Ticker

6/recent/ticker-posts

Filosofi tentang pepatah Barek Samo Dipikua Ringan Samo Dijinjiang


Filosofi tentang pepatah Barek Samo Dipikua Ringan Samo  Dijinjiang

Oleh : Raisya Hanifah

Mahasiswa Universitas Andalas, Jurusan Sastra Minangkabau

Masyarakat Minangkabau yang mendiami sebagian besar wilayah Sumatera Barat tidak hanya terkenal sebagai satu-satunya suku bangsa yang menganut sistem kekerabatan matrilineal yang berdasarkan garis keturunan ibu itu, tetapi sekaligus juga terkenal dengan masyarakat yang teguh memegang adat dan kuat pula agamanya. Adat dan agama bagi masyarakat Minangkabau merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, berjalin berkelindan, saling menguatkan. Pepatah berikut mengindikasikan:

Si Muncak mati tarambau

Kaladang mambaok ladiang

Lukolah pao kaduonyo

Adaik jo syara‟ di Minangkabau

Ibaraik aua dengan tabiang

Sanda manyanda kaduonyo

Lebih dari itu, masyarakat Minangkabau sejak lama juga memiliki dasar pemikiran yang kuat dan dinamis. Dasar pemikiran itulah yang memotivasi masyarakat untuk bergerak, berbuat dan bahkan bertutur kata sesuai dengan koridor yang telah digariskan. Dasar pemikiran itu adalah adat basandi syara‟, syara' basandi kitabullah, syara‟ mangato adat mamakai. (Syamsul Bahri:2002:42)

Maksud dari pepatah di atas mengadung makna bahwa adat di Minangkabau ini sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan kekompakan yang bersifat kegotong royong dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dalam kehidupan sehari hari. Masyarakat Minagkabau tidak ada pekerjaan yang tidak bias diselesaikan asalkan di kerjakan bersama sama dan mengedepankan semangat kebersamaan dalam setiap masalah yang dihadapi dengan memakaikan raso jo pareso. Raso dibao naiak, pareso dibao turun, sebuah pertimbangan kombinasional yang indah antara hati dan akal sehat dalam mengimplementasikan sifat kegotong-royongan dan kebersamaan itu. Ungkapan adat berikut menjelaskan: Ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun. Saciok bak ayam, sadanciang bak basi. Mandapek samo balabo, kahilangan samo marugi, dan lain-lainnya yang semakna tentang arti tolong menolong dan kerjasama.

Begitu urgen dan strategisnya musyawarah itu dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dalam berbagai aspeknya, dan dengannya pula kesepakatan yang didambakan bersama dapat dihasilkan, lalu mereka ungkapkanlah dengan kata “bulek aie ka pambuluah bulek kato jo mupakat, bulek lah buliah digolongkan, pipiah lah buliah dilayangkan itu. Kesepakatan itu sifatnya mengikat bagi semua, dan karenanya mereka lalu menjunjung tinggi dan mengagungkan kesepakatan itu dengan ungkapan „rajo‟. Jadi, nan rajo adolah kato mufakat.

Adat Minangkabau itu sesungguhnya sangat menjunjung tinggi azas musyawarah nan bajanjang naiak, nan batanggo turun untuk mencari dan menghasilkan kata sepakat dalam menyelesaikan persoalan apapun yang mereka hadapi. Baiyo-batido, barangkali inilah ungkapan yang amat populer dan akrab di kalangan masyarakat Minangkabau untuk menyebut „musyawarah. Kato surang babulek-i, kata basamo bapaioan,baiyo-iyo jo adi, batido-tido jo kako, begitu pandangan mereka dalam memposisikan sesuatu dalam mencari dan menghasilkan kata sepakat, lewat musyawarah dalam segala tingkatannya.

Karena itulah menurut adat Minangkabau tidak ada manusia yang di-raja-kan, tetapi yang raja adalah „Kato Mufakat atau Kato Saiyo‟ yang dikawal oleh kesepakan melalui musyawarah sebelumnya sebagai buah kata mufakat itu tadi. Meskipun di dalam gelar-gelar adat banyak yang bergelar raja atau rajo, bahkan penghulu dan para datuk sekalipun, walau mereka memakai gelar Rajo, tetapi mereka bukanlah raja, raja, tanpa kuasa. Dengan demikian, hakikat raja adalah kata mufakat sebagai esensi dari kebenaran.

Hal-hal tersebut di atas erat kaitannya dengan pesan-pesan Allah SWT di dalam Alquran tentang betapa pentingnya mewujudkan kebersamaan, persatuan dan kekompakan serta menjauhi perpecahan dan cerai berai, seperti firman Allah berikut: “Dan berpegangteguhlah kamu dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...”(QS. Ali Imran:103). Dan, barangkali inilah pula yang terangkum dalam pepatah adat yang mengingatkan, bahwa “duduak surang ba sampik-sampik, duduak basamo ba lapang-lapang” dengan muatan makna yang dalam, dan dalam arti yang seluas-luasnya.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS