Oleh: M. Wahyu Prima Nanda M. Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas
Menempatkan HAM dalam Bingkai Hukum yang Tegas dan AdilHak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu hal paling penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di tengah dinamika sosial dan politik yang terus berkembang, penting bagi kita untuk memastikan perlindungan terhadap HAM tidak hanya menjadi wacana, tetapi betul-betul ditegakkan dalam sistem hukum secara konkret dan konsisten.
Indonesia sebagai negara hukum sudah menjamin HAM dalam konstitusi, tepatnya dalam UUD 1945 Pasal 28A sampai 28J. Namun dalam praktiknya, masih banyak pelanggaran HAM yang luput dari penegakan hukum yang tegas.
Mulai dari kekerasan oleh aparat, diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hingga pembatasan kebebasan berekspresi, semuanya menjadi bukti bahwa hukum kita belum sepenuhnya berpihak pada keadilan bagi korban.
Salah satu contoh yang masih menjadi sorotan publik adalah kasus pembunuhan di luar hukum yang menimpa enam anggota Laskar FPI di KM 50 tol Jakarta-Cikampek pada tahun 2020.
Hingga saat ini, proses hukum dari kasus tersebut dinilai tidak transparan dan belum menyentuh aktor-aktor utama yang terlibat.
Kasus ini menunjukkan bagaimana hukum bisa kehilangan taringnya ketika berhadapan dengan pelanggaran HAM yang melibatkan kekuasaan.Bahkan di tahun 2025 ini, kasus pelanggaran HAM kembali terjadi. Pada Maret 2025, publik dikejutkan oleh dugaan penyiksaan terhadap seorang tahanan bernama Rizal Fadillah di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Keluarga korban melaporkan bahwa Rizal mengalami penyiksaan fisik berat yang menyebabkan luka serius. Foto dan video lukalukanya menyebar luas di media sosial dan memicu gelombang kritik dari masyarakat. Komnas HAM menyatakan adanya indikasi pelanggaran HAM yang layak dan bebas dari penyiksaan. Namun hingga akhir April 2025, belum ada kepastian hukum terhadap petugas rutan yang diduga terlibat. Kasus ini kembali memperlihatkan lemahnya penegakan hukum dalam sistem kita.Masalah utamanya bukan hanya pada kurangnya aturan hukum, melainkan pada lemahnya implementasi penegak hukum. Di sinilah pentingnya reformasi hukum, yang bukan hanya soal perubahan undang-undang, tapi juga soal membangun integritas lembaga penegak hukum. Ketika hukum bisa berjalan adil tanpa tebang pilih, maka perlindungan HAM pun bisa terwujud secara nyata.Selain itu, masyarakat juga perlu diberikan ruang dan perlindungan ketika menyuarakan pelanggaran HAM. Jangan sampai mereka yang melapor justru dibungkam. Negara harus menjadi pelindung, bukan penekan. Di era digital saat ini, banyak warga yang menggunakan media sosial untuk menyampaikan kritik atau ketidakadilan. Namun sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang kemudian berhadapan dengan pasal-pasal dalam UU ITE.
Ini jelas menjadi ironi dalam negara demokrasi.Dalam hal ini, penting untuk diingat bahwa hukum dan HAM bukanlah dua hal yang saling bertentangan. Namun sebaliknya, hukum adalah alat untuk menjamin terpenuhinya HAM.
Oleh karena itu, segala bentuk penegakan hukum yang melanggar HAM telah menyalahi tujuan hukum itu sendiri.Akhirnya, kita semua punya peran untuk memastikan bahwa HAM tidak hanya sebagai tulisan semata.
Dibutuhkan keberanian dari semua pihak—pemerintah, aparat, penegak hukum, dan masyarakat—untuk menjadikan hukum sebagai pelindung sejati martabat manusia.
Sebab, tanpa hukum yang berpihak pada keadilan, HAM hanya akan menjadi omong kosong belaka.
Dan jika kita benar-benar ingin menjadi bangsa yang beradab, maka sudah seharusnya hukum ditegakkan bukan hanya untuk menertibkan, tetapi juga untuk memanusiakan.
0 Comments