Penulis : Dwi Fazira Adinda, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas
Feminisme sudah ada sejak lama di Indonesia, di mana modernitas dan tradisi seringkali bertentangan. Feminisme adalah perbedaan pandangan terhadap hak perempuan berdasarkan kesetaraan perempuan dan laki-laki karena keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena gendernya. Sejarah gerakan feminis di Indonesia dimulai pada tahun 1912 ketika Raden Ajeng Kartini, seorang tokoh perempuan terkemuka di Jawa pada masa kolonial Belanda, menulis serangkaian surat tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, gerakan feminis semakin berkembang dengan didirikannya organisasi-organisasi perempuan seperti Gerakan Wanita Indonesia dan Kongres Perempuan Indonesia (Darwin, 2004). Feminisme lebih dari sekedar paham; itu adalah sudut pandang baru yang menjadikan perempuan sebagai titik cerah untuk menemukan keadilan. Namun, keadilan di sini memerlukan penjelasan lebih lanjut. Beberapa waktu lalu, gerakan anti feminisme menjadi perbincangan . Ini menunjukkan betapa buruknya pemahaman kita tentang feminisme dan masalah yang hanya dienyamkan oleh perempuan.
Di satu sisi, feminisme telah menjadi suara penting dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, mendorong agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan. Sebaliknya, gerakan ini muncul sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan feminis yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh sebagian besar orang Indonesia. Pendiri gerakan ini mengatakan bahwa banyak perempuan di Indonesia merasa nyaman menjalankan peran konvensional seperti ibu dan istri. Mereka berpendapat bahwa feminisme adalah doktrin yang mengabaikan realitas sosial masyarakat Indonesia yang terikat pada norma agama dan budaya. Di banyak tempat, perempuan memainkan peran penting dalam keluarga dan komunitas, namun mereka tidak selalu dihargai dalam masyarakat umum. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah menolak feminisme berarti menentang kemajuan hak perempuan?
Salah Satu contoh nyata adalah di daerah pedesaan, yang di mana perempuan lebih sering bertanggung jawab atas ekonomi keluarga dan pengelolaan rumah tangga. Meskipun mereka tidak bekerja di posisi formal, mereka tetap memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Gerakan ini menekankan bahwa penting untuk mengakui peran perempuan dalam konteks budaya yang ada, tanpa mengadopsi standar kesetaraan gender yang dianut oleh masyarakat Barat. Namun, ada masalah yang tidak boleh diabaikan. Banyak perempuan mulai menyerap hak dan kebebasan mereka di era globalisasi, yang di mana pengetahuan dan ide-ide baru tersebar luas. Menolak feminisme berpotensi mengurangi suara perempuan yang mendukung hak-hak mereka. Gerakan ini dapat menghambat kemajuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan perlindungan hak asasi manusia bagi perempuan dalam beberapa situasi.
Untuk mencapai keseimbangan yang sehat, sangat penting untuk berbicara tentang tradisi dan modernitas. Masyarakat harus membuat ruang untuk diskusi yang terbuka dan inklusif di mana suara-suara dari berbagai bagian masyarakat, termasuk mereka yang mendukung kesetaraan gender dan perempuan yang memilih untuk tetap dalam peran tradisional, didengar. Ini tidak hanya tentang menghindari ideologi yang dianggap asing, tetapi juga tentang membangun kesadaran bahwa peran tradisional dan hak perempuan tidak bertentangan satu sama lain.
Penting untuk diingat bahwa dinamika dan kesulitan yang unik dimiliki oleh setiap budaya. Seseorang dapat melihat Gerakan Indonesia Tanpa Feminisme sebagai upaya untuk mendukung nilai-nilai lokal. Namun hal ini harus dilakukan bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya hak asasi manusia dan keadilan sosial. Kita dapat membangun masyarakat yang menghargai tradisi tanpa mengorbankan kemajuan dan kebebasan perempuan dengan menggunakan pendekatan yang luas dan sensitif. Oleh karena itu, tradisi dan modernitas dapat bersatu untuk menghasilkan masyarakat yang lebih adil dan inklusif untuk semua.
Referensi :
Wibowo, B. A. (2022). Feminisme Indonesia. KARMAWIBANGGA: Historical Studies Journal, 4(2), 125-136.
Bunga. R. (2019). Apakah Indonesia (Masih) Membutuhkan Feminisme?. Diakses pada 07 Oktober 2024, pukul 10.30, dari https://www.bulaksumurugm.com/2019/04/21/apakah-indonesia-masih-membutuhkan-feminisme%EF%BB%BF/
0 Comments