Oleh:
Fadilatul Rahmi Putri
Mahasiswa
Departemen Biologi Universitas Andalas
Saat ini, siapapun
pasti tidak asing lagi dengan fenomena 'thrifting fashion' atau tren berbelanja
barang fashion bekas. Istilah ini telah merambah semua kalangan, bahkan
tidak sedikit di antaranya yang menjadi penggemar setia gaya berbusana dengan
menggunakan barang bekas (second-hand) ini. Sehingga thrifting
fashion inipun menjamur mulai dari toko offline maupun online (E-commerce).
Kelebihan harga yang terjangkau bukan satu-satunya daya tarik, namun barang thrift
juga seringkali merupakan produk bermerek terkenal, menambah daya goda bagi
siapapun yang melihatnya. Tak heran, permintaan terhadap barang thrift
terus mengalami lonjakan pesat, tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga di
kota-kota kecil yang turut merasakan gelombang popularitas ini. Namun,
bagaimana sebenarnya dampak dari tren thrifting fashion ini terhadap
perspektif konservasi lingkungan dan ekologi?
Pada
dasarnya, budaya thrifting fashion bukanlah sekedar tren berbelanja,
melainkan salah satu bentuk pelestarian pelestarian lingkungan yang
diinterpretasikan sebagai bagian dari upaya untuk mempromosikan konservasi
ekologi dan menginspirasi perubahan dari industri fashion. Mengapa
demikian? Karena pada prinsipnya, thrifting adalah tindakan nyata dari
konsumsi berkelanjutan dalam konsep Reduce, Reuse, dan Recycle (Kurangi,
Gunakan Kembali, dan Daur Ulang). Dengan begitu, penggemar thrifting fashion
tidak hanya mengurangi limbah industri fashion melainkan juga ikut andil
dalam mengatasi masalah limbah fast fashion yang merajalela beberapa
tahun terakhir ini.
Akan
tetapi, seiring berjalannya waktu, sisi gelap tren thrifting fashion
ini mulai terkuak dimana tren ini dinilai mulai menimbulkan dampak buruk pada
lingkungan. Saat barang barang thrift ini tersebar dengan pesat dan
tidak terkendali, hal ini malah menjadi bumerang dan membawa konsekuensi yang
serius bagi konservasi ekologi. Hingga hari ini, kita tahu bahwa fashion
thrift yang tersebar dan populer di Indonesia kebanyakan merupakan barang
yang berasal dari luar negeri (impor). Padahal ketika mengimpor fashion
thrift sama saja dengan kita membeli barang bekas dari negara lain. Yang
lebih mengkhawatirkannya jika aliran impor barang thrift ini
terus-terusan terjadi dengan cepat, barang bekas ini akan menjadi ancaman
serius dalam bentuk limbah industri di Tanah Air. Dampak terberatnya adalah
membuat Indonesia menjadi tujuan utama bagi limbah tekstil dari negara-negara
produsen fast fashion. Alhasil, tren thrifting fashion tersebut
bukannya menjaga lingkungan dengan konsep penggunaan berkelanjutan, tetapi jadi
penyumbang limbah fashion juga.
Berbicara
tentang kerusakan dari limbah industri tekstil thrifting fashion,
masalah ini terbilang cukup serius mengingat limbah ini dapat merusak ekosistem
dan berujung pada pengurangan kekayaan alam hayati di Indonesia. Dari segi
ekologi, limbah industri tekstil dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap
ekologi dan interaksi dalam ekosistem terhadap komponen biotik dan abiotik yang
ada. Beberapa efeknya terhadap hal ini adalah mempengaruhi kesehatan organisme
dimana ketika limbah tekstil ini mencemari lingkungan dan habitat organisme,
bahan kimia beracun yang berasal dari limbah tersebut akan mengancam kehidupan
organisme disana. Berawal dari zat toksik itulah muncul masalah seperti
mengganggu fungsi fisiologis mereka dan mengacaukan siklus hidupnya.
Terlebih
lagi, ketika produk thrift impor tersebut telah sampai di Indonesia dan
akan didistribusikan, pasti melalui tahap pemilahan terhadap produk yang masih
layak edar atau tidak sehingga limbah fashion yang tidak terjual ini
juga turut berdampak pada pemanasan global dan peningkatan kandungan plastik di
perairan. Distribusi produk thrifting secara besar-besaran di dalam
negeri tidak hanya menciptakan tumpukan produk bekas yang berujung pada limbah
industri. Melainkan akan meningkatkan transportasi baik darat, laut, maupun
udara. Hal ini akan meningkatkan konsumsi sumber daya alam tak terbaharui dan
meninggalkan jejak karbon dalam jumlah besar yang dapat menyebabkan peningkatan
emisi gas rumah kaca. Dari sanalah kita tahu bahwa budaya tren thrifting
ini akan merusak lingkungan hayati dari segala arah dan di berbagai ekosistem.
Jika fenomena ini terjadi secara berkelanjutan, resikonya adalah kita akan
kehilangan organisme tersebut dan gangguan serius terhadap upaya konservasi
organisme yang telah ada dan bukan tidak mungkin akan mengancam spesies yang
status konservasinya terancam akan menjadi punah di kemudian hari.
Mengingat
dampak fashion thrift yang cukup serius mengancam lingkungan dan
ekologi, sudah saatnya kita bangun kesadaran untuk mengurangi dan meredakan
laju limbah industri ini. Terdapat sejumlah solusi menarik yang dapat
menginspirasi kita untuk lebih peduli terhadap lingkungan, mulai dari memahami
budaya fashion yang lebih baik dan berkelanjutan. Langkah-langkah
sederhana yang bisa kita terapkan termasuk meningkatkan kesadaran saat
berbelanja, merawat, memperbaiki, dan mendaur ulang pakaian yang sudah tidak
terpakai. Konsep berpakaian minimalis juga dapat diwujudkan untuk menghindari
perilaku impulsif dan overconsumption yang menjadi pemicu penimbunan limbah
industri tekstil. Sebagai konsumen yang bertanggung jawab dan bijak, kita dapat
mendukung produk thrift lokal, memilih produk baru dengan konsep slow
fashion, dan memberikan perhatian lebih pada kualitas daripada kuantitas.
Barang lokal tak kalah bagusnya dibandingkan dengan produk impor berkonsep fast
fashion, memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan mendukung
pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat.
Dengan
langkah-langkah sederhana inilah, kita dapat memainkan peran penting dalam
konservasi lingkungan dan ekologi makhluk hidup, serta turut berkontribusi pada
pelestarian sumber daya alam hayati di negeri kita. Mari bersama-sama menjaga
keberlanjutan hidup di planet ini dengan memilih tindakan yang bijak dan
berkelanjutan. Agar apa yang kita dapatkan saat ini dapat dirasakan anak cucu
kita di masa mendatang.
0 Comments