PEREMPUAN DALAM POLITIK DI SUMATERA BARAT
Sumatera Barat ialah provinsi yang terletak di barat pulau Sumatera. Menganut sistem kekerabatan Matrilineal dan terbesar di dunia. Melihat posisi perempuan yang begitu sentral dan besar dalam budaya minang, kedudukannya disebut sebagai Bundo Kanduang. Bundo Kanduang bukanlah jabatan resmi dalam sistem politik minang, tetapi peran Bundo Kanduang ialah sebagai sumber kebijakan bagi suatu kaum atau suku, meskipun Bundo kanduang tidak membuat atau mengambil keputusannya sendiri.
Dalam adat minangkabau, Bundo kanduang bagian daripada lembaga adat nagari yang mana disebutkan bahwa konstitusi adat minangkabau mengatakan “bundo kanduang, limpapeh rumah nan gadang, nan gadang basa batua, umbun puro pegangan kunci, umbun puro aluang bunian, pusek jalo kumpulan tali” maknanya ialah bentuk pengakuang bahwa perempuan minang mempunyai kekuasaan yang besar, saking besarnya seorang panghulu harus patuh kepadanya.
Perempuan minang dalam politik pada dahulu dikisahkan dalam cerita klasik minangkabau, seperti Mande Rubiah (Ibu Rubiah) yang mana mempunyai pengaruh kuat sebagai seorang ratu Lunang, Pesisir Selatan. Selain itu pada masa kolonialisme juga muncul tokoh perempuan yang memperjuangkan hak hak perempuan, seperti Rahma Elyunusiyah, Rohana Kudus, dan Rasuna Said.
Melihat kondisi sekarang, peran perempuan di Minangkabau mendapatkan hambatan dalam menempati kedudukan politik. Hambatan hambatan tersebut berasal dari dalam maupun dari luar. Dilihat dari perolehan kursi DPRD Provinsi Sumatera Barat pada pemilihan umum 2024 anggota DPRD perempuan terpilih dan telah ditetapkan berjumlah empat orang, dan jumlahnya lebih sedikit dari periode sebelumnya.
Lalu apa yang menyebabkan hal demikian terjadi?
Dalam banyak hal laki-laki lebih mendominasi dan sering kali menjadi pemimpin, padahal perempuan juga mempunyai potensi yang tidak kalah dengan laki-laki. Dalam hal keterwakilan perempuan di kursi parlemen saja masih tertinggal jauh. Penyebab dalam beberapa studi disebutkan gagalnya perempuan maju dalam kontestasi politik ialah karena adanya sistem budaya politik dan sistem rekrutmen oleh partai yang belum menunjukkan keberpihakan kepada calon perempuan.
Selain itu kondisi budaya patriarki yang kemudian tidak diimbangi dengan kemudahan akses bagi perempuan. Kadang kala kita melihat bahwa kesadaran dan kesetaraan masih rendah. Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai partai politik, karna kepemimpinannya dalam struktur partai didominasi oleh kaum laki-laki.
Sumber daya finansial juga menjadi tantangan bagi perempuan untuk terjun kedunia politik. Intelektual saja tidak cukup sehingga perlu didukung oleh partai atau pemerintah. Karena, pemilu memiliki indikator biaya yang tinggi.
Selain itu berkembangnya anggapan bahwa perempuan belum cocok dan tepat untuk dijadikan pemimpin, dalam hal kepala daerah. Peluang kedudukuan politik bagi perempuan masih sangat kecil, peluang tersebut akan luas apabila jika perempuan mau berjuang lebih.
Perbedaan peran perempuan minang dahulu sudah berbanding terbalik dengan saat ini. Maka juga perlu menjadi pertimbangan bahwa partai politik harus benar benar menjalankan tugas dan fungsi partai dalam melakukan rekrutmen politik terhadap perempuan, melakukan kaderisasi yang serius untuk dipilih dijadikan caleg bukan hanya sekedar pemenuhan syarat pemilu atau hanya menjadi kader dadakan yang penting kuota 30% terpenuhi.
Menurut Ella Syafputri, Dosen program studi magister ilmu politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, dikutip dari ANTARA, mengatakan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen itu tergantung pada tiga faktor, yakni kemauan perempuan itu sendiri untuk berkompetisi, keberpihakan partai politik untuk memberikan posisi nomor-nomor urut awal untuk caleg perempuan, serta keberpihakan masyarakat pemilih pada caleg perempuan.
Maka melihat tantangan dan hambatan perempuan tampil pada politik khusunya di Sumatera Barat perlu adanya suatu pemberdayaan, meningkatkan kapasitas maupun kapabilitas perempuan Sumatera Barat.
0 Comments