Penulis: Gledis
Natasha Kinski
NIM: 2010421001
Dibuat sebagai Tugas Mata Kuliah Biologi Forensik
Entomologi forensik, sebagai cabang ilmu yang
menggabungkan entomologi dan ilmu forensik, memiliki peranan yang krusial dalam
menentukan waktu kematian mayat. Keterkaitannya dengan tatanologi, atau ilmu
kematian, membuatnya menjadi alat yang tak tergantikan dalam penyelidikan
kasus-kasus kriminal. Beberapa cabang biologi, seperti musim, kelembapan,
temperatur, paparan cahaya, dan lokasi, berkolaborasi dalam memahami bagaimana
serangga dapat memberikan petunjuk entomologis yang penting.
Catatan pertama tentang entomologi
forensik berasal dari abad ke-13 di Cina, di mana seorang ahli kriminal bernama
Sung Tzu memimpin penyelidikan pembunuhan seorang petani. Penduduk desa
diinstruksikan untuk mengumpulkan sabit mereka, dan lalat berkumpul pada satu
sabit karena adanya sisa darah dan jaringan. Bukti ini mengarah pada pengakuan
pelaku pembunuhan. Sung Tzu juga mencatat kemunculan belatung pada jasad saat
musim panas dan lokasi luka antemortem sebagai tempat potensial infestasi
belatung (Hall, 2010).
Entomologi forensik baru mulai
mendapatkan pengakuan yang layak pada abad ke-19, di mana beberapa ilmuwan
berusaha membangun dasar-dasar ilmu ini. Pada tahun 1996, didirikan Dewan
Amerika untuk Entomologi Forensik, yang memberikan sertifikasi untuk ahli entomologi
sejajar dengan sertifikasi untuk odontologist dan antropologist. Sejak itu,
penelitian intensif dilakukan untuk mengidentifikasi tahapan siklus hidup
serangga dan mengembangkan indikator waktu kematian (PMI) (Anderson, 2004).
Perkiraan waktu kematian oleh ahli
patologi atau forensik biasanya dapat dilakukan dalam 72 jam pertama setelah
kematian. Namun, setelah 72 jam, informasi medis yang dapat dikorelasikan
dengan PMI menjadi terbatas. Inilah saat peran entomologi forensik menjadi
lebih krusial, karena analisis serangga seringkali lebih akurat dan menjadi
satu-satunya metode yang dapat memberikan perkiraan waktu kematian yang lebih
tepat (Byrd, 2019). Entomologi forensik tidak hanya terbatas pada serangga,
melainkan juga mencakup arthropoda lainnya. Peran arthropoda dalam ilmu
forensik melibatkan aktivitas konsumsi tubuh bangkai, termasuk jasad manusia.
Penerapan entomologi forensik melibatkan penyelidikan kasus-kasus kriminal di
darat dan di air. Selain pembunuhan yang disengaja atau tidak disengaja
menggunakan serangga, entomologi forensik juga berguna dalam kasus-kasus
kematian yang tidak dapat dijelaskan, seperti anafilaksis akibat sengatan
lebah, atau kecelakaan lalu lintas yang melibatkan serangga di dalam mobil.
Pertanyaan kunci yang diajukan kepada
ahli entomologi forensik melibatkan perkiraan waktu kematian (interval
post-mortem) dan lokasi kematian. Ilmu entomologi ini juga membantu menentukan
lokasi geografis kematian dalam kasus di mana jasad telah dipindahkan, serta
membantu mengidentifikasi lokasi trauma pada jasad. Selain itu, bukti
entomologik dapat digunakan sebagai sampel toksikologi alternatif.
Serangga-serangga seperti blowflies, flesh flies, cheese
skippers, rove beetles, dan clownbeetles menjadi kunci dalam
membantu investigasi entomologi forensik (Gennard, 2007).
Sejarah entomologi forensik juga
mencakup kasus-kasus hukum yang membuktikan peran kritisnya dalam penyelidikan
kriminal. Sebuah kasus pada tahun 1850 melibatkan penemuan tubuh bayi yang
mengalami mumifikasi terbungkus di cerobong asap sebuah asrama selama renovasi.
Autopsi oleh Dr. Marcel Bergeret mengungkap larva fleshfly dan ngengat
pada tubuh bayi. Berdasarkan perkiraan interval post mortem, pemilik rumah
sebelum tahun 1848 menjadi tersangka pembunuhan. Penemuan penting lainnya dalam
sejarah entomologi forensik dilakukan oleh Meignin pada tahun 1894. Ia
menghubungkan delapan tahapan dekomposisi tubuh manusia dengan kolonisasi
serangga pada tubuh yang telah meninggal. Pengetahuan ini menjadi dasar bagi
ahli entomologi forensik dalam memperkirakan waktu kematian seseorang (Byrd,
2019).
Pada abad ke-20, peran serangga dalam
kasus peradilan semakin meningkat, termasuk kasus-kasus di mana kolonisasi
serangga terjadi pada bagian tubuh yang ditemukan di dalam air. Pada tahun
1935, larva blowfly menjadi kunci dalam mengindikasikan bahwa mayat dua
wanita di sungai Scottish telah ditelurkan sebelum mayat tersebut
ditenggelamkan. Penerimaan entomologi forensik sebagai cabang ilmu yang sah
bergantung pada kolaborasi antara akademisi dan praktisi lapangan dengan
kepolisian dan sistem hukum (Gennard, 2007). Dalam konteks ini, entomologi
forensik tidak hanya menjadi metode ilmiah, tetapi juga menjadi penentu
keadilan dalam sistem hukum. Pengembangan teknologi dan pengetahuan dalam ilmu
ini terus berlanjut, menjadikannya alat yang semakin efektif dalam membantu
penyelidikan dan penegakan hukum. Dengan peran yang semakin penting, entomologi
forensik terus berkembang sebagai bidang yang memberikan kontribusi nyata
terhadap keadilan dan penyelesaian kasus-kasus kriminal.
Daftar
pustaka
Anderson
GS. 2004. Forensic Entomology: The Use of Insect in Death Investigation.
Available at: https://www.sfu.ca/~ganderso/forensicentomology.htm, diakses 13
Januari 2024.
Byrd
JH. 2019. Forensic Entomology. Dalam: Cina SJ, editor. Medscape Reference: Part
Forensic Entomology. Available at: http://emedicine.medscape.com, diakses 13
Januari 2024
Gennard
DE. 2007.The Breadth of Forensic. Dalam: Gennard DE, editor. Forensic
Etomology. An introduction. Chichester: John Wiley & Sons Ltd. 1-18.
Hall
RD, Huntington TE. 2010. Introduction: Perceptions and Status of Forensic
Entomology. Dalam: Byrd JH, Castner JL, editor. Forensic Entomology. The
Utility of Arthropods in Legal Investigation. Edisi II. New York: Taylor and
Francis Group. 17-38.
Keshavarzi,
K., Mehran, F., Mohammad, A. & Zahra, N. 2015. A Checklist of Forensic
Important Flies (Insecta: Diptera) Associated with Indoor Rat carrion in Iran.
Journal of Entomology and Zoology Studies: Vol. 3, No. 3.
Dosen
Pengampu: Dr. Resti Rahayu
0 Comments