Ticker

6/recent/ticker-posts

Di Balik Penataan, Ada Suara Pedagang yang Menuntut Didengar


Oleh : Putri Vanessa Hulu Mahasiswi Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas


Penataan Pasar Raya Padang kembali menjadi isu hangat yang menyentuh nadi kehidupan ekonomi masyarakat kota. Pemerintah Kota Padang mempercepat relokasi pedagang ke Pasar Raya Fase VII, sebuah langkah besar yang dikemas sebagai upaya modernisasi kawasan pusat perdagangan. 

Publik menyaksikan kunjungan Wali Kota yang diberitakan secara masif, menghadirkan kesan kuat bahwa pemerintah ingin memastikan proyek ini berjalan tanpa jeda. 


Namun di balik kesungguhan merapikan ruang fisik, ada realitas lain yang bergerak perlahan namun nyata: kisah-kisah pedagang yang sedang menata ulang strategi hidup, ekonomi, dan harapan dalam ritme yang tidak selalu sejalan dengan kecepatan kebijakan.

Banyak pedagang mengaku harus beradaptasi secara mendadak—omzet yang menurun drastis, pelanggan yang belum tentu menemukan lokasi baru, hingga kecemasan menghadapi masa peralihan yang panjang. 


Cerita-cerita ini bertebaran dalam laporan lapangan dan pemberitaan media lokal, menegaskan bahwa penataan kota tidak hanya soal estetika dan kerapihan, tetapi juga soal kehidupan yang terguncang. 


Ada lapisan emosional dan sosial yang menyertai proses pemindahan ini, sesuatu yang tidak bisa dianggap sebagai pelengkap belaka.

Penataan kota tentu bukan sesuatu yang salah. Tetapi penataan yang berjalan tanpa ruang dialog justru menimbulkan rasa ditinggalkan. 


Dalam teori gerakan sosial Sidney Tarrow, warga cenderung memperlihatkan reaksi kolektif ketika kebijakan publik menyentuh langsung kehidupan mereka tanpa disertai kanal partisipasi yang memadai. 


Bukan karena mereka menolak perubahan, tetapi karena perubahan datang tanpa jeda untuk mendengar suara mereka. 

Fenomena itu mulai terlihat di Padang. Pedagang mengadu ke DPRD, saling berkumpul membicarakan nasib bersama, hingga memanfaatkan media untuk menyampaikan keresahan. 


Gerak-gerak ini adalah bentuk awal mobilisasi, sebuah konsekuensi wajar dari kebijakan yang bergeser menjadi pengalaman personal yang tidak menyenangkan.

Dalam sudut pandang McCarthy dan Zald, sebuah kelompok semakin solid ketika memiliki jaringan sosial yang kuat dan dukungan internal yang terbangun dari pengalaman bersama. 

Komunitas pedagang Pasar Raya memiliki keduanya, sehingga dinamika yang muncul tak dapat dipisahkan dari kondisi struktural yang mendorong mereka mengorganisir diri. 

Di titik ini, pemerintah perlu lebih peka bahwa penataan ruang juga sedang membangunkan energi sosial yang bergerak dari bawah.

Padahal, secara regulatif pemerintah Kota Padang sebenarnya memiliki dasar hukum yang progresif. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima bukan hanya memuat ketentuan penertiban, tetapi juga mewajibkan pemerintah melakukan pemberdayaan untuk memastikan keberlanjutan ekonomi pedagang setelah dipindahkan. 


Secara konsep, relokasi bukan sekadar memindahkan lokasi, melainkan memindahkan kehidupan dan memastikan kehidupan itu tetap dapat bertahan. Namun sebagaimana dicatat dalam berbagai kajian dan laporan lapangan, implementasi aturan ini tidak selalu mengikuti semangat yang tertulis di atas kertas. Kesenjangan antara norma dan praktik membuat pedagang merasakan ketidakpastian yang justru memperlemah fondasi sosial mereka.

Risiko lainnya adalah munculnya ketegangan yang semestinya dapat dicegah. Charles Tilly mengingatkan bahwa ketika saluran dialog tertutup atau dirasakan tidak efektif, warga cenderung mencari bentuk ekspresi yang lain, dari protes hingga tekanan politik. Gelombang kecil dari kecemasan pedagang hari ini bisa tumbuh menjadi aksi kolektif yang lebih besar ketika rasa tidak didengar semakin kuat. Semua ini sebenarnya dapat diminimalkan bila komunikasi dibangun lebih terbuka dan empatik sejak awal.

Pemerintah tentu memiliki niat membawa Pasar Raya menuju wajah yang lebih modern, tertib, dan representatif. Itu tujuan baik yang patut diapresiasi. Namun modernisasi tidak boleh melupakan mereka yang justru menjadi jantung dari pasar itu sendiri. Pedagang kecil adalah penggerak ekonomi rakyat, penyambung hidup ratusan keluarga, dan bagian integral dari identitas Kota Padang. Yang mereka minta tidak berlebihan: ruang untuk didengar, kesempatan untuk diberdayakan, dan jaminan bahwa kebijakan tidak memutus mata pencaharian mereka.

Ada banyak langkah sederhana namun berpengaruh yang dapat ditempuh pemerintah: membuka forum dialog rutin yang benar-benar menghargai pendapat pedagang, bukan hanya sosialisasi satu arah; memberikan keringanan retribusi pada masa adaptasi; membantu promosi lokasi relokasi agar arus pembeli tidak terputus; serta mendampingi pedagang yang mengalami penurunan omzet secara signifikan. Kebijakan seperti ini bukan sekadar memperhalus proses penataan, tetapi memastikan bahwa keadilan sosial hadir dalam setiap tahap pembangunan.

Pada akhirnya, kota hanya akan berkembang jika warganya dilibatkan sebagai mitra, bukan sekadar objek kebijakan. Penataan fisik memang penting, tetapi memastikan manusia yang menghuni ruang tersebut tetap dapat hidup dan berkembang jauh lebih penting. Pasar bukan sekadar deretan bangunan; ia adalah ruang sosial yang setiap hari berdenyut oleh interaksi, kerja keras, dan harapan para pedagang. Di balik rencana besar menata ulang ruang, terdapat kehidupan yang sedang ditata ulang pula—dengan ketidakpastian, kegelisahan, dan impian yang harus tetap dihidupkan.

Di tengah semua itu, satu kalimat sederhana terus diulang para pedagang: “Kami ingin didengar.” 


Jika pemerintah menjawab kalimat ini dengan empati, maka penataan Pasar Raya Padang tidak hanya menjadi proyek merapikan kawasan, tetapi menjadi proses memelihara martabat dan keadilan bagi mereka yang selama ini menjaga denyut ekonomi kota.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS