Adat Minangkabau memiliki filosofi
yang menekankan pada keterhubungan erat antara manusia dengan alam. Pemahaman
akan esensi dari hubungan ini menjadi inti dari adat Minangkabau dan tercermin
dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Bagi masyarakat Minangkabau, alam
dipandang sebagai entitas yang hidup dan berperan dalam kehidupan manusia.
Filosofi ini kemudian diwujudkan dalam berbagai praktik budaya, kepercayaan,
dan sistem sosial.
Pada filosofi adat Minangkabau
terdapat konsep penting yang mencerminkan esensi keterhubungan manusia dengan
alam yaitunya filosofi Alam Takambang Jadi Guru. Bagi masyarakat Minangkabau,
alam ialah segala-galanya, bukan hanya sebagai tempat lahir dan tempat mati,
tempat hidup dan berkembang. Melainkan juga mempunyai makna filosofi dimana
ajaran dan pandangan hidup mereka yang dipetik dalam pepatah,petitih, mamangan,
serta lain-lainnya mengambil ungkapan dari bentuk, sifat, dan kehidupan alam.
Alam dan segenap unsurnya mereka
lihat senantiasa terdiri dari empat atau dapat dibagi menjadi empat yang biasa
mereka sebut nan ampek (yang empat). Seperti halnya: ada matahari, ada bulan,
ada bumi, ada bintang, ada siang, ada malam, ada pagi, ada petang; ada timur,
ada barat, ada utara, ada selatan; ada api, ada air, ada tanah, dan ada angin.
Semua unsur alam yang berbeda kadar dan perannya itu saling berhubungan tetapi
tidak saling mengikat, saling berbenturan tapi tidak saling melenyapkan , dan
saling mengelompok tapi tidak saling meleburkan.
Unsur-unsur itu masing-masingnya
hidup dengan eksistensinya dalam suatu harmonisasi, tetapi dinamis sesuai
dengan dialektika alam yang mereka namakan bakarano bakajadian (bersebab dan
berakibat). Bila alam dengan segala unsurnya itu dikiaskan kepada kehidupan
manusia, sebagaimana mereka mengiaskan alam sebagai tanah air Minangkabaunya.
Maka pemahaman unsur alam bermakna sebagai lembaga atau individu dalam
masyarakat mereka. Dan masing-masing berhak mempertahankan eksistensi dalam
perjalanan hidupnya.
Falsafah alam Minangkabau
meletakkan manusia sebagai salah satu unsur yang statusnya sama dengan unsur
lainnya, seperti tanah, rumah, suku, dan nagari. Setiap manusia, secara
bersama-sama atau sendiri-sendiri memerlukan tanah, rumah, suku, dan nagari sebagaimana
mereka memerlukan orang lain bagi kepentingan lahir dan batinnya. Menurut alam
pikiran mereka, manusia merupakan sesuatu yang sempurna, seperti sempurnanya
matahari dengan sinarnya, bulan dengan cahayanya, api dengan panasnya, angin
dengan hembusannya. Oleh karena itu, setiap manusia dipandang dalam status yang
sama.
Sebagai falsafah yang berguru ke
alam, mereka memandang falsafah Minangkabau sebagai yang tak lapuak dek hujan,
tak lakang dek paneh ( takkan lapuk karena hujan, takkan lekang karena panas)
karena keabadiannya. Alam itu terus hidup meski ada yang patah, misalnya pohon,
maka ia akan tumbuh terus. Zat alam yang hilang, seperti air dan api, ia akan
terus ada. Sikap demikian merupakan sikap mereka yang selalu optimis, asal
mampu menyesuaikan diri dengan alam dan lingkungannya.
Lebih jauh dari itu, masyarakat
Minangkabau juga meletakkan simbol Rumah Gadang terhadap falsafah Alam
Takambang Jadi Guru. Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah Alam Takambang
Jadi Guru, mereka menyelaraskan kehidupannya pada susunan alam yang harmonis
tetapi juga dinamis. Jika dilihat dari bentuk dasarnya, rumah gadang itu
berbentuk segi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Garis
melintangnya melengkung secara tajam dan juga landai dengan bagian tengahnya
lebih rendah. Lengkung pada atapnya tajam seperti garis tanduk kerbau,
sedangkan lengkung badan rumah landai seperti badan kapal.
Garis segi empat yang membesar ke
atas dikombinasikan dengan garis yang melengkung rendah di bagian tengah secara
estetika merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi
bangunan, maka segi empat yang membesar ke atas ditutup, semuanya membentuk
suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup mereka. Sebagai
suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah gadangnya
kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan.
Bentuk alam Bukit Barisan dimana
bagian puncaknya bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta
garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga
pula. Garis alam Bukit Barisan dan garis rumah gadang merupakan garis-garis
yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara
estetika. Jika dilihat dari segi fungsinya, garis-garis rumah gadang
menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis.
Atapnya yang lancip berguna untuk
membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan
yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya. Bangun rumah
yang mebesar ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dari terpaan
tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim
panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin
dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panggang matahari serta serbuan
angin.
Jika dilihat secara keseluruhan,
arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi
yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasa,
dan keseimbangan. Begitu terlihatnya bahwa masyarakat Minangkabau memang
menjadikan alam sebagai guru bagi mereka dalam segi apapun. Seperti hal nya
pembangunan rumah gadang yang sangat jelas bagaimana mereka meniru alam dan
bahkan mencontohnya untuk membuat rumah gadang tersebut.
Itulah keterhubungan manusia dengan
alam dan bagaimana masyarakat Minangkabau menjadikan Alam sebagai guru bagi
mereka. Sebenarnya contoh-contoh lainnya pun masih sangat banyak seperti
bagaimana filosofi-filosofi masyarakat Minangkabau diwujudkan dalam berbagai
praktik budaya, kepercayaan, dan sistem sosial.
Penulis
: M. Dzaki Annafi . N
Asal :
Sungai Pua Kabupaten Agam
Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau Universitas Andalas
0 Comments