Ticker

6/recent/ticker-posts

Minyak Goreng dan Kelapa Sawit: Antara Isu Pangan dan Lingkungan




Oleh: Aldi Tamara Rahman

Mahasiswa Biologi Universitas Andalas

 

Sumber gambar: Memorandum.co.id

Maaf minyak habis, adanya melihat kamu bahagia, bersama orang lain. Begitulah mim yang sempat viral beberapa waktu lalu di salah satu minimarket. Bila ditilik ke belakang, sungguh situasi yang begitu keos, ibu-ibu kalang kabut mengantre membeli minyak goreng sawit, harga minyak sawit melambung tinggi, produk-produk yang membutuhkan minyak sawit dalam pembuatannya juga ikut naik. Padahal kita tahu bahwasanya hampir semua masakan Indonesia “berminyak”, cukup aneh bila teknik menggoreng diganti dengan teknik “mengukus” sehingga dapat dikatakan persediaan minyak goreng sangat erat dengan stabilitas ekonomi masyarakat Indonesia.

Namun, selain itu juga sisi lain yang tidak kalah penting untuk kita perhatikan, yaitu bagaimana minyak goreng tersebut bisa sampai ke tangan Anda. Tentunya melalui proses yang panjang, minyak goreng kelapa sawit diperoleh dari buah Elaeis guineensis Jacq. yang hanya dapat tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia. Tanaman kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia, dan saat ini telah menjadi salah satu sumber minyak nabati utama dunia (peringkat dua setelah Malaysia). Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat secara pesat, sampai tahun 2014 mencapai 10,9 juta ha, dan diperkirakan meningkat pada tahun 2015 menjadi 11,4 juta ha. Pengembangan komoditas ini dilakukan di berbagai lahan di Indonesia, baik tanah mineral maupun tanah gambut. Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut di Indonesia telah mencapai lebih dari 1,7 juta ha dari total luas lahan gambut Indonesia seluas 14,9 juta ha. Pengembangan kelapa sawit di lahan gambut tersebar utamanya di pulau Sumatera sekitar 1,4 juta ha dan di Kalimantan sekitar 307 ribu ha. Tingkat kehilangan hutan primer di daerah tropis sangat konsisten selama beberapa tahun terakhir, namun di tahun 2021 daerah tropis kehilangan 11% lebih sedikit hutan primer dibandingkan tahun 2020, setelah meningkat sebelumnya sebanyak 12% sejak 2019 hingga 2020 yang sebagian besar disebabkan oleh kebakaran hutan. Bukan hanya hutan tropis yang menjadi perhatian, hutan boreal — terutama di Rusia — mengalami kehilangan tutupan pohon yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2021, yang sebagian besar didorong oleh kebakaran. Arie Rompas dari Greenpeace mengatakan penanaman sawit di hutan lindung sangat berdampak pada semakin tingginya bencana banjir. Sebab, proses penanaman sawit dalam kawasan hutan bisa menyebabkan keringnya lahan dan merusak siklus hidrologi. Apalagi kawasan hutan di Riau didominasi lahan gambut yang cepat memicu banjir bila daya serapnya sudah melebihi kapasitas. Fenomena tersebut terbukti dengan semakin tingginya angka bencana banjir dan tanah longsor di wilayah Riau, di tengah maraknya perluasan perkebunan kelapa sawit yang menunjukkan angka kenaikan setiap tahunnya. Dari kacamata hidrologi, ada beberapa solusi yang ditawarkan oleh Agustina Kiky Anggraini selaku Akademisi Mekanika Fluida Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Menurutnya,  perusahaan harus bertanggung jawab secara berkelanjutan dan mencegah kerusakan lingkungan. Jika perubahan kawasan hutan tidak sejalan dengan rasa tanggung jawab, lanjut Kiky, akan terjadi deforestasi yang bisa berdampak terhadap bencana alam di Riau. “Hal tersebut harus bisa dilakukan oleh perusahaan secara penuh tanggung jawab dengan cara memperhitungkan kawasan yang harus disiapkan untuk resapan air berdasarkan luasan pembukaan. Selain itu perusahaan itu perlu menyiapkan teknologi untuk mencegah banjir,. Pengembangan perkebunan kelapa sawit dan deforestasi hutan tentu membawa dampak tidak baik bagi lingkungan. Perkebunan kelapa sawit akan memunculkan homogenitas pada biodiversitas yang ada dan terjadinya fragmentasi habitat bagi spesies tertentu. Hal ini tentu menjadi concern bagi para aktivis lingkungan yang menentang perluasan perkebunan kelapa sawit tetapi di lain sisi kebutuhan minyak goreng meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Dilemma memang.

