Ticker

6/recent/ticker-posts

Krisis Birokrasi!


 Krisis Birokrasi!

Kepercayaan terhadap birokrasi dalam masyarakat secara langsung maupun dalam publik sudah amat rendah dan krisis. Krisis kepercayaan terhadap birokrasi ditandai dengan munculnya protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat, baik di tingkat pusat ataupun daerah terhadap birokrasi yang ada. Pendudukan kantor-kantor pemerintah, rumah dinas bupati dan kepala desa, dan perusakan berbagai fasilitas publik menjadi fenomena yang sering ditemui di berbagai daerah. Hal tersebut menunjukkan betapa besarnya tingkat kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi publik. Oleh karena itu, ketika peluang protes terbuka maka terjadilah semua bentuk keluhan, kecaman, bahkan hujatan terhadap birokrasi.

Birokrasi pada konsep Hegel menjelaskan birokrasi sebagai institusi yang menjembatani antara kepentingan negara yang memanifestasikan kepentingan umum dengan kepentingan khusus dalam masyarakat. Menurut perspektif Hegelian, birokrasi tak lain adalah medium yang mempertemukan kepentingan rakyat dan pemerintah. Berdasarkan perspektif ini berarti lahir sebuah aksioma, birokrasi mengemban tugas besar berupa harmonisasi hubunganantara rakyat dan pemerintah, bahkan mempersamakan geist rakyat dengan geist pemerintah. Dalam posisinya sebagai medium itulah birokrasi menyucikan dan memurnikan diri untuk tak terjebak pada kepentingan subyektif.

Berdasarkan penjelasan dari Hegel terhadap birokrasi yang menjadi institusi yang menjembatani antara negara dan masyarakat tidak tercermin dalam birokrasi yang ada di Indonesia. Masyarakat beranggapan bahwa pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat cenderung kurang dan tidak berkualitas. Keluhan yang sering terdengar dari masyarakat yang berhubungan dengan aparatur pemerintah, diantaranya adalah birokrasi yang berbelit-belit dan kaku. Juga perilaku oknum aparatur yang tidak sesuai dengan harapan. Arogansi kekuasaan masih menjadi bagian dalam birokrasi pemerintahan. Banyak oknum aparatur Pemerintah cenderung meminta dilayani bukan melayani masyarakat secara profesional sesuai tugas seharusnya. Realita demikian ini yang menimbulkan tidak adanya lagi rasa kepedulian dari masyarakat untuk mematuhi peraturan yang ada dan bahkan menimbulkan rasa kebencian yang bermula dari kekecewaan dari kalangan aparatur pemerintah dan pejabat birokrasi.

Berdasarkan buku tentang birokrasi, kemampuan dari suatu sistem pelayanan publik dalam merespons dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya secara tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan dijadikan sebagai basis dan kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu. Birokrasi publik di Indonesia seringkali tidak memiliki misi yang jelas sehingga fungsi-fungsi dan aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi itu cenderung semakin meluas, bahkan kemudian menjadi semakin jauh dari tujuan yang dimiliki ketika membentuk birokrasi itu. Perluasan misi birokrasi ini seringkali tidak didorong oleh keinginan birokrasi itu agar dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya, tetapi didorong oleh keinginan birokrasi untuk memperluas aksesnya terhadap kekuasaan dan anggaran. Dalam situasi yang fragmentasi birokrasi amat tinggi, maka kecenderungan semacam ini tidak hanya akan membengkakkan birokrasi publik, tetapi juga menghasilkan duplikasi dan konflik kegiatan dan kebijakan antardepartemen dan lembaga nondepartemen. Dalam sistem penyelenggaraan pelayanan publik, konflik kebijakan antardepartemen dan lembaga nondepartemen bukan hanya melahirkan inefisiensi, tetapi juga membingungkan masyarakat pengguna jasa birokrasi.

Perbaikan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik menjadi isu yang semakin penting untuk segera mendapatkan perhatian dari semua pihak. Birokrasi yang memiliki kinerja buruk dalam memberikan pelayanan kepada publik akan sangat mempengaruhi kinerja pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, orientasi pada kekuasaan yang amat kuat selama ini telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan publik. Birokrasi dan para pejabatnya lebih menempatkan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai pelayan masyarakat. Akibatnya, sikap dan perilaku birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik cenderung mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Berkembangnya budaya paternalistik ikut memperburuk sistem pelayanan publik melalui penempatan kepentingan elite politik dan birokrasi sebagai variabel yang dominan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Elite politik dan birokrasi, dan atau yang dekat dengan mereka, seringkali memperoleh perlakuan istimewa dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akses terhadap pelayanan dan kualitas pelayanan publik sering berbeda tergantung pada kedekatannya dengan elite birokrasi dan politik. Hal seperti ini sering mengusik rasa keadilan dalam masyarakat yang merasa diperlakukan secara tidak wajar oleh birokrasi publik.

Maka oleh sebab tersebut segala bentuk keluhan, pembangkangan, dan demonstrasi dari masyarakat terhadap pemerintah terutama terhadap birokrasi publik adalah salah satu bentuk protes dan unjuk rasa yang selama ini selalu dihadapkan dengan kekecewaan terhadap oknum aparatur pemerintah dan pejabat birokrasi. Tidak sesuainya orientasi kekuasaan membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan publik. Birokrasi yang seharusnya menjadi institusi yang menjembatani antara negara(pemerintah) dan masyarakat tidak tercermin dalam birokrasi pemerintah yang ada di Indonesia.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS