Oleh: Ahmad Falih Lantangfakultas ilmu politik universitas Andalas Padang
Keterkaitan antara musik dan gerakan sosial di Indonesia mengalami perubahan perubahan dalam beberapa tahun terakhir.
Dari kesakralan himne Reformasi 1998 hingga berubah menjadi agresif dan penuh dengan kesan sinis di era digital seperti sekarang.
Perubahan ini terjadi akibat dari psiko-sosial para pemuda yang telah bergeser tanpa adanya batasan. Fenomena ini dapat dilacak dari kekecewaan struktural yang berlapis dan berlangsung secara terus menerus.
Generasi muda saat ini, yang tumbuh dalam era pasca-Reformasi, tidak lagi memandang narasi-narasi heroik masa lalu sebagai sumber inspirasi tunggal. Sebaliknya, mereka menghadapi realitas yang kompleks, dimana demokrasi tidak kunjung memberikan kesejahteraan yang substantif, sistem politik yang dinilai masih dikendalikan oleh oligarki lama, serta lingkungan digital yang mempertontonkan kesenjangan antara janji dan praktik.
Kondisi psiko-sosial yang sarat dengan kekecewaan, kemarahan yang terpendam, dan rasa frustasi inilah yang kemudian menemukan saluran ekspresinya yang paling jitu melalui musik.
Jika melihat dari apa yang terjadi pada tahun 1998, lagu Darah Juang menjadi lagu yang wajib untuk dinyanyikan disetiap aksi demonstransi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat luas. Sebagai lagu yang bertempo lambat, lagu ini menghadirkan suasana yang suci di antara demonstran. Lirik dalam lagu tersebut juga menggunakan kata-kata yang penuh cukup puitis dan sarat akan makna. Dapat dilihat dari lirik “Berjuta rakyat bersimbah rugah”, yang bermakna bahwa penderitaan yang dirasakan oleh rakyat akibat dari kekerasan atau penindasan yang dilakukan oleh rezim. Pada masa itu, ketika Darah Juang dinyanyikan, maka seluruh massa aksi akan duduk dengan menundukkan kepala, serta mengangkat kepalan tangan ke atas. Setiap kata yang diucapkan penuh dengan keyakinan akan kebenaran moral.
Mahasiswa saat itu memandang diri mereka sebagai Agent of Change, suatu konsep yang menuntut pendekatan demonstrasi yang serius, puritan, dan berjarak dari budaya populer yang dianggap tidak seuai tuntutan. Terdapat jarak yang jelas antara budaya pop yang dianggap hanya sebatas hiburan semata, berbeda dengan musik protes seperti Darah Juang yang dilihat sebagai suatu hal sakral. Namun semua anggapan itu berbeda dengan sekarang, terutama Pada tahun 2019, dimana pada saat itu musik pergerakan diisi oleh band-band yang memiliki gaya yang jauh lebih bebas dibandingkan musik-musik pada masa Reformasi 1998. Band seperti .Feast menjadi salah satu contoh grup musik yang sepenuhnya meruntuhkan batasan yang ada selama ini. Generasi inilah yang memperkenalkan sinisme, satire, meme, dan instrumental rock yang keras ke dalam gerakan perlawanan. Artinya, politik tidak lagi menjadi tempat suci yang harus dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Akan tetapi menjadi bagian dari kekacauan eksistensial yang harus dihadapi dengan tawa getir atau kemarahan yang meledak-ledak.
Revisi UU KPK dan RKUHP memjadi pemicu munculnya gerakan mahasiswa di tahun 2019. Hal ini juga menjadi penanda masuknya .Feast sebagai narrator utama atas ketidakpuasannya pemuda pada masa itu. Berbeda dengan tahun 1998, gerakan yang terjadi pada tahun 2019 diiringi oleh rock yang agresif, terdistorsi, dan penuh kritik sosial yang spesifik dari .Feast. Ini mencerminkan kekecewaan bagi generasi muda yang merasa dikhianati oleh janji reformasi. Lagu Peradaban menjadi seperti lagu wajib ketika terjadinya gerakan mahasiswa yang dimulai dari tahun 2019, menggambarkan tentang keputusasaan terhadap meningkatnya intoleransi dan konflik horizontal.