Lantas bagaimana sikap kita akan hal itu? Memang bila kita melihat opsi sumber minyak nabati lain, masih belum ditemukan sumber minyak nabati lain yang menghasilkan minyak dalam jumlah banyak selain kelapa sawit. Jika kita bandingkan antara kelapa dengan kelapa sawit memang kelapa sawit mampu menghasilkan minyak 5 kali lipat lebih banyak daripada minyak kelapa. Dari segi penggunaan pun, minyak kelapa sawit memiliki ketahanan yang lebih lama daripada minyak kelapa. Sehingga menghentikan produksi kelapa sawit tentu akan mengganggu stabilitas pangan nasional. Maka dari itu, kita harus mempertimbangkan berbagai macam kepentingan disini. Di sisi ingin menciptakan stabilitas pangan nasional, namun disisi lain ada ancaman lingkungan yang mengintai masyarakat. Sehingga, solusi-solusi yang muncul hendaknya dapat mengakomodir kedua kepentingan terkait. 

Solusi yang pertama, kita dapat memaksimalkan areal perkebunan yang ada tanpa mengeksploitasi lebih lanjut. Seperti metode intensifikasi, menggunakan produk-produk hayati agar hasil yang ada dapat maksimal seperti menggunakan mikoriza dan pupuk organik. Tentu saja areal perkebunan yang sudah ada harus menyediakan area konservasi didalamnya. Untuk mencegah terjadinya korosi tanah serta pengikisan humus. Maka dapat menggunakan tumbuhan-tumbuhan seedling/bawah sebagai lantai areal perkebunan contohnya tanaman sentrosoma.

Solusi yang lebih advance, dengan memanfaatkan sains khususnya ilmu bioteknologi. Dewasa ini para peneliti dari negara Jerman telah mengembangkan minyak goreng yang persis sama yang dihasilkan oleh kelapa sawit dengan menggunakan ragi yang telah direkayasa. Hal ini tentu sangat berpotensi membawa perubahan pada industry sawit. Di mana pada era bioteknologi di masa depan, minyak tidak diperoleh dari deforestasi hutan melainkan di laboratorium. Namun tentu kita tidak bisa berharap banyak karena ini terjadi di negara maju yang mungkin perlu beberapa decade untuk kita dapat merasakannya. Tetapi yang jelas, antara lingkungan dan kebutuhan hajat masyarakat khususnya ibu-ibu tidak boleh berat sebelah.

Sebagai penutup, maka yang dapat saya sampaikan adalah antara ibu-ibu dan aktivis lingkungan seharusnya dapat berjalan beriringan dalam mewujudkan stabilitas pangan serta sustainability bagi negara kita tercinta. Karena sumber daya alam memang harus dimanfaatkan “sepatutnya” agar bisa dinikmati oleh anak cucu dan generasi yang mendatang. Emak-emak dapat berkontribusi dengan menggunakan minyak goreng secara wajar dan hemat, melakukan inovasi masakan dengan cara lain yang bebas minyak seperti menumis, mengukus dan sebagainya. Untuk aktivis lingkungan sendiri dapat mengajak masyarakat untuk mengawal perusahaan-perusahaan sawit untuk dapat memperhatikan dampak lingkungan yang terjadi akibat kegiatan usahanya dan berupaya dalam mengatasi permasalahan tersebut serta memberikan edukasi kepada masyarakat awam mengenai pentingnya menjaga hutan sebagai paru-paru dunia. Menjaga hutan berarti menjaga masa depan anak cucu kita.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS