Ticker

6/recent/ticker-posts

Tradisi Pembacaan Naskah Nyi Sri Pohaci di Desa Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

 


Nama: Hamni Aulia

Jurusan: Sastra Daerah Minangkabau

Pekerjaan : Mahasiswa Universitas Andalas



Salah satu naskah Sunda yang selalu diekspresikan masyarakat lewat tradisi upacara perayaan syukuran panen padi di daerah Sumedang adalah naskah Nyi Sri Pohaci. Naskah ini berhasil didigitalisasi dari Desa Rancakalong, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pada tahun 2009. Naskah tersebut membicarakan Dewi Sri yang menguasai ranah dunia bawah tanah juga bulan. Perannya mencakup segala aspek Dewi Ibu, yakni sebagai pelindung kelahiran dan kehidupan. la juga dapat mengendalikan bahan makanan di bumi terutama padi, bahan makanan pokok masyarakat Indonesia,maka ia mengatur kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran.

Tradisi pembacaan naskah Nyi Sri Pohaci oleh masyarakat rancakalong dilaksanakan dengan ritual khusus. Naskah tersebut biasanya dibaca malam hari dengan susunan acara yang diawali dengan tawashul. Tawashul berupa do'a-do'a untuk para nabi dan rasul. Selain itu, selama pembacaan naskah diringi dengan musik Tarawangsa, yaitu alat musik berupa kecapi dan rebab.Selain pembacaan naskah, masyarakat Rancakalong mempunyai ritual lain berupa upacara ngalaksa. Ngalaksa diisi dengan kesenian. Tarawangsa yang dibarengi dengan carian-tarian oleh para warga tua maupun muda yang berlangsung selama 10 hari nonstop, dimulai pagi hari sampai dengan tengah malam dan berlangsung terus-menerus.

Berdasarkan wawancara dengan bapak Yeyet Taryat sebagai ahli waris terakhir naskah, naskah Nyi Sri Pohaci mempunyai silsilah kepemilikan yang cukup panjang'. Naskah yang ada sekarang merupakan salinan dari naskah aslinya. Naskah aslinya dapat dilihat setiap tiga tahun sekali pada jam 2 malam. Hal tersebut dilakukan dengan harapan agar naskah yang asli dapat terjaga sehingga bisa menjadi bukti bagi generasi berikutnya. Kondisi fisik naskah masih sangat baik, tulisan jelas sehingga dapat dibaca dengan mudah. Bahan yang digunakan kertas bergaris produk dalam negeri. Bahasa pengantar naskah adalah bahasa Sunda dengan aksara Pegon. Ukuran naskah 15 cm x 20 cm dengan jumlah halaman 93 lembar. Hasil digitalisasi naskah tersimpan di perpustakaan Puslitbang Lektur Keagamaan Balitbang Departemen Agama Republik indonesia

Tradisi Pembacaan Naskah di Rancakalong

Alam masyarakat Rancakalong merupakan perpaduan bukit, lembah dan hamparan sawah yang terhampar luas. Iklim yang masih alami menghantarkan kesejukan, aspek budaya masih mengental dan mengikat tatanan tradisi yang hidup masih turun temurun. Di kawasan ini terbentuk desa wisata yang melukiskan gambaran budaya sebuah pemukiman khas Sunda dengan bentuk bangunan arsitektur budaya Sunda, memiliki 4 bangunan utama di samping rumah-rumah penduduk. Adat tradisi yang sangat menonjol adalah Ritual Penghormatan terhadap Dewi Sri (Nyi sri ). Naskah Nyi Sri Dewi Pohaci yang asli dibaca setiap 3 tahun sekali pada bulan Juli, sedangkan naskah salinan dibaca setiap tahunnya pada bulan Juli. Pembacaan naskah dimulai pukul 00.00 malam hari sampai pukul 02.00 pagi hari. Pada pagi harinya, tepat pada pukul 08.00 pembacaan naskah dilanjutkan sampai dengan pukul 12.00 siang. Naskah yang dibaca pada pagi hari sampai siang hari adalah Naskah Babar Nabi.

Pembacaan naskah dilakukan oleh seorang puhun, yaitu orang tua yang dianggap mampu membaca naskah tersebut. Seorang puhun harus mempunyai bekal ilmu pengetahuan agama yang memadai, sebagai prasyarat utama pembaca naskah. Naskah dibaca oleh seorang diri dari bagian awal sampai akhir, Biasanya dibaca dalam jangka waktu 2 jam.

Pembacaan naskah yang dilakukan pada malam hari biasanya dihadiri oleh masyarakat umum berkisar antara 150-200 orang. Masyarakat tersebut merupakan penduduk yang tinggal di sekitar desa Rancakalong dengan variasi usia dan jenis kelamin yang berbeda. Masyarakat Rancakalong memberikan nama lain terhadap naskah itu dengan sebutan Jamu Layang Kalimusada.

Naskah yang dianggap oleh sebagian masyarakat Rancakalong sebagai pegangan hidup dalam bertani, sebagai benda keramat dan benda warisan, mempunyai kedudukan yang tinggi dalam memperlakukannya. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon pembaca naskah. Syarat-syarat tersebut ialah:

Membaca kalimat syahadatain

Berwudu

Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam pembacaan naskah Nyi Sri Pohaci, yaitu:

Tawashul

Pembacaan naskah

Dialog

Ramah tamah


Fungsi Naskah 

Berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik naskah, bagi masyarakat Rancakalong naskah Nyi Sri Pohaci berfungsi sebagai berikut:

1. buku pegangan pertanian/makanan pokok;

2. benda keramat;

 3. benda warisan.

Sementara itu teks Nyi Sri Pohaci dianggap sebagai sumber inspirasi bagi pengembangan ritual adat Ngalaksa. "Dalam teks dijelaskan bahwa sumber kehidupan sehari-hari desa ini dari bertani padi. Konon pada suatu masa, masyarakat Rancakalong mengalami sebuah musibah pada saat ladang atau sawah yang telah ditanami padi tidak bisa dipanen, sedangkan untuk menanam kembali mereka tidak memiliki persediaan bibit lagi karena telah habis dimakan. Untuk mencegah terjadinya kelaparan maka sesepuh desa memutuskan agar masyarakat menanam hanjeli sebagai bahan pengganti padi yang ternyata berhasil dipanen dengan melimpah, sampai suatu ketika musibah lain datang, seorang anak meninggal di leuit tertimbun hanjeli, sehingga sesepuh ragrag ucap untuk tidak lagi menanam hanjeli dan agar kembali menanam padi. 

Konon bibit padi waktu itu hanya ada di Mataram dan untuk membelinya sangat sulit karena ada larangan dari penguasa Mataram bahwa padi tidak boleh dibawa keluar wilayah terutama ke wilayah Padjadjaran. Maka sesepuh Rancakalong mengutus dua orang seniman jentreng (kecapi) bernama Embah Raguna dan Embah Wira Negara berangkat menuju Mataram. Berkat kecerdikan mengelabui petugas pemeriksa kedua orang seniman itu berhasil membawa bibit padi ke Rancakalong dengan cara memasukan bibit padi tersebut ke dalam kecapi dan sejak itu masyarakat Rancakalong dapat menanam padi kembali".

Di tempat ini pula berlangsung upacara ritual Ngalaksa, yang digelar tiap tahun, pada setiap bulan Juli. Dalam pelaksanaan upacra ritual itu dilengkapi dengan sajian kesenian Tarawangsa yang merupakan kesenian khas Rancakalong, perpaduan antara rebab dan petikan. kecapi. Waditra inilah sebagai penghantar Upacara Ritual Ngalaksa, yang bernuansa magis, dengan disertai lengkingan suara rebab dan kecapi berupa rangkaian lagu sebagai media penghadir arwah-arwah Idluhur. Lagu pangapungan melukiskan ngahiyangna Ny Sri yang menuju ke alam para sanghiyang atau alam langit.

Ngalaksa sendiri berasal dari kata Laksa, yaitu sejenis makanan yang berasal dari berbagai macam beubeutian (umbi-umbian), yang ditumbuk hingga menjadi tepung, kemudian direbus dan dikeringkan, lalu dibungkus oleh daun congkok. Menurut kepercayaan warga Rancakalong, laksa mampu meningkatkan kesehatan. Tradisi Ritual Ngalaksa diiringi dengan tari-tarian oleh para warga, baik tua maupun muda, yang berlangsung selama 10 hari nonstop, dimulai pagi hari sampai tengah malam.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tradisi pembacaan naskah nyi sri Pohaci di desa rancakalong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat mempunyai cara tersendiri yang cukup menarik karena diikuti dengan musik Tarawangsa serta ritual ngalaksa sebagai upacara penghormatan terhadap dewi sri yang disimbolkan sebagai dewi padi, merupakan bentuk aktualisasi apresiasi masyarakat rancakalong terhadap naskah.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS