Ticker

6/recent/ticker-posts

Suku Koto Di Tanah Minang



Oleh: aditya janta anugrah mahasiswa dari sastra minangkabau universitas andalas


Suku Koto merupakan satu dari empat suku yang terdapat dalam dua klan induk dalam etnis Minangkabau.  Etnis Minangkabau memiliki dua klan (suku dalam bahasa orang Minang) yaitu klan atau suku Koto Piliang dan klan atau suku Bodi Chaniago.


Asal Usul Suku Koto


Sastrawan sekaligus penulis A.A. Navis dalam bukunya berjudul Alam Terkembang Jadi Guru, menyatakan bahwa nama suku Koto berasal dari kata 'koto' yang berasal dari bahasa Sanskerta 'kotta' yang artinya benteng, di mana dahulu benteng ini terbuat dari bambu.


Di dalam benteng ini terdapat pula pemukiman beberapa warga yang kemudian menjadi sebuah 'koto' yang juga berarti kota, dalam bahasa Batak disebut 'huta' yang artinya kampung. 


Dahulu Suku Koto merupakan satu kesatuan dengan Suku Piliang,  tetapi karena perkembangan populasinya ,maka paduan suku ini dimekarkan menjadi dua suku yaitu suku Koto dan suku Piliang. 


Suku Koto dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan yang memiliki aliran Aristokratis Militeris, di mana falsafah suku Koto Piliang ini adalah "Manitiak dari Ateh, Tabasuik dari bawah, batanggo naiak bajanjang turun" Datuk Ketumanggungan gadang dek digadangan "Besar karena diagungkan oleh orang banyak). Sedangkan Datuk Perpatih Nan Sebatang "tagak samo tinggi, duduak samo randah" Suku K


Suku Koto emiliki sejumlah gelar kebangsawanannya, di antaranya :


 Datuk Tumangguang, gelar ini diberikan kepada Ir. Tifatul Sembiring oleh warga suku Koto Kanagarian Guguak-Tabek Sarojo, Bukittinggi


Datuk Bandaro Kali, gelar ini pernah akan dinobatkan kepada Mentri Pariwisata Malaysia, Dr. Rais Yatim yang berdarah Minang, tetapi dia menolaknya lantaran akan sulit baginya untuk terlibat dalam kegiatan suku Koto nagari Sipisang setelah dia dinobatkan.


Datuk Sangguno Dirajo


Datuk Panji Alam Khalifatullah, gelar ini dinobatkan kepada Taufik Ismail karena dia seorang tokoh berdarah Minangkabau suku Koto yang telah mempunyai prestasi di bidang seni dan kebudayaan.


Datuk Patih Karsani


Datuk Rangkayo Basa, gelar datuk suku Koto di kenagarian Pakandangan, VI Lingkung, Padang Pariaman


Datuk Palindangan Nan Sabatang gelar yang diberikan kepada tokoh masyarakat bungo yang bernama farid anthonya  yang sekarang ini bertugas di sahabat ukm cabang muara bungo


Suku Koto dalam perkembangannya mengalami pemekaran dalam banyak suku, di antaranya: Tanjung Koto, Koto Piliang di nagari Kacang, Solok, Koto Dalimo, Koto Diateh, Koto Kaciak,Koto Kaciak 4 Paruik Solok Selatan, Koto Tigo Ibu di Solok Selatan, Koto Kampuang,Koto Kerambil,Koto Sipanjang,Koto Sungai Guruah di Nagari Pandai Sikek (Agam),Koto Gantiang di Nagari Pandai Sikek (Agam),Koto Tibalai di Nagari Pandai Sikek (Agam), Koto Limo Paruik di Nagari Pandai Sikek (Agam), Koto Rumah Tinggi di nagari Kamang Hilir (Agam), Koto Rumah Gadang, di nagari Kamang Hilir (Agam),Koto Sariak, di nagari Kamang Hilir (Agam),Koto Kepoh, di nagari Kamang Hilir (Agam),Koto Tibarau, di nagari Kamang Hilir (Agam), Koto Tan Kamang/Koto nan Batigo di nagari Kamang Hilir (Agam),Koto Tuo di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu,Koto Baru di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu,Koto Musajik di Kenegerian Sungai Pua


Dahulu suku Koto merupakan satu kesatuan dengan Suku Piliang, tetapi karena perkembangan populasinya maka paduan suku ini dimekarkan menjadi dua suku yaitu suku Koto dan suku Piliang. Suku Koto dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan yang memiliki aliran Aristokratis Militeris, di mana falsafah suku Koto Piliang ini adalah "Manitiak dari Ateh (menetes dari atas), Tabasuik dari bawah (muncul dari bawah), batanggo naiak bajanjang turun, merupakan filosofi bagaiman suku Koto mencoba menyelesaikan masalah. Datuk Ketumanggungan gadang dek digadangan(Besar karena diagungkan oleh orang banyak).


Menariknya, beberapa tokoh besar di Indonesia juga banyak yang bersuku Koto, Pengusaha Basrizal Koto, Mantan Mentri Tifatul Sembiring, Penyair Taufiq Ismail, Wartawan Hardimen Koto bahkan Jendral Boy Rafli Amar juga bersuku Koto. Apakah tokoh-tokoh besar di atas juga mengalami cerita bahwasanya buaya tidak memangsa orang suku Koto?


Cerita keistimewaan ini, pasti pernah mampir ke telinga anak minang yang bersuku Koto, biasanya sebagai dongeng pengantar tidur sewaktu kecil atau remaja. Di minang sendiri, suku diwariskan dari ibu bukan dari bapak, atau lebih terkenal dengan istilah matrilineal.


Anehnya, dua orang konco palangkin (teman akrab) saya yang juga sama-sama bersuku Koto, Hendro koto (32) dan Handri (32), mereka juga pernah mendapat cerita buaya dan suku Koto ini dari orangtuanya, artinya, tidak mungkin para orangtua berbohong tentang keistimewaan suku ini.


Di Minangkabau, berbicara sejarah, seni, budaya dan cerita rakyat, memang kental dan erat kaitanya dengan ajaran agama Islam. Adat basandi sarak sarak basandi kitabullah (ABSSBK), secara ringkas semua-semua maslah dirunut kepada kitabullah atau kitab suci Al-Quran. ABSSBK merupakan falsafah hidup orang Minangkabau


Jika dikaitkan cerita ini dengan budaya orang minang yang memang dekat dengan ajaran agama, jelas tersirat pesan moril untuk supaya hidup sesuai tuntunan agama. Jika manusia ciptaan Tuhan yang paling sempurna, hidup sesuai ajaran dan perintah, maka makhluk lain akan semakin tunduk dan hormat. Tidak terkecuali pada binatang, pasti binatang akan tunduk juga sesuai kodratnya. Poin pentingnya, buaya pasti tidak akan memangsa manusia yang hidup sesuai tuntunan agama.


Belum ada literatur atau ulasan resmi tentang cerita suku Koto dan buaya. Namun, jika memang memiliki makna secara tersirat dan tersurat

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS