Ticker

6/recent/ticker-posts

Peran Perempuan Sebagai Bundo Kanduang di Minangkabau

.


Oleh Puti Amelia

Mahasiswa Sastra Jepang, FIB UNAND

Minangkabau merupakan suku bangsa yang menjadi penganut sistem matrilineal terbesar di dunia. Sistem Matrilineal ini sudah ada sejak zaman nenek moyang dan tetap lestari hingga saat ini. Adat ini dipertahankan oleh masyarakat Minangkabau karena mereka berpikir bahwasanya mengutamakan kaum ibu selaras dengan ajaran-ajaran agama islam, sebagaimana masyarakat Minangkabau yang filosofi hidupnya didasari oleh adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah memiliki perangkat nagari yang tercermin dari: Babalai bamusajik, Bacupak bagantang, Baradat balimbago, Bataratak bakapalo koto, Bakorong Bakampuang, Barumah gadang batanggo, Badusun bagalanggang, Bapandam bapakuburan, Baanak bakamanakan, Basawah baladang, Basasok bajarami, Baitiak baayam, Bakabau bakambiang, Batabek Bataman-taman, Balabuah nan pasa, Batapian tampek mandi (Abidin, 2002, hal. 132).

Sistem kekerabatan di Indonesia mencakup tiga pola utama: matrilineal, patrilineal, dan parenteral. Sistem matrilineal, khususnya yang terlihat dalam masyarakat Minangkabau, tekanan pada adat yang mengatur garis keturunan dari pihak ibu. Artinya, kekuasaan dan warisan diperoleh melalui jalur ibu, menciptakan struktur sosial yang menempatkan perempuan dalam peran sentral. Dalam konteks ini, keinginan keluarga dan identitas dikaitkan erat dengan garis keturunan ibu. berbeda dengan sistem patrilineal yang menetapkan garis keturunan berasal di pihak ayah atau laki-laki sedangkan dalam sistem parental hubungan kekerabatannya menurut garis keturunan kedua pihak orangtua.

Pada sistem Matrilineal setiap anak yang berasal dari suku Minangkabau akan menghubungkan diri dengannya ibunya serta kerabat dari ibu. Melansir dari penjelasan Muhammad Rajad bahwa sistem matrilineal Minangkabau memiliki delapan ciri, yaitu keturunan dihitung menurut garis ibu, suku atau marga terbentuk menurut garis ibu, tiap orang harus kawin di luar sukunya, pembalasan dendam merupakan kewajiban bagi seluruh suku, kekuasaan di dalam suku menurut teori terletak di tangan ibu, tetapi jarang sekali dipergunakannya, yang berkuasa sebenarnya adalah saudara laki-laki ibu, perkawinan bersifat matriolokal (suami mengunjungi rumah istrinya), dan hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak (saudara laki-laki pihak ibu) kepada kemenakannya (anak dari saudara perempuan), dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan. Sistem matrilineal Minangkabau, dengan delapan ciri khasnya, mencerminkan kompleksitas struktur sosial dan nilai-nilai yang menguatkan hubungan keluarga dan sosial dalam masyarakat ini.

Warisan dan harta pusaka secara tradisional dialirkan melalui garis matrilineal, menetapkan bahwa anak perempuan adalah pewaris utama. Konsep ini menunjukkan pengakuan terhadap peran sentral perempuan dalam mempertahankan kekayaan keluarga dan memimpin keluarga ke depan. Hal ini bukan sekedar sistem keturunan, namun juga menjadi fondasi bagi pemberdayaan perempuan dalam masyarakat. Tujuan utama dari sistem matrilineal ini adalah untuk menciptakan dinamika sosial yang lebih seimbang antar gender, memperkuat posisi perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan tidak hanya dihormati sebagai individu, tetapi juga dianggap sebagai penjaga tradisi keluarga dan pemegang tanggung jawab dalam meneruskan warisan keluarga. Dilansir dari pernyataan Peegy Reeves Sanday bahwa masyarakat Minangkabau menyebut sistem sosial mereka sebagai matriarkat. Yang dimaksud dengan istilah ini adalah kekuasaan perempuan dalam perkawinan dan urusan keluarga serta dalam adat istiadat harta benda. Karena kegiatan-kegiatan ini menyita energi fisik dan sosial dari hampir seluruh kehidupan sehari-hari, maka ada benarnya anggapan bahwa perempuan menguasai masyarakat Minangkabau. Dalam banyak kasus, kaum perempuan Minangkabau memiliki kendali atas harta keluarga, dan ini memberi mereka otonomi yang kuat dalam mengelola sumber daya ekonomi. Sistem matrilineal Minangkabau, dengan kesetaraan gender dan perpaduan dengan ajaran Islam, menjadi ciri yang membedakan dan membangun budaya unik ini.

Perempuan Minangkabau dihormati dan diakui dengan sebutan khusus, yaitu Bundo Kanduang. Sebagai "Limpapeh rumah nan gadang, sumarak dalam nagari," Bundo Kanduang dianggap sebagai pemimpin yang mengayomi rumah nan gadang, simbol keberlanjutan keluarga dan warisan budaya. Peran ini tidak hanya terbatas pada ranah rumah tangga, tetapi juga merambah ke panggung lebih luas, membentuk dan memelihara kestabilan sosial dalam nagari. Kedudukan Bundo Kanduang menandai kedalaman akar tradisi Minangkabau yang menghargai perempuan sebagai pemegang peran kunci dalam pewarisan nilai-nilai budaya. Gelar ini tidak sekadar simbol, melainkan panggilan untuk mengekspresikan penghargaan dan hormat kepada perempuan Minangkabau yang menjalankan peran penting dalam membentuk identitas dan kelangsungan masyarakat. Sebagai Bundo Kanduang, perempuan Minangkabau bukan hanya pilar keluarga, tetapi juga penjaga warisan budaya yang memperkaya dan memperkuat fondasi nagari. Dengan kedalaman makna dan kebijaksanaannya, Bundo Kanduang menjadi cahaya yang membimbing kehidupan sehari-hari, merawat keberlangsungan tradisi, dan memperkukuh kedudukan perempuan dalam jaringan sosial masyarakat Minangkabau.

Bundo Kanduang hanya melekat pada perempuan Minangkabau yang telah menikah. Dalam tradisi Minangkabau, tak hanya dihormati sebagai tokoh masyarakat yang bijaksana, tetapi juga dianggap memiliki pemahaman mendalam terhadap ajaran agama dan mematuhi aturan-aturan agama dengan penuh rasa taat. Sebagai tokoh perempuan yang dihormati, Bundo Kanduang dianggap sebagai sosok yang memberikan teladan dalam menjalankan kehidupan beragama. Sifat-sifat perempuan di Minangkabau tercermin dalam pepatah "Alu tataruang patah tigo, samuik tapijak indak mati," yang menunjukkan bahwa perempuan Minangkabau memiliki keberanian dan ketegasan dalam bertindak sesuai dengan kebenaran. Mereka tidak hanya berbicara, tetapi juga mengambil tindakan yang bijaksana untuk menjaga nilai-nilai luhur dan keadilan. Ketegasan perempuan Minangkabau bukanlah semata-mata keberanian tanpa bijaksana. Mereka diakui sebagai individu yang mampu memahami konteks situasi dengan baik sebelum mengambil keputusan.

Dalam kebijaksanaannya, mereka senantiasa memegang teguh nilai-nilai agama yang mereka yakini.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS