Ticker

6/recent/ticker-posts

MALAM BAINAI



Oleh: Sintia Aulia

Jurusan Sastra Daerah Minangkabau

 

Malam berinai merupakan bagian dari rangkaian ritual adat yang dimulai sejak beberapa hari sebelum hingga setelah pernikahan. Sebelumnya, calon mempelai wanita atau dalam bahasa Minang disebut anak daro (anak dara), melakukan ritual mandi-mandi. Pada hari tersebut anak daro memakai busana tokah (semacam selendang yang dibalutkan menyilang di dada sehingga bagian-bagian bahu dan lengan tampak terbuka).

Malam bainai adalah salah satu tradisi Adat Istiadat di Minangkabau yang berarti malam terakhir bagi calon pengantin wanita Minangkabau untuk merasakan kebebasan sebagai wanita lajang. 

Bainai itu sendiri berarti "memakai henna atau inai ", inai itu merupakan sebuah tumbuhan yang digunakan untuk mewarnai kuku menjadi merah. Namun di Minangkabau itu tidak hanya untuk memerahkan kuku tapi memiliki arti lebih dari itu.

Tumbukan halus daun inai ini jika dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah cemerlang pada kuku. Warna merah pada kuku memberi tanda bahwa wanita tersebut sudah menikah. Tidak semua kuku jari tangan diberi inai, melainkan hanya sembilan jari. Hal ini mengandung makna, sepuluh berarti sempurna, sedangkan kesempurnaan hanya milik tuhan.

Dari berbagai sumber dikatakan bahwa, Malam Bainai  itu dipercaya sebagai salah satu cara untuk menghindari malapetaka dan hal hal buruk untuk menimpa calon pengantin. 

Walaupun kepercayaan itu tidak terlalu dipercayai lagi oleh masyarakat Minangkabau, Malam bainai tetap dilakukan oleh penduduk Minangkabau sebagai tradisi pernikahan di masyarakat Minangkabau.

Ketentuan dalam Malam Bainai :

Dalam acara Malam Bainai ada pakaian khusus yang dipakai oleh pengantin wanita. Pakaian khusus itu bernama Baju Tokah. Pakaian ini seperti selendang yang menyilang dibagian dada calon pengantin wanita dan bagian bahu serta lengan dibiarkan saja terbuka. Selain itu pada bagian kepala calon pengantin wanita juga memakai hiasan yang disebut dengan Suntiang (ukurannya tidak terlalu besar/rendah).

Setelah itu, dalam acara Malam Bainai, biasanya calon pengantin wanita akan melakukan proses yang Namanya mandi-mandi, mandi-mandi  yang dimaksud tidak bermakna benar-benar basah. Caranya air untuk mandi dicampur dengan daun sitawa sidingin atau daun cocor bebek dan hanya boleh diberikan kepada pengantin wanita oleh sesepuh bernomor ganjil. Karena kepercayaan adat ini angka ganjil dikaitkan dengan hal-hal yang sakral, seperti waktu shalat 5 waktu bagi umat Islam. Percikan air yang terakhir akan diberikan oleh orang tua dari pengantin wanita.

Setelah melakukan proses mandi-mandi, calon pengantin wanita diantar oleh orang tuanya menggunakan kain jajakan kuning. Sepotong kain yang diwariskan pengantin akan digulung oleh dua kerabat laki-laki untuk melambangkan bahwa pernikahan itu hanya boleh dilakukan sekali. Saat calon pengantin tiba di pelaminan, dia akan disambut oleh para tetua wanita.

Malam Bainai yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau sangat memiliki makna dalam setiap proses yang dilakukannya, setiap kuku yang dihias dengan inai  juga memiliki makna yang dalam dan harapan-harapan baik tentunya. 

Malam Bainai tidak hanya sebagai pelepasan masa lajang calon pengantin wanita. Tapi juga merupakan tradisi yang menyentuh hati karena kearifan dan doa keluarga dan kerabat. 

Malam Bainai itu juga merupakan salah satu acara yang bisa membuat keluarga besar menjadi berkumpul untuk menyaksikan hari kebahagiaan calon pengantin itu.

 

Malam Bainai untuk menghindarkan pengantin wanita dari hal buruk

Malam Bainai merupakan ritual melekatkan tumbukan daun pacar merah ke kuku calon pengantin wanita, yang dilakukan pada malam sebelum hari pernikahan. Tumbukan ini akan didiamkan semalaman, hingga meninggalkan warna kemerahan pada kuku.

Calon Anak Daro –sebutan bagi pengantin wanita, diyakini akan terlindung dari bahaya atau hal-hal buruk lainnya jika sudah melewati prosesi ini. Daun pacar merah ini dikenal masyarakat Minang sebagai daun inai, oleh karena itu prosesi ini kemudian dikenal sebagai prosesi ‘Malam Bainai’.

Namun tidak semua masyarakat di Sumatra Barat mempercayai hal tersebut sepenuhnya. Sebab pada zaman sekarang prosesi Malam Bainai hanya dianggap sebagai sebuah proses untuk membantu mempercantik kuku calon pengantin wanita saja.

Ada satu busana khusus yang dikenakan calon pengantin wanita ketika Malam Bainai. Busana ini bernama Baju Tokah. Sebuah selendang akan dipakaikan menyilang di dada calon pengantin wanita, namun bagian bahu dan lengan dibiarkan terbuka.

Selain Baju Tokah, calon Anak Daro juga mengenakan sebuah suntiang (hiasan pada bagian kepala) yang ukurannya lebih rendah.

Mandi-mandi sebelum Malam Bainai

Sebelum melakukan prosesi Malam Bainai, biasanya calon pengantin wanita akan menjalani ritual mandi, biasa dilakukan pada siang atau sore harinya. Namun, mandi yang dimaksud sedikit berbeda dengan pengertian pada umumnya. Di Sumatra Barat, calon Anak Daro hanya akan dipercikkan air kembang sebagai simbol saja.

Ada beberapa peraturan yang wajib dilaksanakan ketika mandi-mandi ini, salah satunya adalah bahwa yang boleh memercikkan air kembang kepada calon Anak Daro adalah kedua orangtuanya sendiri. Jumlah percikannya tidak boleh genap, melainkan harus ganjil. Selain itu, ada keluarga besar yang turut hadir sebagai wujud kasih sayang dan restu mereka atas pernikahan tersebut.

Air yang dipercikkan pun bukan sembarangan air, lho! Air kembang ini akan dipercikkan dengan menggunakan sebuah daun bernama daun sitawa sidingin atau daun cocor bebek. 

Di hari tersebut calon anak daro memakai busana khusus, busana tokah yang terbuka pada bagian lengan. Usai mandi-mandi, anak daro dibimbing kedua orang tua berjalan menuju pelaminan. Kain jajakan kuning terbentang menuju pelaminan, menunggu dipijak oleh anak daro. Setelah dipijak, kain jajakan kuning pun segera digulung oleh saudara laki-laki anak daro yang mengandung arti supaya pernikahan yang ditempuhnya cukup satu kali seumur hidupnya.

Inai yang sudah digiling telah dipersiapkan, malam bainai pun tiba. Kata 'bainai' diambil dari kata benda yaitu inai yang termasuk jenis tumbuh-tumbuhan yang memberikan warna jingga pekat setelah ditumbuk halus dan dibubuhkan pada kuku jari beberapa lama. Jadi kata 'bainai' jika diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki arti berinai atau memakai inai. Dalam tradisi Minangkabau yang selalu berdampingan dengan agama, mensyariatkan bahwa tidak semua sepuluh kuku jari tangan dipakaikan inai, namun hanya sembilan jari. Karena sepuluh berarti sempurna, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan. Para kerabat yang memakaikan inai biasanya akan membisikkan kata-kata berisi nasihat tentang berumah tangga kepada anak daro.

Kuku jari yang dipakaikan inai pun mempunyai makna yang berbeda-beda. Misalkan saja kuku kelingking yang dipilih oleh salah satu teman atau kerabat untuk diinai menyisipkan harapan semoga anak daro kelak dapat mengatasi hal-hal sulit yang susah ditembus oleh suami. Kuku jari tengah yang dimerahi inai pun mempunyai pertanda agar kelak anak daro dapat adil membagi kasih sayang selayaknya kasih sayang yang telah dicurahkan kedua orang tuanya. Seseorang yang memberikan inai pada jari manis anak daro pun turut menyimpan harapan. Seperti yang sudah diketahui jari manis menjadi tempat cincin kawin tersemat yang menjadi simbol cinta abadi, pun inai yang dibubuhkan menjadi doa agar cinta mereka setia abadi.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS