Opini Oleh : Aginta Septiana Tarigan (Mahasiswi Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, Padang)
Kasus kontroversi bajaj online di Pematangsiantar yang terjadi pertengahan September 2025 menunjukkan betapa rapuhnya sistem koordinasi antar instansi pemerintah daerah kita.
Dalam kurun waktu 24 jam, Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Pematangsiantar mengeluarkan dua pernyataan yang saling kontradiktif, mencerminkan ketidaksiapan birokrasi dalam menghadapi inovasi transportasi modern.
Saya mengamati dengan seksama bagaimana peristiwa ini berkembang. Pada Senin(15/9/2025), Kepala Bidang Hubungan Darat Dishub Pematangsiantar, Agresa Affandi, dengan percaya diri mengakui bahwa pihaknya telah mengeluarkan rekomendasi izin usaha untuk bajaj online. Ia bahkan memberikan arahan operasional yang spesifik.
"Kami hanya mengeluarkan rekomendasi izin usaha sebagai syarat izin usaha (Bajaj) ke Dinas
Perizinan. Kalau izin operasionalnya bukan kami yang keluarkan," ujar Agresa saat itu, seperti dikutip Kompas.com.
Namun, plot twist yang tidak masuk akal terjadi sehari kemudian. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD pada Selasa (16/9/2025), Plt. Kadishub Pematangsiantar, Alwi Lumban Gaol, justru menyangkal keras bahwa Dishub pernah mengeluarkan izin operasional bajaj.
Bahkan Satlantas Polres Pematangsiantar mengaku tidak mengetahui adanya izin resmi.
Lebih ironis lagi, Agresa Affandi yang sehari sebelumnya mengakui mengeluarkan rekomendasi untuk bajaj, tiba-tiba mengubah ceritanya. Kali ini dia menyebut bahwa rekomendasi yang pernah dikeluarkan pada 9 Juli 2025 bukan untuk bajaj, melainkan untuk CV Bestari dengan jenis transportasi berbeda.
Dari sudut pandang teori kebijakan publik, kasus ini menunjukkan kegagalan dalam implementasi model Intergovernmental Relations (IGR) yang dikemukakan oleh Deil S. Wright. Teori ini menekankan pentingnya koordinasi horizontal dan vertikal antar instansi pemerintah dalam implementasi kebijakan.
Wright mengidentifikasi tiga pola IGR: coordinate-authority model, inclusive-authority model, dan overlapping-authority model. Kasus bajaj Pematangsiantar menunjukkan kegagalan dalam overlapping-authority model, di mana beberapa instansi memiliki kewenangan yang saling tumpang tindih namun tidak terkoordinasi dengan baik.
Selain itu, kasus ini juga mencerminkan kelemahan dalam Policy Implementation Theory yang dikemukakan oleh Pressman dan Wildavsky.
Mereka menekankan bahwa implementasi kebijakan yang sukses memerlukan "perfect implementation" yang melibatkan komunikasi yang jelas, koordinasi yang baik, dan komitmen dari semua pihak yang terlibat. memperlihatkan risiko nyata dari operasional tanpa persiapan matang. Namun, tampaknya pejabat terkait lebih sibuk saling klarifikasi daripada mengevaluasi keamanan operasional.
Saya berpendapat bahwa kecelakaan di hari pertama operasional bukanlah kebetulan. Ini adalah konsekuensi logis dari kebijakan yang terburu-buru tanpa kajian mendalam terhadap aspek keselamatan dan kesiapan infrastruktur.
Komentar Tunggul Sinanga, warga Pematangsiantar, sangat merepresentasikan keresahan masyarakat. "Lucu ya apa 500 unit sedikit itu; heran juga kita kota siantar sudah macet dan jelas itu akan semakin mengempit beca dan angkot seharusnya walikota harus berani menolak karena di Siantar sudah kelebihan angkutan, beginilah kepala daerah tidak mempunyai empati sama becak dan angkot yg sudah ada duluan," tulis Tunggul di kolom komentar Kompas.com.
Komentar ini mengungkap dimensi sosial-ekonomi yang diabaikan pembuat kebijakan.
Hadirnya 500 unit bajaj bukan hanya soal transportasi alternatif, tapi juga ancaman terhadap mata pencaharian ribuan sopir becak dan angkot yang telah puluhan tahun mengabdi pada masyarakat Pematangsiantar.
Menurut saya, ini mencerminkan policy blindness ketidakmampuan pembuat kebijakan untuk melihat dampak komprehensif dari keputusan yang mereka buat.
Saya menilai kasus ini sebagai miniatur buruknya tata kelola pemerintahan daerah. Dishub sebagai leading sector dalam regulasi transportasi seharusnya memiliki database akurat tentang setiap izin yang dikeluarkan. Ketidakkonsistenan pernyataan dalam waktu 24 jam menunjukkan lemahnya sistem dokumentasi dan koordinasi internal.
Lebih parah lagi, keterlibatan Satlantas Polres yang mengaku tidak mengetahui izin resmi bajaj memperlihatkan fragmentasi koordinasi antar lembaga. Padahal, dalam teori Collaborative
Governance yang dikemukakan oleh Ansell dan Gash, kolaborasi antar instansi adalah kunci sukses implementasi kebijakan publik.
Kasus bajaj Pematangsiantar mengajarkan bahwa inovasi tanpa persiapan matang justru kontraproduktif. Pemerintah daerah harus menyadari bahwa kredibilitas institusi tidak dibangun dalam sehari, tapi bisa hancur dalam hitungan jam akibat inkonsistensi seperti ini.
Sebagai warga negara yang peduli tata kelola pemerintahan, saya berharap kasus ini menjadi momentum introspeksi bagi seluruh jajaran birokrasi. Masyarakat berhak mendapat pelayanan publik yang profesional, konsisten, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Operasional bajaj di Pematangsiantar seharusnya dihentikan sementara hingga seluruh aspek hukum, keselamatan, dan dampak sosial-ekonomi dikaji ulang secara menyeluruh.
Jangan sampai ambisi modernisasi transportasi mengorbankan nyawa dan mata pencaharian masyarakat
Kecelakaan bajaj merah dengan sepeda motor di Jalan Medan pada Senin malam (15/9/2025) seharusnya menjadi alarm peringatan. Video kecelakaan yang viral di media sosial
0 Comments