntut agar isu lingkungan dan iklim menjadi prioritas nasional. Di wilayah lain, generasi muda juga bersuara, misalnya pada 3 Maret 2023, ratusan pemuda di Medan, Sumatera Utara, menggelar aksi Global Climate Strike, berorasi dan membaca puisi di Titik Nol Kota Medan. Selain itu, di banyak kota besar dan daerah pesisir, siswa sekolah, mahasiswa, masyarakat adat, bahkan pekerja migran ikut turun ke jalan. Mereka membawa poster dan spanduk berisi tuntutan penanganan krisis iklim, dari menolak tambang batu bara hingga mencegah kenaikan muka air laut.
Tuntutan GCS di Indonesia menjadi semakin konkret. Pada aksi 3 Maret 2023, para pelajar dan mahasiswa di Jakarta berjalan kaki dari Balai Kota ke Patung Kuda dan mengumandangkan tiga tuntutan utama. Mereka mendesak pemerintah segera menyatakan darurat iklim, memasukkan keadilan iklim ke dalam agenda kampanye Pemilu 2024, serta menolak segala bentuk “solusi iklim palsu” yang hanya menguntungkan elit. Serupa dengan itu, pada GCS Bandung tahun 2023 menuntut pemerintah kota terhadap kebijakan pro-lingkungan, bukan hanya melayani investasi ekploitasi sumber daya alam. Seluruh aksi ini didasari oleh data dari WMO yang mencatat adanya kenaikan suhu global yang sudah mencapai +1.2°C, yang mengancam stabilitas pangan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat. Dengan sikap kritis, generasi muda menolak pencitraan hijau (greenwashing) dan meminta jaminan transisi energi bersih yang adil.
Namun sayangnya, respons dari pemerintah seringkali dinilai tidak sejalan dengan tuntutan tersebut. Aktivis mengkritik bahwa kebijakan iklim masih jauh panggang dari api, berbagai kelulusan izin pertambangan dan megaproyek terus berjalan tanpa memperhatikan dampak ekologis. Tahun 2024, aksi GCS di Jakarta diwarnai oleh adanya represi tidak langsung, sekelompok orang tak dikenal, yang diduga merupakan preman bayaran yang mencoba membubarkan paksa aksi di Taman Menteng. Mereka meneriakkan “bubar” dan merampas poster, pengeras suara, bahkan patung Presiden palsu yang dibawa peserta. Anehnya, polisi setempat hanya menyaksikan tanpa menghentikan kekerasan tersebut. Komnas HAM dan lembaga sipil mengecam pasifnya aparat dalam menjaga kebebasan berekspresi.
GCS di Indonesia dinilai berhasil membunyikan isu krisis iklim di level nasional. Gerakan ini memaksa partai dan calon legislatif bicara tentang iklim dalam kampanye. Desakan darurat iklim dan RUU Keadilan Iklim kini menjadi semakin tidak bisa dihindari. Kaum muda pun makin terlibat dalam penentuan kebijakan, mulai dari aksi jalanan, diskusi publik, hingga demo lingkar politisi. Seperti diungkapkan aktivis Greenpeace Hadi Priyanto, anak muda menolak hanya menjadi angka di kotak suara, mereka menuntut suara mereka dapat didengar secara nyata. Gerakan ini juga membuka mata masyarakat luas, seperti orang tua, pekerja, dan kelompok rentan yang ikut merasakan bahwa penanggulangan perubahan iklim adalah masalah kemanusiaan global, bukan sekadar isu politik.
Dengan demikian, aksi Global Climate Strike di Indonesia mencerminkan adanya tekad kolektif menyelamatkan bumi dan masa depan. Jika pemerintah belum memadai menanggapi konteks darurat ini, maka suara jalanan akan terus ada. Aspirasi anak muda untuk keadilan iklim adalah cermin harapan sekaligus peringatan bahwa kebijakan harus berubah, atau pemerintah akan kehilangan kepercayaan rakyat.





























0 Comments