Penulis: Ranovferti dan Salsa Maulida, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum, Universitas Pancasila
Apa yang terjadi jika Tanah Ulayat diperjual-belikan? Adakah dampak positifnya atau lebih banyak dampak negatifnya? Artikel ini akan mengungkapkan lebih banyak tentang hal itu.
Dalam sistem Hukum Agraria Indonesia, pengakuan terhadap Tanah Ulayat tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 UUPA “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Tanah Ulayat sendiri menurut pengertian Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya ialah “ Tanah Ulayat adalah bidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dan di dalamnya diperoleh secara turun temurun merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.” Bisa dikatakan bahwa Tanah Ulayat ialah Tanah Pusaka yang diperoleh secara turun temurun yang merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Sumatera Barat menganut sistem Matrilineal yang dimana Tanah Pusaka tersebut diberikan kepada garis keturunan Ibu.
Tanah Pusaka sendiri dibedakan menjadi dua, yakni Pusaka Tinggi dan Pusaka Rendah. Pusaka Rendah diperoleh dari hasil usaha sendiri, baik dari suami maupun istri, atau harta bersama yang diperoleh selama dalam perkawinan. Pusako Tinggi merupakan harta yang sudah ada sejak nenek moyang, diwariskan secara matrilineal (garis keturunan Ibu). Tanah Ulayat sendiri sebenarnya boleh diperjual-belikan, yang tidak diperbolehkan yakni Harta Pusako Tinggi di pindah tangankan kepada orang lain diluar Minangkabau. Kebanyakan Tanah Ulayat merupakan Harta Pusako Tinggi. Namun Tanah Ulayat sendiri diperbolehkan untuk digunakan dan diperjual-belikan menurut Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya pada Pasal 3 ayat 2 “Pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak lain yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan dan berbagi resiko dengan kaedah ‘adat diisi limbago dituang' melalui musyawarah mufakat.”
Disebutkan melalui musyawarah mufakat dapat dipergunakan Tanah Ulayat tersebut, melalui perantara Ninik Mamak kepada Masyarakat Adat. Ninik Mamak sendiri ialah orang yang di tuakan dan memiliki wibawa dalam masyarakatnya. Ninik Mamak juga menjadi penyambung lidah untuk disampaikan kepada Masyakarat Adat setempat karena Ninik Mamak disebut sebagai penghulu atau pemimpin klan dalam Masyarakat Minangkabau.
Yang terjadi jika Tanah Ulayat diperjual-belikan yakni hilangnya harta pusaka yang dimiliki oleh masyarakat, namun hal tersebut pasti sudah dirundingkan bersama dengan Ninik Mamak dan Wali Nagari bahwa akan adanya transaksi jual-beli yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang sesuai pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam hal ini, penulis melihat lebih banyak sisi positif yang di dapatkan atas Jual Beli Tanah Ulayat ini. Bisa saja sebagian orang merasakan bahwa mereka kehilangan harta turun temurun mereka yang diberikan oleh nenek moyang mereka, namun atas dasar kepentingan umum untuk memajukan Daerah Minangkabau. Dalam hal ini diberikan ganti atas pembelian Tanah Ulayat Masyarakat Adat setempat, maka daerah tersebut nantinya akan terkena dampak yang lebih baik.
0 Comments