Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Bayangkan, lembaga negara yang tugasnya menjaga uang rakyat malah jadi tempat tawar-menawar. Itulah bayangan seram yang muncul setelah dua kasus besar, yaitu Bank BJB dan Taspen, akhirnya membuka tabir dugaan “jual-beli” laporan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
*Kasus BJB dari Rp28 miliar ke Rp222 miliar*
Awalnya, BPK Jawa Barat melaporkan kerugian negara di Bank BJB cuma Rp28 miliar. Tapi ketika KPK turun tangan, angka itu melonjak jadi Rp222 miliar. Kok bisa?
Jawabannya sederhana, karena BPK pakai metode sampling dan materialitas, KPK pakai audit forensik plus jejak rekening. Bedanya, KPK bukan hanya membaca kertas, tapi juga membongkar aliran uang ke agensi dan rekening perantara.
Pertanyaan yang muncul, apakah benar hasil audit BPK sengaja “dipoles” supaya kelihatan kecil? Sepertinya iya!
Dugaan ini makin kuat ketika KPK memanggil Ahmadi Noor Supit, Anggota V BPK, untuk diperiksa. Nama Ahmadi makin ramai karena dia juga pernah jadi Komisaris BJB, itu posisi ganda yang jelas rawan konflik kepentingan.
*Kasus Taspen libatkan nama anggota BPK disebut di sidang*
Belum selesai publik tercengang, di sidang kasus korupsi investasi fiktif PT Taspen senilai Rp1 triliun, muncul lagi nama eks Anggota BPK Achsanul Qosasi. Tak tanggung-tanggung, ada juga sebutan “A7”, yang diduga mengacu pada Daniel Lumban Tobing, kala itu Anggota VII BPK (sekarang Anggota II).
Kesaksian di pengadilan bahkan menyebut ada “penyampai pesan ke BPK” yang dibayar ratusan juta rupiah untuk menyampaikan titipan. Kalau ini benar, maka BPK bisa jadi sudah disusupi “broker” yang memperdagangkan laporan negara. Ini kondisi yang sudah sangat berbahaya!
*Polanya sama yakni ada perantara, ada oknum*
Dua kasus ini punya pola mirip, yaitu:
1. Ada pejabat atau pengurus bank/BUMN yang jadi pemain utama.
2. Ada pihak ketiga, agen iklan, debitur, atau perantara yang mengalirkan dana.
3. Ada oknum auditor BPK yang diduga membantu “melunakkan” temuan.
Inilah yang disebut audit capture, yakni ketika pengawas justru ikut dikendalikan pihak yang diaudit. Ini sangat merendahkan martabat BPK!
*Kenapa ini berbahaya?*
Kalau BPK bisa diintervensi, artinya uang rakyat tidak punya benteng lagi. Bayangkan saja, miliaran hingga triliunan rupiah bisa “hilang” di atas kertas hanya karena ada oknum yang menekan delete atau menulis ulang angka.
Ini bukan soal beda metode atau tafsir audit. Ini soal pengkhianatan terhadap amanah konstitusi!
*Apa yang harus dilakukan?*
1. KPK jangan ragu. Seret oknum anggota BPK yang disebut dalam penyidikan dan fakta persidangan. Kalau benar ada bukti aliran dana atau intervensi, harus segera diproses hukum. Toh saat ini salah satu komisioner KPK juga adalah mantan anggota BPK. Jadi seminimal-minimalnya dia tentu bisa endus model kerja buruk bekas sejawatnya.
2. BPK jangan defensif. Badan harus berani buka perbedaan antara draft dan final laporan. Publik berhak tahu, mana angka asli dan mana angka hasil “polesan”!
3. Publik harus ikut mengawal. Jangan biarkan isu ini hilang ditelan berita baru. Ingat, yang dipertaruhkan bukan hanya uang, tapi juga masa depan integritas negara.
*Penutup*
Kasus Bank BJB dan Taspen adalah alarm keras bahwa ada bau gosong di dapur pengawas keuangan negara. BPK tidak boleh berubah jadi pasar malam tempat oknum menjual laporan audit.
Maka, oknum harus segera diseret, lembaganya harus diselamatkan. Karena kalau benteng terakhir uang rakyat ikut runtuh, siapa lagi yang bisa kita percaya?





























0 Comments