Lagu Peradaban dibuka dengan lirik "Bawa pesan ini ke persekutuanmu, tempat ibadah terbakar lagi", yang dimana dengan tegas ingin menunjukkan tentang trauma yang terus berulang. Kemudian lirik lain seperti, "Karena peradaban takkan pernah mati, walau diledakkan diancam tuk diobati", yang seakan menunjukkan bahwa pluralisme Indonesia akan bertahan melampaui radikalisme. Dari lirik ini menunjukkan bahwa lagu ini memosisikan kebudayaan dan kearifan lokal sebagai entitas yang lebih tua dan lebih tangguh dibandingkan pada ideologi yang mencoba ditanamkan secara paksa. Kemudian lirik "Hidup tak sependek penis laki-laki, jangan coba atur gaya berpakaian kami", menggambarkan penolakan keras terhadap upaya negara untuk mengatur moralitas dan ranah privat.
Jika Peradaban menggambarkan tentang konflik horizontal, maka Berita Kehilangan menyuarakan tentang kekerasan yang kerapkali dirasakan oleh masyarakat. Lagu ini mengkecam terhadap hilangnya nilai-nilai kemanusiaan, di mana pembunuhan menjadi cara yang sering dilakukan oleh negara untuk menyelesaikan masalah. Hal ini dapat dilihat dari adanya narasi yang menceritakan seorang ibu yang sedang berduka. Ini dikaitkan dengan keluarga korban protes tahun 2019 seperti yang terjadi di Kota Kendari dan beberapa wilayah di Jakarta yang menghadapi represi polisi tanpa akuntabilitas yang jelas. Kemudian lirik "Takkan ada ketenteraman di kamarmu", menjadi bentuk dari kutukan terhadap semua ketidak adilan yang dirasakan.
Selain membicarakan mengenai isu-isu politik dan kemanusiaan, .Feast juga membicarakan tentang lingkungan. Tarian Penghancur Raya menjadi bentuk dari protes terhadap kerusakan alam yang terjadi selama ini. "O2 dijual oleh negara", menjadi bentuk kecaman terhadap kerusakan alam yang terjadi secara sistematis hanya untuk keuntungan segelintiran golongan. Merujuk dari kabut asap yang muncul akibat kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan akibat dari Perkebunan kelapa sawit. Selain itu, lagu ini juga mengaitkan kerusakan alam dengan terancamannya kearifan lokal. “Kearifan lokal yang dibungkam”, merupakan lirik yang secara spesifik ditujukan untuk tari Gandrung dari Banyuwangi yang dilarang akibat dari tekanan dari ormas keagamaan. Ini bentuk dari penyakit sosial yang menyebabkan hilangnya ketentraman, serta mengancam keberagaman hayati dan budaya.
Selain ketiga lagu tersebut, lagu Gugatan Rakyat Semesta menjadi lagu yang selalu diputar disaat terjadinya demonstrasi mahasiswa, terutama ketika aksi Peringatan Darurat. Kendati secara naratif lagu ini berkisah tentang tokoh fiksi yang bernama Ali, pesannya mengenai penyalahgunaan kekuasaan dan perlawanan rakyat terhadap rezim diterjemahkan sebagai bentuk sindiran langsung terhadap praktik politik dinasti dan konsolidasi yang terjadi selama Pemilu tahun 2024. Melalui platform digital seperti TikTok dan YouTube, lagu ini berfungsi sebagai soundtrack visual aksi unjuk rasa, khususnya untuk gerakan Kawal Putusan MK. Dalam konteks ini, teriakan “Rapatkan barisan petir di kepalan tangan” yang terdapat dalam liriknya menjadi sebuah seruan kolektif yang optimis, serta mewakili keresahan yang dirasakan oleh massa aksi.
Peran .Feast dalam gerakan mahasiswa Indonesia tahun 2019, 2024, dan 2025 jauh melampaui fungsinya sebagai band yang menhibur masyarakat. Mereka menjadi penyambung dari semua keresahaan yang dirasakan oleh masyarakat bayak. Melalui lagu Peradaban dan Berita Kehilangan, mereka menggambarkan intoleransi dan kekerasan negara dengan analisis yang tajam. Pada 2024, mereka menjembatani kesenjangan antara pertunjukan dan aktivisme melalui gerakan visual Peringatan Darurat dan lagu Gugatan Rakyat Semesta.
Berbeda dengan kesatuan tunggal dan khidmat yang terjadi pada lagu Darah Juang tahun 1998, perlawanan tahun 2020-an terfragmentasi, bising, dan tertanam dalam ekosistem budaya pop digital dan komersial. Namun, justru dalam kontradiksi inilah kekuatan .
Feast terletak, mereka membuktikan bahwa di Indonesia, mosh pit adalah situs kontestasi politik yang sama validnya dengan parlemen jalanan, dan sebuah lagu bisa menjadi dakwaan paling keras terhadap kegagalan negara.





























0 Comments